Pages

About

Rabu, 31 Desember 2014

Contoh Pidato Bahasa Inggris



Respected, miss of ceremony
Respected, the juries are kindly
Respected, all my teacher
And my beloved sisters
السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
الحمد لله و الشكر لله على نعام الله ولا حول ولا قوة الا بالله ولا عدوان الا على الضلالة. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له و اشهد ان محمدا عبده و رسوله لا نبي ولا رسول بعده.
Alloh said in holy Koran:
ياايها الذين آمنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا يصلح لكم اعمالكم و يغفر لكم ذنوبكم و من يطع الله و رسوله فقد فاز فوزا عظيما.
And rosululloh said:
اتق الله ثم استقم.
                The first, let’s say Alhamdulillah together into our God Alloh SWT who has giving us some mercies and blessings so we can attend in this happy place without any troubles and obstacle.
            The second, may peace and solution always be given to our prophet Muhammad SAW who has guided us from the darkness to the lightness from the stupidity to the cleverness namely Islam.
            The third, I don’t forget to say thank you very much to MC who has given me time deliver my speech under the title:
“LOVE BETWEEN MAN AND WOMAN IS FITROH”
Human isn’t a creature that has no feeling. With the gift from Alloh SWT, human is given surplus that isn’t given to another creatures. One of the surplus is the human has an attraction to another human. Moreover Alloh SWT gives the right for a man to like a woman. As long as the attraction to another people is applied with the right way, so it doesn’t be a problem. Moreover Islam regulate and commands to its human race to distribute their love in a married. In some side, love which distributed in a married will be praised. Because the instinct of loving another people is the main character which had by each human, whatever the religion and the ethnic. If the people doesn’t marry, he will distribute his want to the thing that are prohibited by the religion, like adultery or doing another bad things. And of course, for him a big sin and threat by torture of hell. But, if he takes the way by married, he will get reward which is very useful for him.
Not like another religion, Islam doesn’t prohibit the human race to marry. Islam very realize and understand the need of human. So with the gift from Alloh SWT, Islam regulate the way, how a muslim full fill the necessity. The need of loving woman or man are given solution by command them to marry. So they get the generosity of Alloh in married. But in another side, Islam try hardly even very hard to closed the door of adultery. The hard effort is proofed by the awesomeness of torture to the people who did the adultery and bad effect which will be got to the people whom did it.
My beloved sister
Alloh said in Ali Imron:
زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين و القناطير المقنطرة  من الذهب و الفضة و الخيل المسومة و الأنعام والحرث ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن المئاب.
“ Fair in eyes of man is the love of things they covet; woman and sons; heaped-up hoards of gold and silver; horses branded ( for blood and excellence ), and ( wealth of ) cattle and well-tilled land, such are the possessions of this world’s life, but in nearness to Alloh is the best of goals ( to return to )”.
So, loving man or woman is a fittingness. But, it doesn’t mean that we can place our heart and anchoring our felling to every people. Because of the answer of love is a married.
It’s right that it can be said that loving woman by the man and loving man by the woman is a gift of human. But as a muslim, our gift has been regulated by our religion. With the distribution, the way, and how to manage that gift. And is it be a right of Alloh SWT to regulate us? So, why we deny to be regulated by Alloh SWT?
Alloh SWT has created us as a whole human. As a creator, Alloh SWT is very understanding our necessity. If then Alloh regulate us, is that mean Alloh doing zalim with us? No. Absolutely no.
Sister in Iman
Love to another human is a gift, but it isn’t with the reason that we are free to love and do a relationship. Not with that reason then we say that what we do is a gift which we have.
Actually, you can love man whom you love. From what that you have been feeling, then you effort, you try it with some provision, so the people can be your married partner. And of course the way out of love is marring not having relationship.
But, it’s different problem if the love comes prematurely. Love has come to your first adult age. You feel happy because he is the one who very interesting. Get all of your affection and careful. Besides that, actually he has a same feeling to you. So how? Will you marry soon because the answer of love is a married? Or you will make him to be your boyfriend?
I think if we are not ready to marry, don’t make him to be our boyfriend. Because by making him our boyfriend isn’t the way out. It just give you apparent of happy. But, you should hide away your feeling in your heart. Let it just you and Alloh who know. And you have to pray, hopefully Alloh make you strong and make your heart ready to marry. Soon and not in haste, because it’s very different.
Sister in Islam
Remember! Many acts that would bring sin when done in relationship, but when the act was committed in a married, it would instead be rewarded.
Before I close my speech, let’s pray together
اللهم انصر مجاهدين في سوريا و في فلسطين و في رهنيا. اللهم انصر مجاهدين في كل مكان و في كل زمان
اللمم إنا نسألك الهدى و السداد
اللهم لا تدع لنا ذنبا الا غفرته و لا هما الا فرجته و لا دينا الا قضيته ولا حاجة من حوائج الدنيا و الأخرة الا قضيتها يا ارحم الراحمين
ربنا آتنا في الدنيا حسنة و في الأخرة حسنة و قنا عذاب النار و صلى الله على نبينا محمد و على آله واصحابه اخيار و سلم تسليما كثيرا

I think it’s enough for me to speak before audience. I beg your pardon for my mistakes, because we are only human who never perfect. Hopefully what I have said in speech is useful for all of us. Thanks for your attention. And last but not least, I say:
والسلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Nb: materi khitobah diambil dari buku Ust. Burhan Shadiq “Izinkan Aku Menikah Tanpa Pacaran”. Ditranslate ke b. Ingg oleh teman baik, yang ku tahu tapi tak ku kenal. May Alloh reward you, friend..
Kalau ada salah translate, harap maklum. Kasih koreksian? Boleh, pake banget.

_Ai_

Barakallah



For my friend,

Barakallah ukhty.. engkau telah menjadi istri..

Jumat, 28 November 2014

Poligami Lebih Dari Empat Istri



A.    Pendahuluan
Tahun lalu Indonesia sempat dihebohkan dengan terbongkarnya praktik poligami Eyang Subur yang memiliki delapan istri. Habib Selon sempat menanyakan jumlah istri kepada Eyang Subur. Dari situ, ia mengetahui bahwa Eyang Subur memiliki delapan istri. Mendengar pengakuan itu, Habib terkejut. "Kami pertanyakan lagi, pak Subur apakah benar Anda punya istri sembilan? Jawab dia, 'tidak Habib, istri saya delapan'. Kaget saya, saat itu juga kami minta yang empat istrinya diceraikan dan diberi uang," terang Habib.[1]
Yang lebih mengherankan, adalah kisah Bello Abubakar. Muhammed Bello Abubakar lahir pada tahun 1924, dia adalah ayah bagi 170 anak dari 86 istri. Dengan jumlah itu, Bello Abubakar dinobatkan sebagai pria pemilik istri terbanyak di dunia. Bello seorang Nigeria asli, kampung halamannya adalah sebuah desa kecil bernama Bida. Dia mengaku sangat bahagia memiliki keluaga besar dan sangat menyayangi semua istri dan anak-anaknya.
Sebagai seorang muslim, Bello Abubakar dianggap telah melanggar syariah, karena di dalam Islam, pria hanya boleh menikahi maksimal empat orang wanita. Dan karena itu pulalah sehingga Bello pernah didakwa bersalah oleh hukum syariah dan dimasukkan ke dalam penjara.[2]
Dua kasus di atas merupakan contoh praktik poligami yang dilarang. Sebab, di dalam Islam hanya dibolehkan menikahi empat istri dalam waktu yang sama. Oleh karenanya, akan kami bahas tentang poligami yang melebihi batas maksimal dalam Islam.


B.     Definisi Poligami
Secara etimologis kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Dengan definisi tersebut, sebenarnya istilah poligami bisa dipakai bagi pria yang menikahi beberapa wanita dalam satu waktu atau wanita yang menikah dengan beberapa pria dalam satu waktu. Hanya saja, poligami sudah lumrah digunakan bagi pria yang menikahi lebih dari seorang wanita. Walau istilah yang lebih khusus untuk perilaku tersebut adalah poligini. Dan istilah khusus yang digunakan bagi wanita yang  mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan adalah poliandri.
 Sedangkan dalam bahasa arab, poligami dikenal dengan sebutan ta’addud az-Zaujat (تعدد الزوجات). Ta’addud (تعدد) berarti banyak, dan az-Zaujat (الزوجات) merupakan bentuk plural dari kata zaujah (زوجة) yang berarti istri.
C.    Batasan Maksimal Poligami
Syariat Islam membolehkan seorang lelaki menikah dengan lebih dari satu wanita dalam satu waktu. Dan diharamkan atasnya menikah lebih dari empat istri.[3] Hal ini berdasarkan dalil yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[4]
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud firman Allah Ta’ala “dua, tiga, atau empat.” Artinya nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai selain mereka (anak yatim). Jika kalian suka silakan dua, jika suka silakan tiga, dan jika suka silakan empat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.”[5]
Maksudnya, diantara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, dan ada yang empat. Konteks seperti ini tentu tidak menafikan adanya malaikat yang memiliki jumlah sayap lebih dari itu, karena terdapat dalil yang menunjukannya. Hanya saja ia berbeda dengan kasus pembatasan empat wanita bagi pria dalam ayat ini, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas dan jumhur ulama. Sebab, konteks ayat ini adalah tentang pemberian nikmat dan ibahah (pembolehan). Seandainya dibolehkan menggabung lebih dari empat wanita, tentu Allah telah menjelaskan hal tersebut.
            Sebagian mereka berdalih dengan perbuatan Rasulullah Saw., yang menikahi lebih dari empat orang wanita, hingga sembilan orang. Menurut para ulama, ini merupakan salah satu kekhususan bagi beliau dan tidak berlaku umum untuk ummatnya.[6]
            Pembatasan ini merupakan ijma para ulama, dan tidak didapati salah seorangpun yang menyelisihinya. Kecuali satu pendapat yang berasal dari Al-Qasim bin Ibrahim[7], ia membolehkan meggabungkan sembilan orang. Ia berdalil dengan dalil yang sama seperti di atas (Q.S an-Nisa:3), namun mengartikan huruf wawu (و) untuk menghimpun. Dan pendapat seperti itu tak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan ijma’ dan menyelisihi sunnah.[8]Dan menurut Dr. Wahbah, ‘athaf dengan huruf wawu untuk memilih, bukannya menghimpun.[9]
            Maksud ayat di atas juga diperjelas dengan beberapa hadits, diantaranya hadits riwayat Ibnu Umar, ia berkata, “Ghilan ats-Tsaqafi masuk Islam, pada saat itu ia memiliki empat belas istri yang ia nikahi pada masa jahiliyah, dan mereka semua ikut masuk Islam bersamanya. Nabi Saw., memerintahkannya untuk memilih empat orang dari mereka.”[10]
Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Qais bin Harits, ia berkata, “Aku masuk Islam dan aku tengah memiliki delapan istri, maka aku datang menghadap Nabi Saw., dan aku beritahukan beliau akan hal itu, maka beliau bersabda, “pilihlah empat orang dari mereka.”[11]
D.    Hikmah Pembatasan Empat Istri

Dr. Wahbah Zuhaily mengatakan, “Menurut kami, pelegalan poligami dengan empat istri saja sesuai dengan prinsip mewujudkan kemampuan dan tujuan yang paling final bagi sebagian orang pria, serta untuk memenuhi keinginan dan kehendak mereka bersama selama perjalanan sebulan. Sebab setiap istri memiliki kebiasaan bulanan selama satu minggu.
Pembolehan menikah dengan empat orang merupakan suatu pencukupan. Serta menutup pintu yang dapat membawa kepada berbagai penyimpangan, atau tindakan yang terkadang dilakukan beberapa pria dengan memiliki wanita simpanan, dan wanita penghibur. Kemudian, dalam penambahan istri lebih dari empat orang dikhawatirkan timbul kezaliman atas mereka disebabkan tidak mampu memenuhi hak-hak mereka. Karena secara zahir, seorang pria tidak mampu memenuhi hak-hak mereka.
Oleh karena itu, al-Qur’an mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya:
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”
Maksudnya, kalian tidak bisa bersikap adil dalam hubungan intim dan nafkah dalam pernikahan dengan dua orang, tiga orang, atau empat orang. Menikah dengan seorang istri merupakan perbuatan yang lebih aman bagi kamu agar tidak terjatuh pada perbuatan zalim. Kalau begitu, pembatasan empat orang istri merupakan suatu keadilan dan moderat, serta melindungi para istri dari kezaliman yang dapat terjadi kepada mereka akibat lebihnya jumlah istri dari empat orang.[12]
Oleh karenanya, siapa saja yang masuk Islam pada zaman Nabi Saw., dan ia memiliki istri lebih dari empat, Nabi Saw., memerintahkannya untuk mempertahankan empat istri dan mentalak sisanya.[13]

E.     Hukum Poligami Lebih Dari Empat Istri
Seperti yang sudah kami sebutkan, bahwa poligami hanya dibatasi dengan empat istri. Pernikahan dengan yang kelima (bagi yang memiliiki istri empat) adalah bentuk nikah fasid.[14] Maka terdapat hukum terhadap siapa yang menikah dengan istri kelima disaat ia masih memiliki empat istri.
Imam Malik dan Imam Syafi’i menyatakan: “Ia mendapat had jika mengetahui hukumnya.” Pendapat ini juga diambil oleh Abu Tsaur. Adapun menurut Az-Zuhri, ia dihukum rajam jika mengetahui hukumnya dan dihukum dengan hukuman paling ringan diantara keduanya, yaitu jilid (cambuk), jika ia melakukannya karena tidak mengetahui hukumnya. Maka wanita itu tetap mendapat maharnya, namun mereka berdua dipisahkan, dan tidak boleh berkumpul lagi selamanya.[15]
Terdapat sebuah pertanyaan bagi Syaikh Bin Baz, “Jika seorang lelaki memiliki empat istri lalu ia menikah lagi dengan istri kelima, dan dari pernikahannya itu ia dikaruniai seorang anak atau lebih, apakah anak dari istri kelima tersebut dinasabkan kepadanya?”
Syaikh Bin Bazz menjawab, “Tak diragukan lagi nikahnya ia dengan istri kelima itu batal sebagaimana ijma’ para ahlul ilmi. Ibnu Katsir telah menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa ahlul ilmi kecuali Syiah telah berijma’ atas keharaman pernikahan dengan orang kelima. Adapun tentang nasab anak tersebut, terdapat rincian. Jika ia meyakini nikahnya itu sah karena kebodohan, syubhat, atau taklid, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya (bapak), dan jika tidak demikian maka si anak tidak bisa dinasabkan kepadanya.”[16]

F.     Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menikah dengan istri kelima disaat ia masih memiliki empat istri, maka hukumnya haram dan nikahnya dianggap fasid (rusak). Jika mereka tetap mempertahankannaya, maka hubungan mereka dianggap perzinaan dikarenakan tidak sahnya pernikahan mereka. Karena pembatasan empat istri ini berdasarkan nash syar’i dan ijma’.
Adapun hukuman bagi mereka yang menikah dengan wanita kelima, sebagaimana yang telah disebutkan di atas dari pendapat beberapa ulama, adalah rajam atau jilid. Maka bagi lelaki yang sudah memiliki empat istri dan ingin menikah lagi, ia harus menceraikan salah satu istrinya terlebih dahulu. Wallahu a’lam bish shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Adawi, Musthafa. 2008. Jami’ al-Ahkam an-Nisa. Kairo: Dar Ibnu Affan.
Asy-Syaukani, Imam. 2005. Nailul Authar. Kairo: Darul Hadits.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu. Cetakan ke-10. Damaskus: Darul Fikr.
                                          . 2012. Mausuah al-Fiqh al-Islam wa Qadhaya al-Mu’ashirah. Cetakan ke-3. Damaskus: Darul Fikr.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Qudamah, Ibnu. 1997. Al-Mughni. Cetakan ke-3. Riyadh: Dar Alim al-Kutub.
Zaidan, Abdul Karim. 2000. Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wal Bait Muslim. Cetakan ke-3. Lebanon: Muassasah ar-Risalah.
Bin Baz, Syaikh. Majmu’ Fatawa. (Maktabah Syamilah)
Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, Kuwait: Wizaratul Auqaf wa Syu’uni Islamiyah. (Maktabah Syamilah)

Jonata, Willem. 2013. “Eyang Subur Ditanya FPI, Benarkah Istrinya Sembilan? Ini Jawab Dia,” http://www.tribunnews.com/seleb/2013/04/01/eyang-subur-ditanya-fpi-benarkah-istrinya-sembilan-ini-jawab-dia, diakses pada 7 November 2014

http://www.seksualitas.net/pria-84-tahun-beristri-86-orang.htm, diakses pada 7 November 2014



[3] Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wal Bait Muslim, cet 3, (Lebanon: Muassasah ar-Risalah, 2000), jilid 6, hal. 286.
[4] Q.S. an-Nisa:3
[5] Q.S. Fathir: 1
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), jilid 2, hal. 147.
[7] Al-Qasim bin Ibrahim bin Ismail al-Hasani, lahir 169, dinisbatkan kepadanya aliran Qasimiyah, bagian dari Syiah Zaidiyah.
[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet 3, (Riyadh: Dar Alim al-Kutub, 1997), jilid 9, hal. 471.
[9] Wahbah az-Zuhaily, Mausuah al-Fiqh al-Islam wa Qadhaya al-Mu’ashirah, cet 3, (Damaskus: Darul Fikr, 2012), jilid 8, hal.170.
[10] Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Darul Hadits, 2005), juz 6, hal. 546.
[11] Ibid, hal. 535.
[12] Wahbah az-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet 10, (Damaskus: Darul Fikr, 2007), jilid 9, hal. 6668.
[13] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., hal. 287.
[14] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, (Kuwait: Wizaratul Auqaf wa Syu’uni Islamiyah) jilid 8, hal. 121. (Maktabah syamilah)
[15] Musthafa al-Adawi, Jami’ al-Ahkam an-Nisa, (Kairo: Dar Ibn Affan, 2008), jilid 3, hal. 499.
[16] Syaikh Bin Baz, Majmu’ Fatawa, jilid 21, hal. 20. (Maktabah syamilah)