Oleh: Iffah
Izzah A.
A.
Pendahuluan
Slogan “dua
anak lebih baik” yang digemborkan program Keluarga Berencana (KB) sepertinya
sudah familiar bagi masyarakat Indonesia. Terlebih, di beberapa tepi jalan
dipasang reklame-reklame yang mempromosikan KB. KB sepertinya dianggap sebagai
metode untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Sejatinya, esensi
dari sebuah pernikahan ditinjau dari maqashid syariah adalah hifdhu an-Nasl (menjaga
keturunan). Pembatasan jumlah anak tidak sejalan dengan prinsip tanasul (memperbanyak
keturunan). Ketika banyak pasangan mencukupkan diri dengan dua anak atau bahkan
satu saja, tentunya populasi manusia dapat terancam. Islam sendiri sangat
melarang membunuh anak karena takut miskin. Ber-KB memang tidak berarti
membunuh anak secara mutlak, hanya saja esensi dari program tersebut sama,
menolak banyak anak demi kesejahteraan hidup. Takut akan kemiskinan. Terlebih,
sebagai orang mukmin sudah seyogyanya yakin bahwa rezeki sudah ditentukan oleh
Allah.
Tidak semua
bentuk KB dilarang. Parameter dibolehkannya adalah niat, kondisi, dan alat
kontrasepsinya. Sejatinya, alat kontrasepsi yang umum digunakan tidaklah hanya
satu jenis. Dalam makalah ini, penulis akan membatasi tentang hukum memakai IUD
(Intra Uterine Device) atau yang lebih familiar kita sebut spiral. Tentunya pemakaian
alat ini tidak bisa dilakukan mandiri oleh seorang wanita. Ia memerlukan
bantuan dokter atau bidan yang sudah ahli. Lalu, sebenarnya bagaimana KB
menurut Islam? Serta bolehkah membuka aurat di depan dokter untuk memakai alat
kontrasepsi?
B.
Definisi
a.
Definisi aurat
Secara
etimologi aurat berarti segala perkara yang dirasa malu, dan bisa juga bermakna
aib, cacat, atau cela.
Adapun secara terminlologi, aurat adalah suatu hal yang jika terlihat maka akan
menimbulkan rasa malu.
b.
Definisi Alat Kontrasepsi
Adapun alat, Secara
etimologi, berarti sesuatu yang dipakai untuk mencapai maksud. Sedangkan
kontrasepsi adalah cara untuk mencegah kehamilan (dengan menggunakan alat atau
obat pencegah kehamilan, seperti spiral, kondom, pil antihamil). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, alat kontrasepsi berarti alat untuk mencegah kehamilan.
Keluarga
Berencana (KB) pertama kali ditetapkan sebagai program pemerintah pada tanggal
29 Juni 1970, bersamaan dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional. Program KB di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1957, namun masih
menjadi urusan kesehatan dan belum menjadi urusan kependudukan. Program KB didukung Undang-Undang sebagai salah satu upaya untuk
mewujudkan keluarga sehat dan berkualitas. Pegaturan kehamilan dalam program KB
dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi. Dari sinilah banyak masyarakat yang mempertanyakan hukum KB, yang di
dalamnya identik dengan pemakaian alat kontrasepsi.
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, bahwa alat kontrasepsi itu beragam. Baik dari
bentuk, ataupun dari sifatnya yang permanen, sementara, atau hanya mencegah.
Dalam pembahasan ini, penulis akan lebih memfokuskan pada IUD atau IUD (Alat
Kontrasespsi Dalam Rahim).
c.
Definisi IUD
IUD (Intra Uterine Device) adalah alat kontrasepsi yang disisipkan ke dalam
rahim, terbuat dari bahan semacam plastik, ada pula yang dililit tembaga, dan
bentuknya bermacam-macam. Bentuk yang umum dan mungkin banyak dikenal oleh
masyarakat adalah bentuk spiral. Spiral tersebut dimasukkan ke dalam rahim oleh
tenaga kesehatan (dokter/bidan terlatih). Mekanisme
kerja IUD ialah menciptakan lingkungan yang tidak kondusif karena adanya reaksi
benda asing. Kondisi ini menyebabkan penyerbukan leukosit yang dapat menghancurkan
sperma, ovum bahkan blastocysta.
C.
Hukum
Melakukan KB
Pada dasarnya,
Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk memperbanyak keturunan. Diantara
hadits yang menerangkan hal tersebut adalah hadits riwayat Ma’qil bin Yasar ketika
ada seorang lelaki yang berkonsultasi tentang calon istrinya yang nasabnya baik
dan cantik namun tidak memiliki anak, maka beliau mengatakan “Jangan” lalu
lelaki tersebut bertanya untuk yang kedua kali, maka Rasulullah Saw., bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ
فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
“Nikahilah
wanita yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan
berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).”
(HR. Abu Dawud)
Dalam hadits
Ma’qil di atas, ketara sekali bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk
memperbanyak keturunan. Terlepas dari takdir mandul yang diberikan Allah,
setiap muslim hendaknya berusaha bagaimana memperbanyak kuantitas umat Islam
yang juga berkualitas. Sehingga bertebaranlah di bumi ini hamba-hamba Allah
yang beriman dan bertaqwa. Hingga hukum ‘azl pun –jika tanpa izin istri-
dimakruhkan. Ulama berhujjah akan kemakruhan ‘azl dengan hadits yang
menjelaskan bahwa ‘azl dinilai mengandung unsur pembunuhan.
Bagi ulama
kontemporer, dikenal istilah tahdid an-Nasl (membatasi jumlah keturunan)
dan tandhim an-Nasl (mengatur jarak kelahiran). Pembagian ini dilihat
dari segi niat. Tahdid an-Nasl merupakan rencana membatasi anak dalam
jumlah tertentu, seperti dua atau tiga anak saja, sebagai upaya menjaga
kestabilan perekonomian keluarga misalnya, atau karena enggan menambah anak
setelah itu. Adapun tandhim an-Nasl adalah upaya menunda kehamilan
sampai kondisi wanita kembali stabil, kemudian ia tinggalkan alat-alat pencegah
kehamilan untuk memiliki anak lagi sekalipun jumlah anaknya sudah banyak.
Dalam istilah
Arab, mencegah kehamilan permanen disebut at-Ta’qim ad-Daim. Bentuk KB
jenis ini dilarang oleh Islam, berdasarkan banyaknya hadits yang melarang
kebiri. Larangan ini juga berlaku pada pemakaian alat-alat modern yang
digunakan untuk mencegah kehamilan permanen beserta semua motifnya kecuali
karena pertimbangan medis yang mendesak.
Syaikh Bin Baz
ditanya tentang hukum memakai alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kelahiran,
maka beliau menjawab, “Tidak mengapa memakai alat kontraspsi untuk mengatur
jarak kehamilan untuk menghindari kemadharatan. Akan tetapi, hal itu hendaknya
dilakukan pada masa menyusui (tahun pertama dan kedua) hingga tidak
mengakibatkan kemadharatan untuk kehamilan setelahnya, juga agar tidak memberi
kemadharatan untuk pendidikan anak-anaknya. Jika kehamilan yang berurutan
(dalam waktu dekat) memberi kemadharatan pada pendidikan anak atau kesehatan
dirinya, maka tak masalah mengatur jarak kehamilan setahun dua tahun selama
masa menyusui. Karena sejatinya Rasulullah SAW menganjurkan untuk memperbanyak
keturunan.”
Adapun Syaikh
Fauzan juga dimintai fatwa berkenaan hukum mengkonsumsi pil pencegah hamil.
Menurut beliau, hukumnya tidak boleh mengkinsumsi pil pencegah hamil kecuali
dalam keadaan darurat. Disebut darurat jika dokter memvonis kehamilannya bisa
berujung pada kematian. Sedangkan mengkonsumsi pil tersebut dengan tujuan
menunda kehamilan, maka tidaklah mengapa selama hal tersebiut memang
diperlukan. Misalnya jika kesehatannya tidak baik jika hamil yang satu dengan
setelahnya berdekatan, atau karena hal tersebut memberi kemadharatan bagi anak
pada masa penyusuannya. Sifat pil tersebut pun tidak menghentikan kehamilan
(permanen), tapi hanya sekedar bisa untuk menunda. Hal tersebut tidak apa-apa
dilakukan sesuai kebutuhan dan setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan
dokter.
Syaikh Abu
Malik Kamal membagi pencegah hamil menjadi 3: ‘azl, kontrasepsi
permanen, dan kontrasepsi temporal. Hukum azl makruh. Ketentuan kontrasepsi
temporal sama seperti ‘azl, lebih baik dihindari, namun jika
penggunaannya karena takut miskin maka hukumnya menjadi haram. Adapun
kontrasepsi permanen, bisa dengan cara sterilisasi (mengikat atau memotong
salura telur) ataupun dengan mengangkat rahim, maka tidak ada perbedaan pendapat
akan keharamannya. Kecuali jika memang ada kondisi darurat yang jika rahim
tidak diangkat atau langkah semisalnya bisa membahayakan jiwa ibu, maka
sterilisasi diperbolehkan.
D.
Aurat Wanita
Di Depan Sesama Muslimah
Ahli medis
yang paling sering menangani KB adalah bidan. Karena itu, disini penulis akan
membahas aurat wanita di depan wanita, sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada
bidan di negara kita yang berasal dari kaum Adam. Ulama berbeda pendapat
mengenai batasan aurat antar sesama wanita. Mayoritas ulama mengatakan bahwa
aurat wanita di depan sesama wanita adalah sebagaimana aurat laki-laki, yaitu
antara pusar dan lutut. Ulama yang berpendapat demikian adalah kalangan
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Dalam kitab
Badai’ ash-Shanai’ disebutkan bahwa apa yang boleh dilihat sesama lelaki juga
dibolehkan untuk dilihat antar sesama wanita. Wanita boleh melihat seluruh
tubuh sesamanya kecuali anggota tubuh yang terdapat antara pusar dan lutut.
Karena melihat bagian selain itu bagi sesama wanita pada umumnya tidak
mengakibatkan munculnya syahwat dan fitnah. Ia tidak boleh melihat antara pusar
dan lutut wanita lain kecuali untuk hal darurat, maka dibolehkan melihat
kemaluannya seperti saat melahirkan atau untuk mengetahui keperawanan budak yang
dibeli dengan syarat masih perawan.
Adapun pendapat
madzhab Dhahiriyah memang berbeda dengan pendapat jumhur. Dalam kitab
al-Muhalla tertulis bahwa seorang lelaki boleh melihat seluruh tubuh mahram
wanitanya, seperti ibu, nenek, anak perempuan, cucu perempuan, bibi dari pihak
ibu, bibi dari pihak ayah, anak perempuan saudara lelakinya, anak perempuan
saudara perempuannya, istri bapaknya, dan istri anaknya kecuali dubur dan
kemaluan saja Begitu juga hukumnya antara sesama wanita, ataupun sesama lelaki.
Mereka
berdalil dengan firman Allah pada Surat an-Nur ayat 31. Dalam ayat tersebut Allah
Ta’ala menyebutkan perhiasan mereka (para wanita) yang dzahir boleh
diperlihatkan kepada semua orang yaitu muka dan kedua telapak tangan saja.
Adapun perhiasan yang tersembunyi haram diperlihatkan kecuali kepada golongan
yang telah disebutkan Allah dalam ayat tersebut.
Kemudian Ibnu Hazm menambahkan, “Kami mendapati bahwa Allah
menyamakan hukum tersebut bagi suami, para wanita, anak-anak, dan juga kepada
semua yang telah kami sebutkan dalam ayat di atas. Tetapi terkhusus bagi suami,
ia boleh melihat kemaluan dan dubur istrinya.”
Menurut madzhab Dzahiri, aurat wanita di depan sesamanya
yaitu hanya kemaluan dan duburnya saja. Hal ini karena mereka mentafsirkan
aurat dzahir (yang dibolehkan semua orang melihatnya) yaitu muka dan telapak
tangan dan hanya membolehkan golongan-golongan yang disebutkan dalam Surat
an-Nur: 31 untuk melihat aurat bathinnya (kecuali dubur dan kemaluan).
Mereka menyamakan batasan aurat bagi mahram dan sesama wanita
karena keduanya sama-sama disebutkan dalam ayat tersebut.
E.
Membuka Aurat
Saat Memakai Alat Kontrasepsi
Setelah mengetahui
batasan aurat wanita dan hukum umum KB, maka dalam sub bab ini kami akan
membahas mengenai hukum membuka aurat saat memakai alat kontrasepsi. Sebagaimana
diketahui, menurut mayoritas ulama aurat wanita di hadapan sesama wanita adalah
dari pusar sampai lutut.
Secara umum,
seorang wanita tidak boleh memperlihatkan auratnya baik kepada lelaki ataupun kepada
sesama wanita. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seorang seorang wanita
melihat aurat wanita lain dan janganlah seorang laki-laki melihat aurat
laki-laki lain.” (HR. Ibnu Majah)
Ketika seorang
ahli medis (bidan atau dokter kandungan) membantu seorang wanita untuk
memasukkan spiral, secara otomatis mereka akan melihat aurat wanita tersebut
karena memang cara memasukannya lewat jalan lahir. Dalam buku Memilih
Kontrasepsi Alami & Halal dihukumi secara umum bahwa IUD termasuk alat
kontrasepsi yang tidak boleh digunakan karena memperlihatkan aurat dalam
kondisi tidak darurat.
Penulis sempat
melakukan wawancara singkat dengan dr. Dyah Andari mengenai hal tersebut.
Beliau menghukumi IUD secara umum sebagai alat kontrasepsi yang dilarang karena
ada unsur membuka aurat. Menurut beliau, memakai IUD bukan sesuatu yang darurat
ataupun mendesak, karena masih banyak alternatif alat kontrasepsi lain.
Terlebih menurut beliau, KB sendiri tidak diperbolehkan tanpa adanya kebutuhan.
Kecuali jika wanita memang butuh ber-KB dan dia mempunyai penyakit yang akan
bertambah parah jika mengkonsumsi alat kontrasepsi yang sifatnya hormonal
seperti pil KB, atau dia kesulitan melakukan KB kalender, maka dalam kondisi
darurat tersebut si wanita boleh menggunakan IUD.
Imam
asy-Syarbini menjelaskan bahwa keharaman melihat dan menyentuh aurat adalah
ketika tidak hajat untuk melihat dan menyentuhnya. Adapun ketika ada hajat maka
melihat dan menyentuh hukumnya boleh seperti jika untuk pengobatan walaupun
pada kemaluan, karena jika diharamkan dalam kondisi tersebut akan menimbulkan
kesulitan. Jadi seorang laki-laki boleh mengobati orang perempuan dan
sebaliknya dan hendaknya hal itu dilakukan di hadapan mahram atau suami.
Jika seorang laki-laki saja (dalam keadaan darurat) boleh melihat aurat wanita
untuk pengobatan, maka tentu yang lebih boleh adalah wanita melihat aurat
wanita lain untuk kepentingan medis yang mendesak, salah satunya untuk memasang
alat kontrasepsi IUD dalam kondisi darurat.
F.
Penutup
Berdasarkan
apa yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum
melakukan KB dibolehkan jika memang dibutuhkan dan bukan dilandasi karena rasa
takut akan kemiskinan, serta sifatnya pun hanya sementara saja. Adapun hukum memakai
IUD secara umum adalah haram karena ada unsur memperlihatkan aurat. Penulis
setuju dengan pendapat dr. Dyah, yaitu jika masih ada alternatif alat
kontrasepsi lain, maka sudah seyogyanya ia tidak menggunakan IUD. Meskipun
demikian, jika seorang wanita memiliki hajat untuk menunda kehamilan dan dia
tidak bisa menggunakan alat kontrasepsi selain IUD, maka ia boleh memakai IUD
karena keadaan darurat yang mengharuskannya untuk memakai alat tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
‘Adawi, al-, Mushthafa. Jami’ Ahkam an-Nisa’. Riyadh: Dar
Ibnu al-Qayyim. 2008.
Andalusi, al-, Ibnu Hazm. Al-Muhalla bi al-Atsar. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2003.
Anton, Dwi & Dyah Andari. Memilih Kontrasepsi Alami &
Halal. Solo: Aqwam Media Profetika. 2008.
Baz, Bin. Majmu’ Fatawa al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz. Ttp:
t.p. t.t.
Dardir, ad-, Ahmad. Asy-Syarh Ash-Shaghir. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Tp.
Duwaisy, ad-, Ahmad. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts
al-Ilmiyah wa al-Ifta. Riyadh: Dar al-‘Ashamah. T.t.
Kamal, Abu Malik. Fiqh as-Sunnah li an-Nisa. Kairo: Dar
at-Taufiqiyah. 2009.
Kasani, al-, Imam. Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’.
Cet. ke-2. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi. 1974.
Mansur, Muhammad Khalid. Al-Ahkam ath-Thibbiyyah al-Muta’alliqah
bi an-Nisa fi al-Fiqh al-Islami. Cet. ke-2. Yordania: Dar an-Nafais. 1999.
Qudamah, Ibnu. Al-Mughni ‘Ala Mukhtashar al-Khiraqi. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2008.
Ramli, ar-, Imam. Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj.
Beirut: Dar al-Fikr. 2009.
Syarbini, asy-, Imam. Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani
Alfadz al-Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr. 2009.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan
Analisis Keluarga Berencana. Jakarta selatan: Pusat Data dan Informasi.
2014.
Zuhaily, az-, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu. Cet. ke-10. Damaskus: Dar al-Fikr. 2007.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2000.