Oleh: Iffah
Izzah A.
A.
Pendahuluan
Tidak dipungkiri, ketika suami
hendak berangkat ke masjid, masih banyak diantara mereka yang menyentuh istrinya
padahal ia telah berwudhu. Bahkan diantara mereka ada yang mencium istrinya. Entah
itu disertai syahwat ataupun tidak. Tapi bagi sebagian muslim, mereka sangat
menjaga untuk tidak bersentuhan dengan lawan jenis karena hal tersebut diyakini
membatalkan wudhu, sekalipun itu istrinya sendiri.
Hukum menyentuh wanita setelah
berwudhu menjadi hal yang diperselisihkan ulama, apakah hal tersebut
membatalkan wudhu atau tidak. Apalagi jika efek ciuman tersebut sampai menyebabkan
keluarnya madzi. Dalam makalah sederhana ini, penulis hendak memaparkan
perbedaan pendapat ulama terkait menyentuh wanita yang imbasnya akan
mempengaruhi status wudhu seseorang.
B.
Definisi
Dalam literatur Arab, ciuman sering
disebut dengan qublah, yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja “qabbala”.
Ibnu Mandhur menyebutkan bahwa qublah merupakan ciuman yang sudah dikenal
(sesuai ‘urf). Bisa dikatakan seorang lelaki mencium wanita dan anak
kecil[1].
Qabbala memiliki
sinonim latsima yang cakupan definisinya lebih spesifik. Dalam Kitab
al-‘Ain dijelaskan bahwa arti kata latsima (mencium) adalah “kamu
meletakkan mulutmu (bibir) di atas mulut orang lain[2].”
Adapun dalam Kamus Bahasa
Indonesia, mencium berarti melekatkan hidung pada sesuatu (seperti pipi,
tangan, kening) serta menghirupnya. Ciuman diartikan sebagai hirupan dengan
hidung, bisa juga dimaknai kecupan[3].
Adapun mengecup didefinisikan “mencium dengan melekatkan bibir.[4]”
Secara etimologi, kata wudhu
–dengan membaca dhammah pada huruf wawu (wudhu)- adalah nama
untuk suatu perbuatan yang memanfaatkan air dan digunakan untuk (membersihkan)
anggota-anggota badan tertentu. Ia diambil dari kata berbahasa arab al-Wadhaah,
al-Hasan, dan an-Nadhafah. Jika dikatakan wadha’a ar-Rajul
dalam ungkapan Arab, maka kalimat itu berarti “lelaki itu telah
bersih/baik/suci[5].”
Adapun wudhu secara terminology
diartikan sebagai amalan-amalan khusus yang dimulai dengan niat[6].
Yaitu dengan membasuh muka, kedua tangan, kedua kaki, serta mengusap kepala.
C.
Pembatal Wudhu
Dalam kitab
al-Wajiz, Dr. Wahbah az-Zuhaily menyebutkan beberapa pembatal wudhu (yang
disepakati), yaitu:
1.
Hilangnya akal, baik karena gila,
pingsan, mabuk, tidur lelap yang tidak memungkinkan dilakukan dengan duduk.
Atau karena pengaruh obat-obatan seperti ganja dan lainnya.
2.
Keluar sesuatu dari qubul ataupun
dubur, baik itu kencing, tinja, atau angin yang keluar dari dubur (kentut).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau kembali dari tempat buang air
(kakus).” (Q.S. al-Maidah: 6)
3.
Menyentuh kemaluan (qubul atau
dubur) tanpa penghalang. Sebagaimana hadits riwayat Busrah binti Shafwan bahwasanya
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka ia tidak boleh
shalat sampai ia berwudhu.”
4.
Keluar madzi atau wadi. Keluarnya
dua hal tersebut membatalkan wudhu. Terlebih jika keluar mani, karena itu
menjadikannya wajib mandi. Madzi adalah cairan putih tipis yang keluar ketika
bersyahwat atau memikirkan hubungan intim, dan keluarnya tidak memancar. Sedangkan
wadi merupakan cairan putih keruh dan kental yang keluar setelah buang air
kecil atau akibat menbawa benda yang berat. Adapun mani, yaitu cairan kental
yang memancar, yang keluar ketika naiknya syahwat, dalam keadaan ini wajib
mandi, dan tidak diwajibkan mandi ketika keluar wadzi dan madi[7].
D.
Hukum Menyentuh
Istri Setelah Wudhu
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum
menyentuh wanita setelah berwudhu, apakah hal tersebut membatalkan wudhu atau
tidak. Menurut madzhab Hanafi, wudhu menjadi batal jika terjadi persetubuhan,
yaitu ketika bertemunya dua khitan tanpa adanya alas pakaian sebagai
penghalang kehangatan.[8]
Imam Abu Hanifah mengatakan, “Wudhu
tidak batal karena ciuman ataupun saling bersentuhan, baik disertai syahwat
ataupun tidak. Sekalipun tangannya (lelaki) memegang kemaluan wanita, hal
itupun tidak membatalkan wudhu. Kecuali jika ia menggaulinya (wanita) dengan
tubuhnya tanpa adanya penghalang lalu dzakarnya tegang (ereksi), maka inilah
satu-satunya sebab wudhunya menjadi batal[9].
Imam Malik menyebutkan dalam mudawwanahnya
bahwa jika seorang lelaki menyentuh wanita dengan tangannya dengan syahwat,
baik dilakukan di atas baju ataupun di bawahnya, maka kedudukannya sama (sama
halnya jika wanita yang menyentuh), ia harus berwudhu.
Sahnun bin Said[10]
bertanya kepada Ibnu Qasim, “Jika seorang wanita mencium lelaki di selain
bibirnya, misal pada punggung, dahi, atau tangannya, apakah menurut Imam Malik
hal tersebut dianggap sebagai sentuhan yang bukan darinya (lelaki)? Ibnu Qasim
menjawab: “Ya, kecuali jika lelaki tersebut juga merasa nikmat atau sampai
mengalami ereksi, maka ketika ia merasa nikmat atau berereksi, ia juga harus
berwudhu. Begitu juga sebaliknya, jika lelaki menyentuh atau mencium wanita di
selain bibir dan si wanita merasa nikmat, ia juga wajib berwudhu, jika wanita
tersebut tidak merasa nikmat (tidak membuatnya terangsang) maka ia tak harus
berwudhu.
Adapun menyentuh wanita menurut
madzhab Syafi’i menjadi sebab batalnya wudhu. Imam Syafi’I berkata, “Jika seorang
suami menyentuh istrinya dengan tangannya atau dengan sebagian anggota tubuhnya
(suami) ke sebagian anggota tubuh istri tanpa ada perantara, baik disertai
syahwat ataupun tidak, maka keduanya wajib berwudhu. Begitu juga jika ia
menyentuh kulit istrinya (dan sebaliknya)[11].
Pendapat yang
paling populer dalam madzhab Hanbali tentang menyentuh perempuan dengan syahwat
adalah membatalkan wudhu. Namun tidak membatalkan wudhu bila bersentuhan itu
tanpa syahwat. Demikian pula pendapat Alqamah, Abu Ubaidah, An-Nakha’I, Hakam,
Malik, Sufyan ats-Tsauri, Ishaq, dan Asy-Sya’bi. Mereka berkata, “wajib
berwudhu bagi orang yang mencium tanpa syahwat dan tidak berwudhu bagi orang
yang mencium karena kasih sayang[12].
Imam Ahmad
mengatakan, “Ada kemungkinan seorang laki-laki mencium istrinya tanpa syahwat,
tetapi karena rasa kasih, penghargaan, atau cinta kepadanya. Tidakkah kamu
lihat riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau pernah datang dari perjalanan, lalu
beliau mencium Fathimah. Artinya, ciuman itu ada yang karena syhwat da nada
pula yang tidak karena syahwat. Bisa diprekdisikan pula bahwa beliau mencium dengan
adanya penghalang. Terlepas dari itu, sentuhan tanpa syahwat tidak membatalkan
wudhu, sebab Nabi SAW pernah menyentuh istri beliau dalam shalat dan istri
beliaupun menyentuh beliau[13].
Ketika Syaikh
Utsaimin ditanya apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu atau tidak, beliau
menjawab, “Pendapat yang benar adalah bahwa menyentuh wanita tidak serta merta
membatalkan wudhu, kecuali jika ada seseuatu yang keluar dari kemaluannya
(madzi atau mani).[14]”
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Pendapat
yang populer dalam Madzhab Imam Ahmad sama seperti halnya pendapat Madzhab
Maliki dan Fuqaha as-Sab’ah, yaitu bahwasanya menyentuh wnita jika
karena syahwat maka membatalkan wudhu, dan jika tidak maka wudhunya tidak
batal.[15]”
Beliau menambahkan, “Adapun
menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata, maka hal ini menyelisihi
hukum asli, ijma’ shahabat, dan atsar. Yang berpendapat demikian tidak
berdasarkan nash ataupun qiyas. Jika definisi menyentuh dalam firman Allah
(atau menyentuh wanita) menyentuh disini diartikan sebagai menyentuh dengan
tangan, ciuman, atau semisalnya –sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan selainnya-,
maka hendaknya diketahui bahwa telah disebutkan kalimat seperti itu dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah dan yang dimaksud adalah jika hal tersebut dilakukan
karena syahwat[16].”
Menurut Syaikh Abu Malik Kamal,
menyentuh wanita tanpa penghalang tidaklah membatalkan wudhu. Adapun landasan
mereka yang menganggap batalnya wudhu akibat menyentuh perempuan adalah firman
Allah Ta’ala: “atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah” (Q.S. Al-Maidah: 6) Ayat ini tidak dapat dijadikan sandaran
yang kuat, karena maksud kata “menyentuh” yang tertera dalam ayat tersebut
adalah berhubungan suami istri, sebagaimana yang ditafsirkan Ibnu Abbas
meskipun pendapatnya berbeda dengan Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan shahabat
lainnya.
Dalil penguat bahwa menyentuh
perempuan tidak membatalkan keduanya, antara lain:
a.
Hadits riwayat Aisyah RA, ia
berkata: “Pada suatu malam, aku tidak menemukan Rasulullah SAW di sisisku.
Akupun segera mencari beliau. Tetapi tiba-tiba tanganku menyentuh telapak kaki
beliau yang dalam keadaan tegak. Ternyata saat itu beliau sedang sujud. Saat
itu terdengar beliau mengucapkan “Allahumma inni a’udzu biridhaka min sakhatika
(Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu).”
b.
Aisyah RA juga meriwayatkan, “Aku pernah
tidur di hadapan Rasulullah SAW dan kedua kakiku tepat berada di arah kiblat
beliau, maka apabila beliau hendak sujud, beliau menyentuhku sehingga aku
segera menekuk kakiku, dan apabila beliau berdiri lagi, aku bentangkan lagi
keduanya. Aisyah menambahkan, “rumah-rumah pada masa itu tidak biasa dipasang
lampu.”
c.
Terdapat hadits yang menerangkan
bahwasanya Rasulullah mencium sebagian istri beliau, kemudian beliau shalat
tanpa berwudhu lagi. (Hadits ini dianggap dha’if oleh ulama mutaqaddimin)
E.
Mencium Istri
Setelah Berwudhu Sampai Keluar Madzi
Malik berkata: “Dari Ibnu Syihab,
dari Salim bin Abdillah, dari ayahnya, bahwasanya ia berkata, “Wajib berwudhu
dari ciuman lelaki kepada wanita dan juga dari sentuhannya dengan tangannya[17].”
Madzhab Maliki menganggap bahwa ciuman dapat membatalkan wudhu, tapi tidak
batal jika menyentuh atau mencium selain mulut tanpa adanya syahwat.
Adapun madzhab Hanbali menilai jika
ciuman itu karena syahwat maka wudhunya batal, dan jika tidak maka ia tak perlu
berwudhu lagi. Abu Hanifah tidak memandang menyentuh perempuan dan termasuk
menciumnya sebagai sesuatu yang membatalkan wudhu. Sedangkan madzhab syafi’i,
menyentuh saja membatalkan wudhu, apalagi sampai mencium, tentunya efeknya
lebih besar dari sekedar menyentuh.
Sebagaima yang kami sebutkan di
atas, bahwa meskipun hukum menyentuh hingga mencium wanita merupakan masalah
khilafiyah, namun ulama bersepakat bahwa keluarnya madzi menjadikan wudhu
seseorang batal.
Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama
sepakat bahwa keluar tinja dari anus, keluar air seni dari kemaluan laki-laki
dan wanita, keluar madzi dan keluar angin dari anus adalah hadats yang
membatalkan kesucian dan mewajibkan wudhu[18].
Diriwayatkan
bahwasanya Ali RA pernah berkata:
كنت
رجلا مذاءً ، فاستحييت أن أسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم لمكان ابنته مِنِّي ،
فأمرت المقداد بن الأسود فسأله ، فقال : يغسل ذكره ويتوضأ
“Aku adalah laki-laki yang sering
keluar madzi, tapi aku malu bertanya kepada Rasulullah, lalu aku memerintahkan
Miqdad bin al Aswad, kemudian ia bertanya kepada Nabi SAW lalu ia menjawab:
‘hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.’”
Ibnu Taimiyah pernah ditanya jika
seseorang mencium istrinya atau memegangnya hingga ia mengeluarkan madzi,
apakah ia harus berwudhu atau tidak? Beliau menjawab, “Adapun status wudhunya,
maka batal karena hal tersebut[19].”
F.
Penutup
Dari
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat mayoritas
ulama, seorang suami yang menyentuh istrinya setelah ia berwudhu tidaklah
membatalkan waudhunya. Begitu juga bila ia mencium istrinya. Ia tidak perlu
mengulang wudhunya. Namun, hukumnya akan berbeda ketika si suami keluar
madzinya karena efek sentuhan atau ciuman selepas berwudhu tersebut. Karena madzi
termasuk salah satu najis yang membatalkan wudhu. Ketika ia merasa ada madzi
yang keluar, maka ia wajib berwudhu lagi. Madzi keluar ketika seseorang
bersyahwat. Oleh karena itu, menyentuh atau mencium istri selama tidak
menimbulkan syahwat (tidak mengakibatkan keluar madzi) maka tidak membatalkan
wudhu.
Wallahu a’lam
bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-‘Adhim
Farahidi, al-, al-Khalil bin Ahmad. Kitab al-Ain Murattaban ‘Ala
Huruf al-Mu’jam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2003.
Hazm, Ibnu. Al-Muhalla
bi al-Atsar. Cet. ke-3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2003.
Malik, Imam. Al-Mudawwanah
al-Kubra. Kairo: Dar al-Hadits. 2005.
Mandhur, Ibnu.
Lisan al-‘Arab. Kairo: Dar al-Ma’arif. T.t.
Mundzir, Ibnu.
Al-Ijma’. Cet. ke-2. ‘Ajman: Maktabah al-Furqan. 1999.
Qudamah, Ibnu.
Al-Mughni. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2008.
Syafi’i, asy-,
Imam. Al-Umm. Beirut: Dar al-Fikr. 2009.
Syirbiny, asy-. Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh
al-Minhaj. Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1997.
Taimiyah, Ibnu.
Majmu’ah al-Fatawa. Kairo: Dar al-Hadits. 2006.
Utsaimin, al-,
dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Kairo: Dar Ibn al-Haitsam. 2002.
Zuhaily, az-, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Cet.
ke-10. Damaskus: Dar al-Fikr. 2008.
. Al-Wajiz Fi al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar
al-Fikr. 2005.
Kamus Bahasa
Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: t.p. 2008.
[1] Ibnu Mandhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo:
Dar al-Ma’arif, t.t.,), jilid 5, hlm. 3521.
[2] Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitab al-Ain
Murattaban ‘Ala Huruf al-Mu’jam, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 2003),
jilid 4, hlm. 70.
[3] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Bahasa Indonesia, (Jakarta: t.p., 2008), hlm. 290.
[4] Ibid, hlm. 660.
[5] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, cet. ke-10, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2008), jilid 1, hlm. 359
[6] Asy-Syirbiny, Mughni al-Muhtaj Ila
Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), jilid
1, hal. 85.
[7] Lihat al-Wajiz fi al-Fiqh al-Islami, hlm.
85-87.
[8] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh…, hlm. 428.
[9] Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Atsar,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), cet. ke-3, jilid 1, hlm. 230.
[10] Beliau adalah salah satu perawi kitab
al-Mudawwanah. Beliau meriwayatkan dari Ibnul Qasim yang berguru langsung
kepada Imam Malik.
[11] Imam asy-Syafi’I, al-Umm, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2009), jilid 1, hlm. 26.
[12] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), jilid 1, hlm. 171.
[13] Ibid, hlm. 172.
[14] Al-Utsaimin, dkk. Fatawa al-Mar’ah
al-Muslimah, (Kairo: Dar Ibn al-Haitsam, 2002), hlm. 19.
[15] Ibnu Taimiyah, Majmu’ah al-Fatawa, (Kairo:
Dar al-Hadits, 2006), jilid. 11, hlm. 129.
[16] Ibid.
[17] Imam Malik, al-Mudawwanah al-Kubra,
(Kairo: Dar al-Hadits, 2005), jilid 1, hlm. 37.
[18] Ibnu Mundzir, al-Ijma’, cet. ke-2, (‘Ajman:
Maktabah al-Furqan, 1999), hlm. 29.
[19] Ibnu Taimiyah, Majmu’ah…, jilid 11,
hlm. 128.
0 komentar:
Posting Komentar