Setiap kita
tentu memiliki aib. Aib yang kita tak menginginkannya jika orang lain tahu.
Entah itu kekurangan fisik, kebiasaan
buruk, dosa, atau suatu
fitroh yang kita malu jika diketahui orang. Aib merupakan sesuatu yang
diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Dalam Islam,
seorang muslim dilarang menyebarkan aib saudaranya. Ini bukti bahwa Islam
sangat menjaga perasaan dan kehormatan seseorang. Allah cinta untuk menutupi aib
makhluk-Nya, dan memerintahkannya (menutupi aib orang lain), oleh karena itu
Allah mengharamkan tindakan mata-mata dan melarangnya.
Menyebarkan
aib sesama muslim hukumnya haram. Sebagaimana sabda Rosululloh:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَامُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرْضُهُ
“seorang
muslim atas muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Aib saudara
kita wajib kita jaga, bukan malah menyebarkannya dan menjadikan bahan untuk
ghibah. Ghibah sendiri diibaratkan memakan bangkai manusia. Jijik bukan? . Mendengarkan
ghibah sama hukumnya dengan melakukannya. Sudah seyogyanya kita menghindari
majlis ghibah. Dan sebisa mungkin kita hentikan atau megingatkan mereka.
Alloh akan menutupi aib orang yang menutupi aib saudaranya
Kita tentu ingin Alloh menjaga aib
kita, di dunia maupun di akhirat. Lalu, bagaimana caranya? Mudah, kita hanya diminta
untuk tidak menyebarkan aib saudara kita. Semua muslim ibarat satu tubuh, jika kita
sakiti saudara kita, sama saja seperti menyakiti diri sendiri. Ketika kita menyebutkan
aib orang lain, sama saja kita menyebut aib sendiri.
Rasulullah bersabda :
"tidaklah seorang hamba menutupi aurat (kekurangan/aib) orang lain di
dunia kecuali Allah menutupi auratnya di akhirat." HR. Muslim.
Namun masih sering kita lalai akan hal ini, yaitu bermain-main
dengan aib. Kita lupa disaat kita membuka aib orang lain, maka suatu saat Alloh
akan membuka aib kita, setelah Alloh menjaganya, tanpa mampu kita menolaknya.
Perlu
diketahui, balasan orang yang membuka aib saudaranya, maka Alloh akan membuka
aibnya. Tentu kita tidak ingin aib kita diketahui orang. Balasan Alloh bagi
orang yang menyebarkan aib saudaranya telah dijelaskan dalam hadits riwayat Abu
Dawud dan Ahmad. “Hai semua orang-orang yang beriman dengan lisannya, dan iman
tidak masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan
jangan membuka aurat mereka, karena barangsiapa yang membuka aurat saudara
muslimnya, maka Alloh membuka auratnya dan menjelek-jelekkannya kendati ia
berada di tengah rumahnya.”
Fudhail
bin Iyadh berkata, “Seorang mukmin ialah yang menutupi aib saudaranya kemudian ia
memberikan nasihat padanya, adapun orang yang durhaka ialah yang membongkar aib
saudaranya kemudian ia mencelanya.”
Kisah teladan dalam menjaga aib
orang lain
Kisah ini adalah kisah suri tauladan
kita, Nabi Muhammad. Suatu hari para sahabat sedang berkumpul di masjid. Lalu terciumlah
bau kentut diantara mereka, sehingga membuat para sahabat tidak tahan dengan
bau tersebut, salah seorang dari mereka berdiri dan berkata, “ barangsiapa yang
kentut, silakan bangun”.
Hening, tak seorang pun berdiri.
Ketika datang waktu isya mereka berkata,
“orang yang kentut pasti akan berwudhu setelah ini. Orang itulah yang kentut”.
Setelah itu, para sahabat menoleh
ke belakang untuk melihat siapa yang keluar. Masih seperti tadi, tak seorang pun
yang beranjak dari tempat duduknya. Mungkin beliau malu. Namun, sholat tanpa wudhu
tentu tidak sah. Lalu Bilal bangun untuk
mengumandangkan adzan. Tapi Nabi Muhammad berkata: “tunggu dulu, aku belum batal,
tapi aku hendak berwudhu lagi. Lalu para sahabat pun ikut berwudhu dan tidak diketahui
siapa yang kentut waktu itu.
Subhanalloh. Sungguh, dalam diri Rosululloh
terdapat teladan yang baik bagi kita semua. Kisah tentang menjaga perasaan saudara
seiman pun juga terjadi pada seorang ulama, yaitu Syaikh Abdurrohman Hatim bin
Alwan. Beliau merupakan salah satu ulama besar di Khurasan pada zamannya. Dikenal
dengan Hatim Al Ashom, yang artinya Hatim si tuli.
Suatu ketika ada seorang wanita
yang datang menemui beliau. Namun, tanpa sengaja ia kentut dengan suara yang cukup
keras. Wanita itu salah tingkah, menahan malu. Lalu syaikh ini pura-pura tuli,
dan meminta si wanita mengulangi pertanyaannya. Dengan sikap sang syaikh, ia
pun merasa sedikit lega. Ia mengira sang syaikh benar-benar tuli. Lalu mereka berbicara
dengan saling meninggikan suara.
Wanita itu hidup selama lima belas
tahun setelah kejadian tersebut. Selama itu pula Syaikh Hatim pura-pura tuli. Hingga
wanita itu meninggal, ia tak pernah tahu kepura-puraan beliau.
Dua kisah di atas menceritakan bagaimana
seharusnya seorang muslim untuk menjaga kehormatan saudaranya. Bukan malah menertawakannya
atau menyebarkan aibnya seperti yang sering kita temui.
Boleh menyebutkan aib orang dalam
hal-hal tertentu
Hukum asli membuka aib seseorang
adalah haram. Namun dalam beberapa keadaan hal itu diperbolehkan. Berikut ini
adalah hal-hal yang membolehkan kita untuk menyebut aib seseorang.
1.
Ketika didholimi, kita diperbolehkan mengadukan
kedholimannya kepada hakim atau penguasa. Dengan mengatakan, “dia
mendholimiku”.
2.
Merupakan sarana untuk menghentikan kemungkaran dan
mengembalikan pelaku maksiat pada kebenaran. Seperti ucapan “fulan berbuat
seperti ini, maka cegahlah”.
3.
Meminta fatwa kepada mufti: “sesungguhnya aku telah
didholimi oleh ayahku/ saudaraku/ suamiku, maka bagaimana hal tersebut?”,
seperti perkataan Hindun ketika mengadu kepada Rosul : “sesungguhnya Abu Sufyan
itu orang yang kikir”.
4.
Menghindarkan kaum muslimin dari kejelekan. Seperti
mengkhabarkan tentang kekurangan perowi, saksi, atau pengarang.
5.
Orang tersebut terang-terangan dengan kefasikan atau
bid’ahnya.
6.
Untuk mengetahui seseorang sesuai dengan julukannya. Seperti
si pincang, si pendek , si buta, dll. Meski tidak memanggil dengan julukan
tersebut lebih baik.
Ini merupakan alasan syar’i yang membolehkan kita menyebut aib seseorang.
Intropeksi diri sendiri
Sesuatu yang paling mudah terlihat dari seseorang
adalah aibnya. Sebagaimana pepatah “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di
pelupuk mata tidak tampak”.
Kadang kita terlalu sibuk dengan
aib orang lain, hingga lupa akan aib sendiri. Ketika sedang membicarakan aib
orang lain, kita mersa menjadi sosok yang sempurna. Padahal aib yang kita
miliki pun tak kalah banyaknya. Dan kita bersyukur jika masih memiliki rasa
malu untuk menjaga aib tersebut. Adapun kekurangan fisik tak perlu terlalu dirisaukan.
اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ
اِلَى صُوَرِكُمْ وَ لاَ اَجْسَادِكُمْ وَ
لَكِنَّ اللهَ يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ اَعْمَالِكمْ
“Sesungguhnya Alloh
tidak menilai bentuk dan badan kamu, tetapi Dia menilai hati dan perbuatan kamu.”(
HR. Muslim )
Namun bila memang ada kemampuan untuk
menutupi atau menghilangkannya, maka tak mengapa asalkan hal itu tak bertentangan
dengan syariat.
Adapun dengan maksiat dan dosa
yang kita lakukan, sebisa mungkin tak ada orang lain yang tahu. Setiap orang
pasti pernah salah. Dan kita dianjurkan untuk tidak membuka aib kita sendiri. Sebagaimana sabda Rosululloh: “Setiap umatku dimaafkan
kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk
terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam
hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan
ini dan itu –padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka
tutupan Allah atas dirinya.” (HR. Bukhori Muslim)
Orang yang beruntung adalah dia yang bisa menyibukkan
dirinya dengan aib-aibnya serta berusaha memperbaikinya, sehingga ia tak sempat
menyebut-nyebut aib orang lain. Disebutkan dalam sebuah atsar, “Keberuntungan bagi
orang yang sibuk akan aib-aibnya sendiri daripada aib-aib orang lain.”
Oleh karena itu, mari kita sibukkan
diri dengan mengintropeksi diri sendiri, daripada sibuk-sibuk memikirkan dan menyebarkan
aib orang lain. Wallohu a’lam.
Referensi:
·
Berdosa karena lidah.2008. Syaikh Nada Abu Ahmad
·
Minhajul muslim. Abu Bakar Jabir Al jazairy
·
Shohih muslim. Imam An nawawy
·
Addriadi.com
·
Amizzat.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar