Dalam ilmu
hadits, terdapat dua kelompok hadits yang dilihat dari cara penerimaannya,
yaitu hadits yang diterima (maqbul) dan hadits yang tertolak (mardud). Para ulama telah membagi hadits-hadits
yang mardud menjadi beberapa macam. Sebagian besar mereka beri nama khusus
untuk hadits tersebut, dan sebagian lain dimasukkan ke dalam nama umum bagi
hadits yang mardud, yaitu hadits dhaif. Penyebab tertolaknya suatu hadits
beragam, tetapi umumnya semua itu kembali kepada dua sebab utama, yaitu:
1.
Sanadnya gugur
2.
Adanya cacat pada rawi
Dari penyebab
pertama di atas, yaitu gugurnya rawi pada
sanad, terbagi menjadi dua macam, gugur yang terlihat dhahir dan gugur yang
samar tersembunyi. Kemudian gugur yang dhahir ini oleh sebagian ulama hadits bagi menjadi empat istilah
berdasarkan tempat gugurnya rawi, yaitu mu’allaq, mursal, mu’dhal, dan munqathi’.
Dan yang akan dibahas disini adalah hadits mu’allaq dan mu’dhal.
A. Hadits mu’allaq
1. Definisi
Secara etimologi: isim
maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad yang seperti ini disebut mu’allaq
karena hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian
bawahnya terputus, sehingga menjadi seperti sesuatu yang tergantung pada atap
dan yang semacamnya.
Secara terminologi: hadits yang
gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik semuanya pada awal sanad secara
berurutan.
Makna serupa juga dikemukakan oleh Dr. Mahmud at Thahhan dalam kitabnya “Taisir
Musthalah al Hadits”, bahwasanya hadits mu’allaq adalah hadits yang pada bagian
awal sanadnya dibuang, baik seorang rawi atau pun lebih secara berturut-turut.
2. Bentuk hadits mu’allaq
Beberapa bentuk dari hadits mu’allaq,
ialah apabila:
a. Jika dihilangkan seluruh
sanadnya, kemudian dikatakan –misalnya- : Rasulullah ﷺ bersabda begini dan begini.
b. Bentuk lainnya adalah
jika dibuang seluruh sanadnya kecuali sahabat, atau kecuali sahabat dan
tabi’in.
Misalnya,
hadits Bukhari nomor 1:
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ
اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Telah
menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, telah
menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad
bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi
berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata;
saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua
perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung)
apa yang diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin
digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya
adalah kepada apa dia diniatkan."
Jika kita
menjadikan hadits riwayat Bukhari tentang niat di atas sebagai contoh, dapat
disebut hadits mu’allaq, apabila yang dihilangkan dari sanadnya:
1.
Al-Humaidi saja
2.
Al-Humaidi dan Sufyan
3.
Semua sanadnya
4.
Semua sanadnya kecuali Umar, atau
5.
Semua sanadnya kecuali Umar dan
Alqamah
Adapun jika
yang dihilangkan adalah Al-Humaidi dan Yahya atau Muhammad, maka hadits
tersebut tidak disebut hadits mu’allaq. Karena syarat suatu hadits disebut mu’allaq
jika hilang awal sanadnya, dan apabila ada dua sanad atau lebih, maka syaratnya adalah berturut-turut dan harus dimulai dari awal sanad.
3.
Contoh hadits mu’allaq
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Tayammum:
قَالَ
مُسْلِم وَرَوَى اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ عَنْ عُمَيْرٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سَمِعَهُ
يَقُولُ أَقْبَلْتُ أَنَا وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَسَارٍ مَوْلَى مَيْمُونَةَ
زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى
أَبِي الْجَهْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الْأَنْصَارِيِّ فَقَالَ أَبُو
الْجَهْمِ أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى أَقْبَلَ
عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ.
Muslim
berkata, dan Al-Laits bin Sa’d meriwayatkan dari Ja’far bin Rabi’ah dari
Abdurrahman bin Hurmuz dari Umair maula Ibnu Abbas bahwasanya dia mendengarnya
berkata, aku dan Abdurrahman bin Yasar, maula Maimunah, istri Nabi r menghadap
Rasulullah, hingga kami mampir pada abu Al-Jahm bin Al-Harits bin Ash-Shammah
Al-Anshari. Maka Abu Al-Jahm berkata, “Rasulullah r datang dari
arah sumur Jamal, lalu seorang laki-laki bertemu dengannya, dan ia ucapkan
salam kepada beliau, tetapi Rasulullah r tidak
menjawabnya hingga beliau sampai di dinding, lalu beliau usap wajahnya dan
kedua tangannya, barulah beliau menjawab salam tersebut.”
Hadits
tersebut disebut mu’allaq karena Muslim tidak sezaman dengan Al-Laits bin Sa’d.
Al-Laits termasuk tabiut tabi’in dan wafat pada tahun 175 H. Sedangkan Muslim
baru lahir pada tahun 202 H. Jadi, Muslim tidak mencantumkan perawi yang beliau
mendengar hadits tersebut darinya.
4. Hukum hadits mu’allaq
Hadits mu’allaq hukumnya tertolak (mardud), karena hilangnya salah satu
syarat diterimanya suatu hadits, yaitu sanadnya harus bersambung. Sedangkan
hadits mu’allaq itu adalah hadits yang dibuang (hilang) seorang rawi ataupun
lebih dari sanadnya, sementara kita tidak mengetahui keadaan rawi yang dibuang
tersebut.
5. Hadits mu’allaq yang
terdapat dalam shahihain
Dalam Shahih Bukhari terdapat banyak hadits mu’allaq,
namun hanya terdapat pada judul dan mukaddimah bab saja. Tidak terdapat sama
sekali hadits mu’allaq pada inti dan kandungan bab. Adapun Shahih Muslim, hanya
terdapat satu hadits saja, yaitu pada bab tayammum.
Menurut pendapat lain, hadits muallaq
yang terdapat dalam Shahih Bukhari jumlahnya 1341 hadits. Namun hadits tersebut
juga diriwayatkan pada tempat lain dengan memakai sanad yang muttashil, hanya
tinggal 160 hadits tidak didapatkan sanadnya yang muttashil dalam kitab itu.
Dan di dalam kitab Shahih Muslim hanya terdapat 3 buah hadits mu’allaq, yaitu
dalam Bab Tayammum, Kitab al-Hudud, dan Kitab al-Buyu’. Namun hadits-hadits itu
diriwayatkankan dengan muttashil dalam 14 tempat.
6.
Hukum hadits mu’allaq dalam
Shahihain
Hukum hadits
mu’allaq, yaitu mardud, berlaku bagi hadits ini secara mutlak (umum). Namun
jika dijumpai hadits mu’allaq di dalam kitab yang sudah dipastikan
keshahihannya -seperti kitab Shahihain-, maka terdapat kekhususan hukum, yaitu
sebagai berikut :
a.
Bila disebutkan
dengan sighat (bentuk kalimat) jazm (pasti), maka dihukumi
shahih dari siapa yang disandarkan, seperti kata:
Dia telah berkata
|
قَالَ
|
Dia telah menyebutkan
|
ذَكَرَ
|
Dia telah menceritakan
|
حَكَى
|
b.
Adapun jika disebutkan dengan sighat tamridh (tidak pasti), maka tidak
dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan. Akan tetapi ada yang
shahih, hasan, dan dhaif. Seperti kata:
Telah dikatakan
|
قِيْلَ
|
Telah disebutkan
|
ذُكِرَ
|
Telah diceritakan
|
حُكِيَ
|
B.
Hadits mu’dhal
Hadits mu’dhal
merupakan laqab (julukan) untuk jenis khusus dari hadits munqathi’. Maka setiap
hadits mu’dhal adalah munqathi’ dan tidak setiap hadits munqathi’ adalah hadits
mu’dhal. Ada juga ulama yang menamakannya hadits mursal.
1.
Definisi
Secara etimologi: merupakan
isim maf’ul dari kata a’dhalahu,
yang berarti tempat yang memberatkan.
Secara terminologi: Hadits yang sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih
secara berturut-turut.
Syaikh Az-Zahidy
juga berpendapat, bahwasanya mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua
orang atau lebih di tempat manapun, dengan syarat berurutan dalam gugurnya
rawi-rawi tersebut.
Ibnu Katsir
berkata, “Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang rawi
atau lebih dan termasuk di dalamnya hadits yang dimursalkan oleh tabiut
tabi’in.”
2.
Gambaran hadits mu’dhal
Jika kita mengambil hadits Bukhari nomor 1 lagi sebagai
contoh, (Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia
berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah
bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab
diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi
tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya
karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.) Maka hadits
tersebut dinamakan mu’dhal, apabila yang hilang dari sanadnya:
a.
Al-Humaidi dan Sufyan (bisa disebut juga hadits mu’allaq)
b.
Sufyan dan Yahya
c.
Yahya dan Muhammad
d.
Muhammad dan Alqamah
e.
Alqamah dan Umar
f.
Jika lebih dari dua rawi, maka syaratnya harus berurutan
3.
Contoh hadits mu’dhal
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab “Ma’rifat
Ulumil-Hadits” dengan sanadnya kepada Al-Qa’naby dari Malik
bahwasannya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata,”Rasulullah r bersabda :
لِلْمَمْلُوكِ
طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بالمعروف وَلا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا يُطِيقُ
”Seorang hamba sahaya mendapatkan makanan dan
pakaian sesuai kadarnya baik, dan tidak dibebani pekerjaan melainkan apa yang
dia mampu mengerjakannya”. Al-Hakim
berkata, “Hadits ini mu’dhal dari
Malik dalam Kitab Al-Muwaththa.”
Hadits ini kita
dapatkan bersambung sanadnya pada kita selain dari Al-Muwaththa’, diriwayatkan
dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah.
Letak kemu’dhalannya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad
bin ‘Ajlan dan bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berturutan
4.
Hukum hadits
mu’dhal
Para ulama sepakat bahwasannya hadits mu’dhal adalah dhaif, lebih buruk statusnya
daripada Mursal dan Munqathi’,
karena sanadnya banyak yang terbuang.
5.
Hubungan antara
hadits mu’allaq dan mu’dhal
Antara
hadits Mu’dlal dan Mu’allaq terdapat aspek-aspek umum dan khusus.
a.
Mu’dhal dan
Mu’allaq terkumpul dalam satu bentuk, yaitu jika pada permulaan sanadnya dibuang
dua orang rawi secara berturut-turut. Saat itu menjadi mu’dhal dan mu’allaq
secara bersamaan.
b.
Mu’dhal dan Mu’allaq
saling membedakan diri dalam dua bentuk yaitu:
1.
Jika yang
dibuang di tengah-tengah sanad itu dua orang rawi secara berurutan; maka dalam
kondisi ini, haditsnya mu’dhal, bukan mu’allaq.
2.
Jika yang
dibuang hanya seorang rawi pada permulaan sanad, maka dalam hal ini haditsnya mu’allaq,
bukan mu’dhal.
Kesimpulannya, hadits mu’allaq adalah hadits yang
sanadnya terputus dari awalnya, jikapun ada dua atau lebih maka syaratnya harus
berturut-turut. Sedangkan hadits mu’dhal adalah hadits yang pada sanadnya gugur
dua rawi secara berurutan di bagian manapun.
Begitupun ketika yang gugur lebih dari dua, maka
syaratnya tetap sama yaitu berurutan. Suatu hadits bisa
dimasukkan ke dalam dua jenis hadits tersebut –mu’dhal dan mu’allaq- jika yang
gugur adalah dua rawi dari awal sanad.
Wallahu a'lam
Wallahu a'lam
Referensi:
Az-Zahidi, Syaikh. Al-Fushul fie
Musthalah Hadits Ar-Rasul
Bukhari, Imam.Shahih Bukhari. Maktabah
syamilah
Katsir, Ibnu.Al-Ba’its Al-hatsits.
Maktabah syamilah
Mahmud, Thahan. 2009.Ilmu Praktis Hadits.Cetakan
ke-3. Diterjemahkan oleh: Abu Fuad.
Pustaka Thriqul Izzah, Bogor.
Muslim, Imam.Shahih Muslim.
Maktabah syamilah
Qatthan, Manna’. 2012.Pengantar Studi
Ilmu Hadits.Cetakan ke-6. Diterjemahkan oleh: Mifdhol Abdurrahman, Lc.
Pustaka al-Kautsar, Jakarta.
Shilah , Ibnu.muqaddimah Ibnu Shilah.
Maktabah syamilah
0 komentar:
Posting Komentar