Oleh: Iffah
Izzah A.
A.
Pendahuluan
Menjamak shalat
bukanlah hal yang asing di telinga
umat Islam. Bahkan di kalangan awam sekalipun, istilah jamak dan rekannya,
yaitu qashar, sudah menjadi hal biasa. Menjamak shalat merupakan dispensasi
dalam pelaksanaan shalat. Hanya saja, karena keterbatasan pengetahuan, banyak
orang yang menyalah gunakannya, dalam kata lain “meremehkan” sehingga
membuatnya seenak sendiri melakukan jamak shalat. Ada pula yang masih bingung perihal kebolehan
menjamak shalat pada kondisi-kondisi yang menyebabkan mereka tak bisa
menunaikan shalat pada waktunya.
Sejatinya, shalat fardhu harus dikerjakan
pada waktunya.
Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman.” (Q.S.
An-Nisa: 103) Hanya saja, tidak semua orang mampu melakukannya, bukan sebab
malas, tapi ia memiliki kesulitan untuk melaksanakan shalat tepat waktu. Salah
satu yang memberatkan seseorang untuk shalat tepat waktu adalah sakit. Karena
ketika sakit, hal tersebut seringkali mengakibatkan ia tidak dapat beraktivitas
atau beribadah semaksimal sebagaimana ketika masa sehatnya.
Islam merupakan dien yang mudah.
Karena Sang Pemberi Syariat tak pernah ingin memberatkan hamba-Nya. Dia
memberikan kelonggaran bagi orang yang berudzur. Oleh karenanya penulis akan
membahas tentang jamak shalat bagi orang sakit. Karena sebagaimana yang kita
maklumi, beberapa orang sakit mengalami kesulitan untuk shalat tepat waktu,
bagi mereka penderita penyakit kronis atau mereka yang sering tak sadarkan
diri.
B.
Definisi dan Pensyariatan Shalat Jamak
Jamak shalat terdiri dari dua kata yang asal keduanya adalah bahasa arab.
Jamak, diambil dari isim masdar kata جمع yang berarti menggabungkan.
Dan shalat tetap diartikan sebagaimana makna syar’inya. Sehingga makna jamak
shalat (جمع الصلاة) adalah menggabungkan dua shalat.
Shalat jamak
boleh dilakukan untuk menggabung antara shalat dzuhur dan ashar, ataupun antara
shalat maghrib dan isya. Jika dilakukan di awal maka disebut jamak taqdim dan
bila ditangguhkan pada waktu shalat kedua disebut jamak ta’khir.
Sudah menjadi
maklum jika shalat jamak dilakukan ketika safar. Sebagaimana yang terdapat
dalam hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:
كَانَ
رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَجمَعُ بَينَ صَلاةِ الظّهرِ
وَالعَصرِ إِذَا كانَ على ظهرِ سيرٍ، وَيجمعُ بينَ المغرِبِ وَالعشاءِ
“Rasulullah Saw., menjamak antara dzuhur dan
ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga menjamak antara maghrib dan isya.”
Hal yang masih
menjadi perselisihan ulama adalah menjamak shalat bagi selain musafir. Dalam
hukum menjamak shalat ketika mukim (tidak bersafar), madzhab yang paling
meringankan adalah madzhab Hanbali.
Hadits yang
sering dijadikan acuan bolehnya menjamak shalat bagi orang yang mukim adalah
عن ابن عباس قال: صلى رسول الله r
الظهر و العصر جميعا, و المغرب و العشاء جميعا من غير خوف ولا سفر.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah Saw., pernah menjamak shalat dzuhur dan ashar, juga
menjamak shalat maghrib dan isya bukan karena
takut, dan bukan karena bepergian."
قال ابو الزبير: فسألت سعيدا: لما فعل ذلك؟
فقال: سألت ابن عباس كما سألتني. فقال: أراد ان لا يحرج أحدا من أمته.
Abu az-Zubair
mengatakan bahwa aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang mengapa Nabi Saw., berbuat demikian. Kata Sa’id, “Hal itu sudah kutanyakan kepada
Ibnu Abbas. Jawaban Ibnu Abbas, “Nabi Saw., ingin untuk
tidak menyusahkan satupun dari umatnya’. (H.R.
Muslim)
Sedangkan
dalam riwayat lain, berbunyi (من غير خوف ولا مطر) “bukan karena takut, dan bukan karena turun hujan.”
C.
Syarh Hadits Ibnu
Abbas
Dalam syarhnya, Imam an-Nawawi menjelasan bahwa sebagian ulama menjelaskan bahwa Nabi Saw., menjamak shalat ketika itu mungkin
karena faktor hujan. Pendapat inilah yang masyhur dari sebagian besar para ulama
terdahulu, tetapi pendapat tersebut dapat dilemahkan karena di dalam riwayat
lain lafadznya “tidak ada ketakutan, tidak pula sedang turun hujan.”
An-Nawawi juga mengatakan, “Ada ulama yang menjelaskan bahwa ketika itu ada
mendung lalu Nabi Saw., mengerjakan shalat Zhuhur. Setelah
mendung hilang misalnya diketahui bahwa waktu Ashar sudah tiba. Akhirnya Nabi Saw., melanjutkan dengan shalat Ashar”.
Komentar an-Nawawi terhadap pendapat ini, “Ini adalah pendapat yang
mengada-ada. Meski ada sedikit kemungkinan untuk menerima pendapat ini untuk
memahami shalat jamak yang Nabi lakukan untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Namun
kemungkinan ini jelas tertolak untuk shalat Maghrib dan Isya.”
Sedangkan sebagian ulama menjelaskan bahwa beliau Saw., mengakhirkan shalat
yang pertama, maka ketika beliau selesai shalat yang pertama tersebut telah
masuk waktu shalat kedua dan seketika itu beliau menunaikan shalat yang kedua.
Shalat beliau pun menjadi seperti shalat jamak (jamak shuri). Pendapat seperti
ini juga lemah, karena bertentangan dengan dhahir hadits.
Adapun sebagian ulama menjelaskan bahwa Nabi Saw., menjamak shalat ketika itu mungkin
karena faktor sakit atau hal-hal lain
yang termasuk udzur. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Qadhi
Husain, juga pendapat yang diambil al-Khathabi, al-Muthawalli, dan ar-Ruyani
dari Madzhab Syafi’i. Pendapat tersebut diambil berdasarkan dhahir hadits dan
karena aplikasi Ibnu Abbas serta adanya kecocokan dari Abu Hurairah, karena
kesulitannya lebih berat daripada hujan.
Sehingga sebagian imam berpendapat bolehnya menjamak shalat ketika mukim
jika ada kebutuhan dan tidak dijadikan kebiasaan. Itu adalah pendapat Ibnu
Sirin dan Asyhab dari Madzhab Maliki, juga al-Khathabi dari al-Qaffal dan
asy-Syasyi al-Kabir dari Madzhab Syafi’i, hal ini juga merupakan pendapat sejumlah ulama
pakar hadits.
Menurut Imam asy-Syaukani, hadits tersebut menunjukkan boleh menjamak
shalat sebab hujan, suasana ketakutan, dan sakit. Yang diperselisihkan dari tekstual hadits tersebut adalah tentang menjamak shalat tanpa adanya udzur. Karena
adanya ijma’ (yang melarang jamak shalat tanpa udzur) juga karena adanya
hadits-hadits yang menjelaskan waktu-waktu shalat. Oleh sebab itu, yang
dipahami tetap dhahir haditsnya. Terdapat pula hadits tentang bolehnya wanita
yang mengalami istihadhah untuk menjamak shalat, sedangkan istihadhah termasuk
salah satu macam penyakit.
Syaikh al-Albani ketika ditanya tentang
kandungan hadits tersebut, beliau menjawab, “Kadungan hadits ini bukan seperti
yang dipahami oleh sebagian thalibul ilmi, bukan berarti boleh jamak
tanpa sebab. Ketika seorang muslim menetap (bermukim) di daerahnya, maka ia wajib menjaga shalat tepat waktu.
Jika ia mendapati udzur atau kesulitan, maka saat ia hendak menghilangkan
kesulitan tersebut, ia boleh menjamak shalat, baik jamak taqdim ataupun jamak
ta’khir.
Ilah pembolehan jamak ini
adalah menghilangkan kesusahan dari seorang muslim. Jadi, jika ia tidak
memiliki kesulitan, ia tidak boleh menjamak shalat. Kita wajib mengambil hadits
secara utuh. Di dalam hadits ini juga terdapat penyempurnaan. Yaitu bahwasanya
sebagian sahabat bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apa yang dikehendaki beliau Saw.,
wahai Ibnu Abbas?” Ibnu Abbas menjawab: “Beliau ingin untuk tidak menyusahkan
satupun dari umatnya.”
Izinnya Rasulullah Saw., untuk
menjamak shalat pada waktu mukim selain karena hujan, adalah untuk menunjukkan
pada umatnya boleh menjamak shalat dalam rangka menghilangkan beban. Jika tidak
terdapat udzur syar’i yang jelas atau udzur syar’i yang tidak jelas bagi
masyarakat, tetapi udzur tersebut hanya berkaitan dengan seseorang, dia
mendapat kesulitan untuk menunaikan shalat pada waktunya, maka ia tidak boleh
menjamak shalat secara mutlak.
D. Kondisi Dibolehkannya Menjamak Shalat
Madzhab Hanafi membatasi syariat menjamak shalat ketika haji saja, yaitu pada
Hari Arafah, seseorang menjamak shalat dzuhur dan ashar secara jamak taqdim,
dan ketika malam Hari Raya Idul Adha ia menjamak shalat maghrib dan isya dengan
jamak takhir.
Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan untuk menjamak shalat dalam delapan
keadaan, yaitu ketika safar, hujan dan semisalnya, sakit, menyusui, kesuliitan
dalam bersuci, kesulitan dalam mengetahui waktu, istihadhah dan yang semisalnya
seperti musalsal (yang sering buang air kecil), sering mengeluarkan madzi,
ataupun sering mimisan, juga ketika memiliki keperluan karena sibuk atau udzur
yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jamaah dan jum’at seperti khawatir
akan keselamatan dirinya dan hartanya, atau membahayakan mata pencahariannya.
Adapun ulama Madzhab Maliki membolehkan jamak shalat pada enam kondisi,
yaitu ketika safar, hujan, jalan berlumpur dalam suasana gelap, sakit, dan
jamak ketika berada di Arafah dan Muzdalifah (saat haji). Sedangkan ulama
Madzhab Syafi’i membatasi jamak dalam tiga keadaan saja, yaitu ketika safar,
hujan, dan ketika manasik haji di Arafah dan Muzdalifah.
Menurut Syaikh Abu Malik Kamal, boleh menjamak shalat sekalipun tidak dalam
perjalanan bila ada keperluan. Dengan syarat tidak boleh menjadikannya
sebagai kebiasaan melainkan karena adanya alasan yang mendesak seperti sakit
atau semisalnya.
E. Menjamak Shalat Bagi Orang Sakit
Orang yang sakit tetap berkewajiban melaksanakan shalat pada waktunya dan
melakukan semua gerakan shalat semampunya. Jika dia merasa keberatan melakukan
semua shalat tepat waktu, maka ia boleh menjamak antara dzuhur dan ashar,
maghrib dan isya. Tetapi ia tidak boleh menjamak shalat subuh dengan shalat
sebelumnya (isya) atau sesudahnya (dzuhur).
Para ulama berselisih pendapat
tentang hukum menjamak shalat bagi orang sakit. Imam Malik mengatakan jika
orang yang sakit tersebut khawatir akan jatuh pingsan, maka ia boleh menjamak
shalat dzuhur dan ashar saat matahari tergelincir (masuk waktu dzuhur) serta
menjamak shalat maghrib dan isya ketika matahari terbenam. Tetapi jika jamak
shalatnya sekedar untuk meringankannya lantaran dahsyatnya sakit yang ia
rasakan, maka hendaknya ia menjamak shalat dzuhur dan ashar di tengah-tengah
waktu dzuhur dan demikian untuk shalat maghrib dan isya’,
jamak dilakukan ketika mega merah telah menghilang. Karena
menurut beliau orang sakit lebih utama untuk menjamak shalat dibandingkan
musafir dan selainnya, melihat tingkat kesulitannya.) Akan tetapi
jika si sakit menjamak shalat padahal ia tidak terdesak untuk menjamaknya, maka
ia harus mengulangi shalatnya selama belum keluar dari waktu shalat tersebut.
Sedangkan Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa tata cara orang sakit menjamak shalat sama sebagaimana
musafir, yaitu dengan mengakhirkan shalat dzuhur di akhir waktu dan shalat melaksanakan
shalat ashar di awal waktu.
Model jamak shalat seperti ini sering disebut dengan jamak shuri.
Karena sebagaimana yang telah kami sebutkan, Madzhab Hanafi membatasi bolehnya
menjamak shalat hanya ketika haji.
Adapun dalam kitab al-Umm karya
Imam Syafi’i, beliau menjelaskan bahwa tidak boleh bagi orang yang berudzur
untuk menjamak dua shalat di waktu awal keduanya, kecuali ketika turun hujan.
Menurut al-Hajawi, orang yang sakit
boleh menjamak shalat apabila ia merasa kesulitan jika tidak menjamaknya,
seperti merasa lelah atau lemah. Apapun jenis penyakitnya. Baik itu sakit
kepala, punggung, perut, kulit, ataupun sakit pada anggota tubuh lainnya.
Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
يرِيدُ اللهُ بكمُ اليسرَ وَلاَ يرِيدُ بكمُ العسرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 185)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu
Katsir menampilkan hadits Rasulullah Saw., “Permudahlah oleh kalian dan jangan
mempersulit, buatlah hati mereka tenang dan jangan menakut-nakuti.”
Atha berkata: “Orang yang sakit
boleh menjamak shalat maghrib dan isya. Atsar
dari Atha tersebut bersambung dengan Abdurrazzaq yang beliau tulis di mushnafnya
dari Ibnu Jarih.
F. Penutup
Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bolehnya orang sakit untuk menjamak shalat jika dia memang
merasa kesulitan untuk melaksanakan shalat pada waktunya. Namun jika sakitnya ringan, seperti sariawan, bibir pecah-pecah, atau hanya pusing ringan, ia pun
masih mampu menunaikan shalat tepat waktu, maka ia tidak boleh menjamak shalatnya.
Adapun hukum
menjamak shalat bagi orang sakit diperselisihkan oleh para ulama. Imam Ahmad
membolehkan secara mutlak dan sebagian penganut Madzhab Syafi’i juga memilih
pendapat tersebut. Imam Malik membolehkan
dengan syarat, sedangkan pendapat yang masyhur dari Imam syafi’i dan
murid-muridnya adalah adalah melarang hal tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Adhim
Abdil Barr,
Ibnu. At-Tamhid. Kairo: Al-Faruq al-Haditsah. 2008.
Ali
al-Musyaiqih, Khalid bin. An-Nawazil fi al-Ibadat. (ttp.: t.p., t.t.)
Atsqalani,
al-, Ibnu Hajar. Fath al-Bari. Kairo: Darul hadits. 2004.
Hajawi, al-, Musa Salim. Asy-Syarh
al-Mumti’ Ala Zaad al-Mustaqni’. Kairo: Jannatul Afkar. 2008.
Ibrahim bin, Muhammad, dkk. Fatawa
al-Mar’ah al-Muslimah. Riyadh: Adhwa as-Salaf. Cet: Ke-2. 2007.
Kamal, Abu
Malik. Fiqh Sunnah Li an-Nisa. Kairo:
Maktabah Taufiqiyah. 2008.
Katsir, Ibnu. Tafsir
al-Qur’an al-Adhim. Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Nawawi, an-, Imam. Shahih Muslim Bi Syarh
an-Nawawi. Kairo: Darul Hadits. Cet: ke-4. 2001.
Syafi’i, asy-,
Imam. Al-Umm. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Cet: ke-2. 2009.
Syaukani,
asy-, Imam. Nailul Authar. Kairo: Darul Hadits. 2005.
Utsaimin, al-, dkk. Fatawa al-Mar’ah
al-Muslimah. Kairo: Dar Ibnu Haitsam. Cet: ke-1. 2002.
Zuhaili, az-, Wahbah. Al-wajiz Fi al-Fiqh
al-Islami. Damaskus: Darul Hadits. 2005.
Kamus al-Munawwir
Kamus Arab Indonesia. Ahmad Warson
Munawwir. Cet. ke-14, Surabaya:
Pustaka Progressif. 1997.