“Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah
menasehati kalian, dan bukan berarti aku orang terbaik di antara kalian, bukan
pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak
melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan
sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya.
Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali
setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para
pemberi nasehat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan
dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah, tidak ada yang
mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun
dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada
sebagian yang lain, niscaya hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan
mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka
terus-meneruslah berada pada majelis-mejelis dzikir (majelis ilmu), semoga
Allah mengampuni kalian. Bisa jadi (ada) satu kata yang terdengar (di sana) dan
kata itu merendahkan (diri kita) namun sangat bermanfaat (bagi kita). Bertakwalah
kalian semua kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”
(Hasan Al-Basri)
Sebagai sesama
muslim, sudah seyoyanya kita saling menasihati. Mungkin terkadang orang
menganggap remeh nasihat kita,
dikarenakan ia mengetahui aib kita. Namun, bukanlah tidak ada manusia yang
luput dari kesalahan? Apakah kita baru berani memberi nasihat ketika kita rasa
tlah merasa sempurna? Tentu tidak. Saat kita menasihati orang lain, bukan berarti kita merasa sebagai orang
yang paling shalih, ataupun alim. Akan tetapi, itu sebagai aplikasi tolong
menolong kita dalam kebaikan. Kadang kita menjadi subyek (yang menolong), dan di
lain waktu kita bisa menjadi obyek (yang ditolong).
Al insanu mahalul khatha wa nisyan, manusia
adalah tempatnya salah dan lupa. Jadi, sudah merupakan hal wajar jika kita
melakukan khilaf. Disinilah fungsi nasihat, mengingatkan dan meluruskan
kesalahan kita. Ketika teman, keluarga, tetangga ataupun guru kita melakukan
kesalahan, berilah mereka nasihat, tentunya dengan memperhatikan adab-adab dan
metode yang baik ketika memberi nasihat. Diantaranya niat ikhlash, berdasarkan ilmu, menasihati secara rahasia,
menggunakan kata-kata yang lembut, dan menyesuaikan kondisi, situasi, dan
kepribadian orang tersebut.
Ketika orang
yang kita nasihati tetap acuh dan tak menghiraukan nasihat kita, maka
besabarlah. Dan tak lupa berdoa semoga Allah melapangkan hatinya untuk menerima
kebenaran. Begitu pula sebaliknya, tak pantas kita marah ketika ada orang yang
menasihati kita, apalagi jika yang ia sampaikan itu benar dan merupakan perkara
agama yang penting. Undhur ma qala wa la tandhur man qala, lihatlah apa
yang dikatakan dan janganlah melihat siapa yang mengatakan. Artinya, dalam
menerima nasihat ataupun masukan, kita tak memandang siapa yang mengatakan. Karena
bisa jadi, suatu nasihat yang baik keluar dari mulut seorang petani miskin. Dan
bisa juga, anak yang usianya di bawah kita lebih memahami kebenaran dan ilmunya
lebih luas dibanding kita. Selama itu benar, terimalah.
Maha benar
Allah yang berfirman: Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Asr:1-3)
Semoga Allah tak
menjadikan kita sebagai orang-orang yang merugi. Mari tingkatkan iman,
perbanyak amal shalih, dan jangan lupa, saling menasihati. J
(for you and
for me)
_Haibara
Ai_
0 komentar:
Posting Komentar