Salah satu hak jenazah ialah dikuburkan. Entah ia muslim atau kafir, tua
muda, kaya miskin, besar kecil,
semuanya harus dikebumikan. Dalam Islam semua tata cara pengurusan jenazah ada
tuntunannya. Dari cara memandikan, mengkafani, menshalatkan, hingga memasukannya
ke liang lahat.
Sudah menjadi maklum, yang menguburkan jenazah pastilah lelaki. Itu
dikarenakan mereka lebih kuat dan ditakutkan pula tersingkapnya aurat wanita
apabila mereka mengubur jenazah. Juga tak ada riwayat yang menjelaskan wanita
menguburkan jenazah, meski si mayat tersebut wanita. Dan praktik yang dilakukan
sejak zaman Rasulullah pun seperti itu.
Lalu, jika ada wanita meninggal,
siapakah yang lebih berhak menguburkannya? Dan bolehkah orang yang sedang junub
atau baru suci dari junub menguburkan jenazah wanita?
Orang yang paling berhak meletakkan
jenazah wanita di dalam kubur
1. Laki-laki yang menjadi mahramnya
Ini berdasarkan
pengertian umum dari firman Allah,
وَأُولُو
الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ الله
“Dan orang-orang yang
memiliki hubungan darah (mahram) satu sama lain lebih berhak dalam kitab
Allah.” (Al-ahzab: 6). Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Abdurrahman bin Abza,
عن
عبدِ الرَّحمنِ بْنِ أَبْزَى : أَنَّ عمرَ بْنَ
الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَبَّرَ عَلَى زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ أَرْبَعًا ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَى أَزْوَاجِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ يُدْخِلُ هَذِهِ قَبْرَهَا فَقُلْنَ : مَنْ
كَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا فِى حَيَاتِهَا[1]
Abdurrahman bin Abza menyatakan, “Umar bin
Khattab menshalatkan jenazah Zainab binti Jahsyi lalu meminta pertimbangan kepada
para istri Nabi r lainnya untuk menentukan siapa
yang memasukannya ke dalam kubur. Mereka menjawab, ‘Orang-orang yang biasa
menemuinya secara langsung (mahram) semasa hidupnya.’”
2.
Suaminya
Suami
lebih berhak menguburkan jenazah istrinya daripada lelaki asing.
3.
Diutamakan orang yang mengubur
jenazah adalah yang tidak menggauli istrinya pada malam sebelumnya. Karena itu,
lelaki asing (bukan mahram) lebih didahulukan untuk menguburkan jenazah
daripada mahramnya atau suami yang telah berhubungan intim dengan istrinya pada
malam sebelumnya.[2]
Penguburan Ummu Kultsum putri
Rasulullah r
Dalil dari poin ketiga di atas, yaitu -mendahulukan orang yang tidak
junub malam sebelumnya- adalah hadits Rasulullah ketika pemakaman salah satu
putri beliau, Ummu Kultsum. Riwayat ini terdapat dalam beberapa kitab hadits
dan tarikh.
Ummu kultsum mengalami sakit parah yang mengantarkannya kepada Sang pencipta.
Beliau wafat pada bulan Sya’ban tahun 9 H. Rasulullah r
memerintahkan Ummu Athiyyah memandikan jenazahnya tiga atau lima kali, atau
lebih dari itu.[3]
Jasad Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha dibawa
turun ke dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin
Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari.[4]
عنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ شَهِدْنا
بنتَ رَسولِ اللهِ صلى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ, وَرَسولُ اللهِ صلى اللهُ عليهِ وَسَلّمَ جالسٌ على القبرِ
فرَأَيْتُ عينَيْهِ تَدْمَعَانِ, فَقَالَ: هَلْ فِيكُمْ مِنْ أَحَدٍ لَـمْ
يُقَارِفْ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَنَا, قَالَ فَانْزِلْ فِي
قَبْرِهَا فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا فَقَبَرَهَا
Dari Anas t, ia berkata: Kami
menyaksikan pemakaman salah satu putri Rasulullah r,
beliau duduk di sisi kubur putrinya, aku melihat kedua mata beliau berlinang
air mata, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya
semalam?”Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau: “Turunlah!” Lalu Abu
Thalhah turun dan menguburkannya.[5]
Makna Lafadz “Yuqarifu”
Menurut Fulaih bin Sulaiman (salah satu perawi hadits di atas), makna
lafadz “yuqarifu” adalah dosa.[6] Dikatakan
juga makna lafadz tersebut ialah tidak berjimak malam itu, ini pendapat Ibnu
Hazm. Beliau berkata: “Kita berlindung kepada Allah dari mengunggulkan Abu
Thalhah atas Rasulullah karena ia tidak berbuat dosa malam itu.”
Ada pula pendapat, makna dhahir dari pemilihan Nabi r
terhadap Abu Thalhah dikarenakan ia tidak berhubungan intim malam itu. Sebagian
mereka menjelaskan sebabnya, karena pada saat itu ia aman dari godaan setan
yang mungkin mengingatkannya pada apa yang terjadi semalam. Ibnu Habib
menceritakan tentang rahasia pendahuluan Abu Thalhah atas Utsman. Utsman
menggauli sebagian istrinya malam itu. Sehingga Nabi r
melarangnya masuk ke makam istrinya secara lembut, tidak terang-terangan.[7]
Dan makna lafadz “yuqarifu” yang tepat adalah jimak. Tidak sebagaimana
pendapat Fulaih yang mengartikan dosa. Karena dalam dialek Arab pun, lafadz
tersebut berarti berjimak.[8]
Hukum Orang Yang Baru Junub
Menguburkan Jenazah
Ibnu Hazm berpendapat tidak bolehnya orang yang baru junub untuk menguburkan jenazah. Tertulis dalam kitabnya
“Al Muhalla”, yang lebih berhak menurunkan jenazah wanita ke dalam kuburnya
adalah orang yang tidak berjimak malam sebelumnya. Walaupun dia lelaki ajnabi
(bukan mahramnya). Dengan atau tanpa kehadiran suami dan keluarganya.[9]
Namun pendapat di atas berbeda dengan Al-Umrani (salah satu ulama
Syafiiyyah), dalam kitabnya yang telah ditahqiq oleh Dr. Mahmud Mathraji. Dalam
kitab tersebut tertulis bahwa dalam menguburkan jenazah wanita, yang paling
berhak adalah suaminya karena hanya ia yang dibolehkan melihat apa yang tak
boleh dilihat orang lain. Jika tidak ada suami, maka ayahnya yang lebih berhak.
Lalu kakek, anak, kemudian keponakannya. Namun jika mahramnya pun tidak ada, yang menguburkannya
adalah budak miliknya. Karena ia mahram dengannya menurut banyak madzhab. Jika
tidak ada juga, maka lelaki yang dikebiri yang ia tak lagi mempunyai syahwat
atau sepupunya.[10]
Umrani tak melarang orang yang baru junub menguburkan jenazah. Ia tetap
mengedepankan suami dari yang lainnya. Dan ini berbeda dengan tindakan
Rasulullah saat pemakaman putrinya. Bahkan dalam kitabnya yang lain “Al furu’”,
beliau menulis, “jika mereka semua tidak ada, maka mayyit diturunkan dengan
tali. Jika repot, boleh bagi lelaki yang tsiqah untuk menguburkannya.[11]
Sedangkan pendapat Ibnu Hazm dikuatkan juga dengan hadits lain, yang
diriwayatkan Ahmad,
عنْ
أَنسٍ أَنَّ رُقيةَ لما ماتتْ قالَ رَسولُ اللهِ صلى اللهُ عليهِ وَسلمَ لا يدْخلُ
القبرَ رَجلٌ قارَفَ أَهلهُ الليلةَ[12]
Dari Anas, bahwasanya ketika Ruqayyah meninggal, Rasulullah r bersabda: "Jangan memasuki liangnya seseorangpun yang telah 'menggauli' istrinya pada malam ini".
Hadits ini dishahihkan Albani, meski Bukhari mengomentari: “Saya tidak tahu tentang ini, karena Ruqayyah wafat saat Rasulullah berada di Badar dan tidak menyaksikannya.[13]
Bolehnya Lelaki
Ajnabi Menguburkan Jenazah Wanita
Kasus pemakaman Ummu Kultsum menjadi dalil kebolehan
lelaki ajnabi menguburkan jenazah wanita. Dan memang lelaki lebih mumpuni dalam
perkara ini.
Asy-Syanqity menulis dalam kitabnya “Syarh Zadil
Mustaqni’”, bahwasanya yang lebih berhak memasukkan jenazah wanita adalah
kerabatnya. Karena hal itu lebih jauh dari fitnah serta lebih aman baginya.
Namun jika ada lelaki ajnabi yang hendak menguburkannya, dan ia yakin tidak
menimbulkan fitnah, maka tak mengapa. Karena ketika Nabi r ketika menguburkan salah
seorang putrinya, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak
mendatangi istrinya semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Lalu Rasulullah
memerintahkannya untuk turun. Dia termasuk lelaki ajnabi. Saat itu ada Utsman t
sebagai suaminya dan Rasul tidak memerintahnya. Para ulama berpendapat
berdasarkan hadits ini, bolehnya lelaki ajnabi menguburkan jenazah wanita. Terkhusus
juga dalam keadaan dimana keluarga mayyit tidak dapat maksimal dalam
pemakamannya.
Contoh, seandainya seorang wanita
memiliki anak laki-laki, ayah, atau saudara laki-laki yang mahram dengannya
tetapi dia tidak mampu meletakkan mayat secara baik, serta ketika itu ada
lelaki ajnabi yang lebih mampu dan kuat dalam hal itu, maka kami berpendapat tidak
mengapa jika dia turun untuk meletakannya ke liang lahad.[14]
Karena tidak semua mahram yang ada mampu menguburkan jenazah dengan baik.
Contoh yang lebih spesifik dari contoh di atas, jika ada seorang wanita
memiliki suami yang kakinya telah diamputasi, buta, atau terlalu lemah. Tidak
mungkin baginya untuk turun ke liang lahad. Dalam kondisi seperti itu tentu tak
mengapa jika ada ajnabi yang menguburkannya. Dan Ibnu Hajar pun dalam Fathul
Bari, mengklarifikasikan hadits Anas di atas dalam pembahasan siapa yang menguburkan jenazah wanita. Tidak dengan judul pembahasan orang
yang baru junub menguburkan jenazah wanita.
Larangan Bagi Orang Junub
Hal-hal yang
diharamkan bagi orang junub adalah:
1.
Shalat, beserta macamnya. Termasuk
di dalamnya semua macam sujud seperti sujud tilawah dan sujud syukur.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Maidah:6, “dan jika kamu junub maka
mandilah.”
2.
Thawaf di sekitar Ka’bah meskipun
itu thawaf sunnah. Ini pendapat jumhur kecuali madzhab Hanafiyyah. Karena
thawaf sama seperti shalat. Sebagaimana
sabda Rasulallah r: “Thawaf di Baitullah itu sama dengan
shalat, maka jika kalian thawaf, sedikitlah berbicara.”
3.
Menyentuh mushaf dan membawanya. Allah Ta’ala berfirman, ”tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
4.
Membaca Al-Qur’an dengan lisannya. Walau hanya satu huruf atau tidak ada
satu ayat, ini menurut Hanafiyyah.
5.
Berdiam diri di masjid.
Berdasarkan hadits Ummu Salamah, ia meriwayatkan: Rasulullah r
memasuki halaman masjid, dan menyeru dengan suara keras: “masjid tidak halal
bagi orang haidh maupun junub.”[15]
Dan tidak ada dalil mengenai haramnya orang junub menguburkan jenazah.
Meski jika kita mengambil pendapat haramnya orang yang baru junub menguburkan
jenazah karena ditakutkan setan mengingatkannya pada yang terjadi malam itu,
tentu orang yang sedang junub lebih dilarang.
Salah satu fatwa juga
menyebutkan kebolehan orang yang junub untuk menguburkan jenazah. Saperti yang
saya kutip dari www.islamweb.net, “tidak ada larangan bagi orang yang junub
untuk menguburkan jenazah, baik jenazah tersebut laki-laki atau perempuan.
Meskipun yang lebih utama, orang yang menguburkan jenazah itu dalam keadaan
suci dari junub.”[16]
KESIMPULAN
Berdasarkan pendapat dan dalil di
atas, maka dapat disimpulkan hukum orang yang baru junub pada malam sebelum ia
menguburkan jenazah wanita itu makruh. Juga tidak adanya dalil pengharaman orang yang sedang junub untuk
menguburkan jenazah. Maka mendahulukan lelaki ajnabi yang tidak menggauli istri
pada malam sebelumnya dari suami dan mahram dalam menguburkan jenazah wanita
bersifat mustahabb (sunnah)
dan lebih afdhal.
Demikian juga diperbolehkan bagi
lelaki ajnabi untuk menguburkan jenazah wanita. Karena mereka lebih kuat dan
mampu dalam perkara tersebut. Apalagi jika wanita itu sudah tidak memilliki
mahram yang hidup atau masih ada namun kondisi mahramnya tidak memungkinkan
untuk turun menguburkan jenazahnya.
Wallahu a’lam bis shawab.
Referensi:
1.
Al-qur’an Al-karim
2.
Al-asqalani, Ibnu Hajar. (2004). Fathul
bari. Kairo: Darul hadits.
3.
Al-baihaqi. (2003). As-sunan
Al-kubra. Cetakan ketiga. Libanon: Darul kutub ilmiyah.
4.
Al jamili, As sayyid. Nisa
haular rasul. Maktabah at
taufiqiyah.
5.
Al-umrani. (2009). Al bayan fi
syarhil muhadzab. Libanon: Darul fikr.
6.
Az-zuhaili, Dr. Wahbah. (2005). Al wajiz fil fiqhi
al islamy. Damaskus: Darul fikr.
7.
Bathal, Ibnu. (2003). Syarh
shahih bukhari. Cetakan kedua. Riyadh: Maktabah arrusydi.
8.
Hanbal, Ahmad bin. (1999). Musnad
Ahmad bin Hanbal. Cetakan kedua. Muassasah ar risalah.
9.
Hazm, Ibnu. (2003). Al muhalla bil atsar. Libanon: Dar al
kutub al ilmiyah.
10. Kamal, Abu Malik. (2010).
Fiqih sunah untuk wanita. Diterjemahkan oleh: Asep Sobari, Lc. Cetakan
keempat. Jakarta: Al i’thisom.
11. Syarh zadil mustaqni’. Maktabah syamilah.
12. Anonim. Hukum orang
junub menguburkan jenazah, diakses dari http:/fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=46829, diakses pada 30 Maret.
[2]
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih sunah untuk
wanita, cetakan keempat, Jakarta:
Al I’tshom, hal. 312.
[3]
As Sayyid Al Jamily, Nisa haula ar rasul, hal. 158
[4]
Ibid.
[5]
HR. Bukhari, no 1342.
[6]
Ibnu Hajar Al-asqalani, Fathul bari, jilid 3, 2004, (Kairo: Darul Hadits),
hal. 239.
[7]
Ibid., jilid 3, hal.181-182.
[8]
Ibnu bathal, Syarh shahih bukhari, jilid
3, cetakan kedua, 2003, (Riyadh: Maktabah Arrusydi), hal. 328.
[9]
Ibnu Hazm, Al Muhalla, jilid 3, cetakan pertama,. 2003. (Libanon: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah),
hal.369.
[10]
Al Umrani, Al bayan fi syarhil muhadzab, cetakan pertama, jilid satu,
2009, (Libanon: Darul Fikr, hal. 567.
[11]
Ibid.
[12]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-imam Ahmad bin Hanbal. cetakan kedua. 1999.
(Muassah Ar-risalah)
[13]
Ibnu Hajar Al-asqalani, Op.Cit., hal. 181
[14]
Disadur dari Syarh Zadil Mustaqni’, Maktabah Syamilah.
[15]
Dr. Wahbah Az-zuhaily, Al-wajiz fil fiqh Al-islamy, cetakan pertama, 2005, (Damaskus: Darul Fikr)
hal.
[16]
Hukum orang junub menguburkan
jenazah, diakses dari http:/fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=46829, pada 30 Maret 2014 pukul 06:55 WIB
_Haibara Ai_
0 komentar:
Posting Komentar