Alkisah di
sebuah kampung antah berantah, air sangat sulit ditemukan. Kampung sulit air
itu, kebanyakan penduduknya orang baik, tetapi dikuasai oleh para pemabuk yang
suka minum khamr. Mereka mendatangkan berpeti-peti khamr dari dari negeri yang
jauh untuk memenuhi rasa haus sekaligus hobi mabuknya.
Orang-orang
baik berusaha tetap minum air. Mereka menggali sumur-sumur yang dalam namun
tetap gagal memperoleh air. Mereka hanya bertahan hidup dengan menampung embun
di dedaunan atau menampung air hujan yang sangat jarang turun. Tentu sangat
minim, air yang mereka dapatkan hanya sekedar untuk bertahan hidup.
Para
pemabuk yang berkuasa di kampung itu mengatur adat di sana dengan aturan
mereka. Mirip Jenghiz Khan yang harus kesurupan dan setengah sadar sebelum
menulis undang-undang, para pemabuk harus pesta anggur beramai-ramai sampai
teler sebelum menyusun aturan kampung.
Ritual
teler bersama itu disakralkan. Saking sucinya ritual itu sampai-sampai mereka mengutip ujar latin in vino veritas, artinya “dalam (mabuk)
anggur itu terdapat kebenaran.” Beberapa pemabuk sejati bahkan membuat pepatah
baru yang lebih gila, vox madidus vox dei, suara pemabuk adalah suara
tuhan.
Para pemabuk pertama kali berkuasa di
kampung dengan menipu orang-orang baik. Mereka mengajak orang baik bersama-sama
membuat sumber adat dan pemimpin kampung haruslah orang baik-baik.
Namun, hanya sehari setelahnya, mereka
mendatangkan pemabuk paling licik yang tinggal di ujung timur kampung. Pemabuk licik
itu mengancam, kalau pasal tentang kebaikan dan kepemimpinan orang baik tidak
dihapus, ia akan menjadi separatis, tak mau bergabung dengan lakita hapus pasal
itu, toh hanya tujuh kata saja. Yang penting ujung timur kampung tak sampai
lepas, persatuan harus kita dahulukan.”
Salah satu orang baik bersikukuh tak
mau mengubah kesepakatan itu. Baginya itu gentlemen agreement yang tak
boleh seenaknya dicabut. Namun para pemabuk melobi dia melalui kerabatnya. Dengan
janji kelak pasal kebaikan akan dicantumkan lagi setelah pemabuk licik tenang,
akhirnya orang baik itu setuju tujuh kata bahwa kebaikan berlaku di kampung itu
dihapus.
Setelah itu para pemabuk ingkar janji.
Mereka berkuasa di kampung dan tak mengindahkan kebaikan. Tak cukup sekedar
itu, mereka mulai menghalangi orang baik melakukan kebaikan. Mereka tak puas
sebelum semua orang jadisuka mabuk.
Minum Sosial
Orang-orang baik di kampung sulit air ada beberapa golongan. Ada yang teguh
pendirian, tak mau mabuk atau bahkan sekedr menyentuh khamr. Namun ada juga
yang sesekali mau ikut minum anggur, mereka berkilah bahwa mereka drink
socially, minum sedikit untuk menghormati kalangan yang suka mabuk. Toh tak
sampai mabuk.
Setelah dua generasi, golongan drink
socially mulai menjadi pemabuk. Namun mereka masih mengaku sebagai orang
baik-baik. Meski ayah dan kakek mereka tak pernah minum sampai mabuk, mereka
dengan bangga menenggak wine atau wiski dan mengutip pepatah latin in vino
veritas.
Lalu datanglah saatnya pesta oplosan,
momen terbesar dalam ritual para pemabuk. Kini para pemabuk tak perlu menipu
atau memaksa orang-orang baik untuk minum. Anak-anak mereka yang telah menjadi
pemabuk menjalankan tugas itu.
Tengoklah Moderatio, ia anak orang
baik-baik dan terdidik hingga bangku tertinggi sekolah kebaikan. Namun ia
belajar minum sedikit-sedikit hingga ia akhirnya jadi pemabuk berat. Ia mencela
mereka yang tak mau minum meski hanya untuk menghormati pesta oplosan. “Nego
bibo actio diaboli,” katanya. Menolak minum adalah perbuatan setan.
Mabuk Perjuangan
Lalu ada juga generasi yang lebih muda, terdidik juga meski tak setinggi
Moderatio, namanya Scio Tutus. Tutus mengatakan bahwa mereka yang peduli pada
kesejahteraan kampung hanyalah yang minum. Membantah seorang baik-baik yang
mengingatkan kejadian di masa lalu bahwa para pemabuk selalu mengingkari janji
dan siap menggusur orang baik yang memimpin, Tutus berkata:
“Nego bibo merus custodis,” orang yang
tidak minum hanya jadi penonton. padahal kampung butuh pemimpin yang aktif
terlibat dalam mengatur adat. ikut minum dalam pesta oplosan adalah jalan
terbaik untuk berusaha merebut kepemimpinan dan mengisi kampung dengan
kebaikan.
Buat Tutus dan kawan-kawannya, mereka
minum khamr dengan niat baik. Demi perjuangan mengembalikan kampung sulit air
ke pangkuan orang baik. Ketika dikritik mengapa minum sampai mabuk, mereka
berkilah bahwa itulah “mabuk perjuangan.”
Maka anak-anak muda yang baik menjadi
bingung. Di satu sisi ada kesadaran bahwa minum itu haram, tetapi di sisi lain
ada kekhawatiran kalau tidak ikut minum maka kampung hanya diatu oleh para
pemabuk.
Dalam situasi yang membingungkan itu,
banyak anak muda baik yang tadinya tak mau minum jadi tergoda. Mereka khawatir
kena dosa membiarkan kampung dikuasai pemabuk. Agar orang baik bisa turut
memimpin, maka mereka “berkorban” dengan minum sedikit. Tak apalah minum
sekali, yang penting bisa membendung kekuasaan para pemabuk.
Mereka lupa bahwa para pemabuk pun
memulainya dengan minum sedikit. Sececapan lidah sekedar mencicipi. Berlanjut seteguk
lalu meningkat sesloki hingga akhirnya sebotol dan bergelimang khamr dalam
hidupnya.
Pesta oplosan berlangsung dua putaran.
Putaran pertama untuk memilih para tetua kampung. Para tetua itu yang akan
merumuskan adat dan aturan bersama. Tentu saja dalam majelis yang dijiwai
semangat mabuk dan anggur. Sebagian orang baik yang ikut dicalonkan jadi tetua
rela minum sedikit untuk mewarnai majelis itu.
Putaran kedua adalah memilih Raja
Mabuk. Sesuai namanya, dialah yang akan memimpin dan menentukan arah
pembangunan kampung di masa depan. Para pemabuk ingin raja yang baru adalah
pemabuk paling top yang paling kuat minum. Sementara orang baik yang minum
sedikit ingin agar pemabuk paling waras yang memimpin.
Pada pesta oplosan yang lalu-lalu,
pernah terpilih pemabuk tulen yang darahnya semerah anggur merah. Namun dalam
oplosan terakhir, yang terpilih adalah pemabuk yang paling kompromis, bisa
mabuk berat di kalangan pemabuk, namun bisa juga minum air di tengah-tengah
orang baik.
Lalu, bisakah orang baik yang ikut mabuk
merebut kekuasaan dalam majelis mabuk? Berkali-kali mereka mencoba namun selalu
gagal. Sebabnya sederhana, setelah ikut minum mereka jadi teler dan kalah
bersaing dengan para pemabuk sejati. Ironis tapi mereka tak pernah kapok.
Kisah di atas mungkin terdengar asing
dan aneh. Mana ada kampung sekonyol itu. Tapi cobalah air dengan kekuasaan,
khamr dengan demokrasi, pemabuk dengan politisi sekuler dan orang baik dengan
umat Islam. Tentu kisah ini akan menemukan relevansinya dalam realita kekinian.*
*dicopy dari
majalah an-Najah edisi 102, hal. 62.