Saat kecil,
semua orang pasti memiliki kenangan yang mungkin tak terlupakan. Kisah ini
terjadi saat saya duduk di kelas satu eSDe. Sore hari biasa kami isi dengan
mengaji di tpq. Jarak tpq dan rumah mungkin ada 1 km. Bersama kakak dan seorang
teman, kami terbiasa berangkat dan pulang bersama.
Zaman dulu,
berjalan kaki merupakan perkara yang dilazimi banyak orang, begitupun dengan
kami. Berbeda dengan zaman sekarang, banyak anak eSDe yang “beraksi” dengan
sepeda motornya.
Sore itu masih
musim panen kacang hijau. Hamparan hitam terhampar di sawah. Ya, matangnya
kacang hijau ditandai dengan kulit yang menghitam. Seperti biasa, kami pulang
tpq bersama. Setelah memilih lewat pematang sawah, dengan riangnya kami
berjalan beriringan. Sebenarnya ada jalan setapak menuju rumah, namun kami
memilih jalur hijau.
“Ada udang di
balik rempeyek, eh, dibalik batu.” Kami menyusuri sawah sembari mengamalkan
peribahasa “Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”. Saat berjalan, tangan
kami asyik memetik beberapa batang (saya kurang tau, istilahnya apa) kacang
hijau. Saya tidak dibebani tugas memetik, hanya mereka berdua. Tapi tas saya
menjadi gudang seleundupan yang tak seberapa itu. Ada perkataan menarik yang
diucapkan kakak saya.
“ngambilnya jangan banyak-banyak, satu
petak sawah satu batang aja, kasihan petaninya, biar kita nggak dianggap nyuri.”
(kurang lebihnya begitu kalau diucapkan dengan Bahasa Indonesia, ^^)
Intinya,
menurut kami (saat itu), kalau mengambil kacang hijau dalam jumlah sedikit maka
tidak disebut mencuri. (padahal mah sama saja, he). Kejadian itu terjadi dua
hari berturut-turut. Kami berniat akan membuat bubur dengan kacang hijau yang
kami peroleh. Padahal jika kalian tahu, kacang hijau yang kami dapat sangatlah
sedikit. Tentu saja, karena kami memetik dengan hati nurani, sedikit sekali.^^.
Hingga
ketika ibu saya tahu, beliau pun menasihati kami untuk tidak mengulangi
perbuatan tersebut. Esoknya, saya disuruh mengantar semangkuk bubur kacang
hijau untuk teman saya. Ya, akhirnya kami dibuatkan bubur dengan biji kacang
hijau yang bukan hasil selundupan kami. Alhamdulilah. Setelah itu, kami tak
pernah lagi mengulangi “kenakalan” itu. Hingga saat ini, jika saya mengingat
kejadian tersebut, saya hanya tersenyum. Betapa “kreatifnya” kami ketika kecil
dahulu.
NB: kepada bapak2 yang kacang hijaunya hilang beberapa biji karena ulah kami, kami mohon maaf sebesar-besarnya.
:D
BalasHapusAduh.... bocah cilik.....
anaa-na bae sih....
ora rampung-rampung kiye ngguyune....
:D:D:D:D
wkwkwk... maklum.. msh bocah.... hha :)
BalasHapusYa ora gedhe",,, cilik bae....
BalasHapushaha.. itu kan dulu...
Hapus