Masyarakat Arab dahulu terbiasa mencari ibu susu bagi
anak-anak mereka. Wanita-wanita baduilah yang banyak menggeluti profesi sebagai
ibu susu. Mereka menyerahkan penyusuan anak kepada wanita badui dikarenakan
mereka meyakini udara dan lingkungan daerah perkampungan lebih baik bagi
partumbuhan anak. Maka tidaklah mengherankan jika banyak shahabat yang menjadi
saudara lewat jalur susuan.
Pasalnya, radha’ah menjadi hal yang urgen untuk
diperhatikan karena banyak hukum yang berkaitan dengannya. Hukum-hukum yang
berkaitan dengan radha’ah seperti haramnya menikahi saudara sesusu, boleh melihat
dan berkhalwat dengannya, bisa menjadi mahram dalam safarnya, Tapi ia tidak
bertanggung jawab akan nafkahnya, tidak bisa saling mewarisi, juga tidak bisa
menjadi wali nikahnya.
Terlebih hari ini banyak terdapat bank-bank asi yang
menyimpan ASI dari banyak wanita. Tak
dapat dipungkiri pula, semua bayi sangatlah membutuhka ASI sebagai makanan
terbaik bagi mereka. Semua ahli kesehatan sepakat akan hal ini. Pun Allah telah
memerintahkan para ibu untuk menyusui bayinya sebagaimana yang termaktub dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 233 yang artinya “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Oleh karenanya, penulis hendak membahas syarat dan
ketentuan penyusuan yang bisa menjadi sesab terjalinnya hubungan mahram,
khususnya menurut madzhab Hanbali. Karena penyusuan tidak bias menjadi sebab
mahram apabila tidak memenuhi syarat dan ketentuannya.
B. Definisi
1.
Radha’ah
Secara
etimologi penyusuan atau ar-Radha’ (الرضاع) berarti mengisap (menyusu/ menetek) air
susu dari payudara atau meminumnya.[1]
Dan menurut syar’i adalah bayi yang menetek air susu dari payudara seorang
wanita yang berumur kurang dari dua tahun karena sebab hamil atau lainnya.
2.
Mahram
Secara
etimologi kata mahram merupakan ism maf’ul dari harama yang artinya “yang
diharamkan.” Yang dimaksud dengan diharamkan adalah yang haram dinikahi. Dalam
kitab al-Mufashal mahram dibagi menjadi dua:
·
Mahram
Selama-lamanya (Muabbadan)
Yang dimaksud
dengan mahram muabbadan dari kalangan wanita adalah para wanita yang tidak
dihalalkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi mereka selama-lamanya karena
sebuah sebab hubungan yang menyebabkan mereka menjadi mahram yang mana hubungan
tersebut tidak dapat dihilangkan.[2]
Seperti
haramnya menikahi ibu oleh anaknya. Dan selainnya, mereka tidak boleh menikah
selama-lamanya. Mahram ini terbagi kepada beberapa bagian :
Mahram kekerabatan
– mahram besanan – mahram persusuan – mahram karena li’an.
·
Mahram Sementara
(Muaqqatan)
Mahram yang
sifatnya sementara bukan selamanya, mereka adalah para wanita yang haram
dinikahi karena adanya sebuah sifat tertentu atau keadaan khusus yang
berhubungan dengan mereka yang mengakibatkan mahram sementara yang menghalangi
untuk menikahi mereka. Yang mana ketika faktor-faktor atau sifat tersebut telah
hilang maka keharaman menikahi mereka gugur, sehingga diperbolehkan untuk
menikahi mereka ketika penghalang itu telah hilang.[3]
Seperti haramnya mengumpulkan dua saudara, menikahi lebih dari 4 wanita, wanita
yang di thalak ba’in hingga dinikahi oleh suami yang lain, menikahi wanita
pezina, dan merdeka menikahi budak.
C. Mahram
sebab Radha’ah
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa salah satu
bentuk mahram muabbad adalah mahram sebab persusuan. Hal ini berdasarkan firman
Allah tentang wanita-wanita yang haram dinikahi pada surat an-Nisa ayat 23 yang artinya “ dan ibu-ibu kalian
yang telah menyusui kalian, dan saudara perempuan susuan kalian” juga sabda
Rasulullah Saw., “Hubungan sepersusun mengharamkan (wanita untuk dinikahi) seperti
haram menikaihnya karena sebab nasab.”
Ketika seseorang anak susuan dari wanita yang bukan
ibu kandungnya, maka ia haram menikahi ibu susuannya, saudara perempuan
sesusuannya, bibi sesusuan, anak perempuan dari saudara laki-laki sesusuan dan
anak perempuan dari saudara perempuan sesusuan.
D. Syarat
dan Ketentuan Radha’ah Menurut Hanabilah
Tidak
semua penyusuan bias menjadikan sebab terjalinnya hubungan mahram. Terdapat dua
syarat radha’ah bisa menjadi sebab terjadinya hubungan mahram.
1)
Penyusuan terjadi
dalam dua tahun pertama
2)
Jumlah susuan
harus mencapai 5kali[4]
.Dalam al-Mughni,
Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa Abu al-Qosim rahimahullah berkata: “
Radha’ah yang tidak diragukan lagi sebab kemahramannya adalah harus dengan 5
kali susuan atau lebih.” Terdapat 2 poin dalam permasalahan ini:
1.
Radha’ah yang
menjadikan sebab mahram harus 5 kali susuan atau lebih. Ini adalah pendapat yang shahih dalam Madzhab Hanbali. Pendapat ini
didasarkan pada riwayat yang berasal Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, Atha’,
dan Thawus. Ada pula riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa sedikit ataupun banyaknya
radha’ah tetap bisa menjadi sebab hubungan mahram. Ini berdasarkan riwayat dari
Ali, Ibnu Abbas, juga Said bin Musayyib, al-Hasan, Makhul, az-Zuhri, Qatadah,
al-Hakam, Hammad, Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits, dan ashab ar-Ra’yi. Mereka
berhujjah dengan ayat tentang mahram (Q.S. an-Nisa: 23) sedangkan riwayat
ketiga adalah hubungan mahram tidak terjadi tanpa adanya tiga kali susuan. Itu pendapat
Abu Tsaur, Abu Ubaid, Daud, Ibnu al-Mundzir. Hujjahnya adalah sabda Rasulullah: “Satu
dan dua hisapan tidak menjadikan mahram.”
(HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Adapun hujjah dari riwayat pertama yang merupakan
pendapat yang benar (rajih) dalam Madzhab Hanbali adalah riwayat dari Aisyah, Beliau
berkata: “Telah diturunkan dalam Al-Qur’an bahwa sepuluh kali penyusuan yang
terketahui menjadikan mahram”, maka dihapus ketemntuan tersebut hingga menjadi
lima kali penyusuan. Dan sampai Rasulullah wafat ketentuan itu tidak berubah.”
(HR. Muslim) Berarti ayat yang berbicara tentang ini (QS. An- Nisa’: 23) telah
ditafsirkan oleh as-Sunnah, sehingga diketahui kriteria radha’.ah yang menyebabkan
hubungan mahram.[5]
2.
Penyusuan tersebut
harus terjadi secara terpisah, hal ini dikembalikan kepada urf , jadi
apabila seorang anak itu disusui kemudian anak tersebut melepaskan puting
dengan kemauannya sendiri itu disebut satu hisapan. Dan jika anak tersebut
kembali menyusu lagi maka dihitung sebagai hisapan baru.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa syarat
radho’ah syar’i harus terjadi pada 2 tahun pertama usia anak. Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar, Ali, Ibnu
Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abi Hurairah, dan para istri nabi kecuali
Aisyah.[6]
Namun dalam kitab al-Mumti’ fi Syarh al-Muqni’ disebutkan bahwa tidak mengapa
jika radho’ah tersebut terjadi ketika anak berumur dua tahun lebih sedikit.[7]
Pendapat ini bertentangan dengan Abu al-Khottob yang tertulis dalam kitab al-Inshof bahwasannya walaupun penyusuan itu terjadi 2
tahun lebih satu jam itu tidak menjadikan hubungan mahrom.[8]
E. Kesimpulan
Setelah
mengkaji makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat dan ketentuan yang
menjadikan mahrom menurut madzhab Hanbali yaitu 5 kali susuan atau lebih dan
persusuan itu harus terjadi pada 2 tahun pertama umur anak. Ini menurut
pendapat yang rojih dalam Madzhab Hanbali.
Referensi:
1.
Al-Mujalla fi al-fiqh al-Hanbali
2.
Al-Mufashol fi Ahkamil Mar’ah wa
Baitil Muslim
3.
Al-Mumti' Fie Syarh al-Muqni'
4.
Al-Inshof fi Ma’rifah Ar-Rojih Min
Al-Khilaf ‘Ala Madzhab Al-Imam Al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal
5.
Al-Mughni
6.
Syarhul Mumti’
7.
Al-Mulakhos Al-Fiqhi
[1]
Al-Mujalla fi al-fiqh al-Hanbali, 1/546
[2] Al-Mufashol fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil
Muslim, 6/199
[3] Ibid, 6/278
[4]
Lihat al-Mumti' Fie Syarh al-Muqni' 5/358, al-Mulakhos Fiqhi 2/314, al-Mughni
6/402, Syarhul Mumti’ 5/557.
[5]
Al-Mughni. 6/402
[6]
Ibid, 6/407
[7]
Al-Mumti’, 5/368
[8]
Al-Inshof, 9/334
Created by: Ai, Hild, Ey_nh@, Nayra, Nett, Fah_ra, Moem, Alfy, Dien, Hann, Moet.
Assalamualaikum...klo nikah sama adik susuan bisa apa tidak?...kan yang jadi saudara susuan kakaknya..
BalasHapusTidak bisa, sejauh yg d maksud adalah adik kandungnya
BalasHapus