Pages

About

Minggu, 29 November 2015

Masbuk Dalam Shalat



Oleh: Anjar Fatonah, Rifa Nurul Fazriah, dan Iffah Izzah A.
A.       Pendahuluan
Tertinggal imam saat shalat menjadi hal yang masih dirasakan oleh banyak orang. Baik syar’i maupun tidak alasan keterlambatannya. Dalam istilah syar’i, tertinggal imam saat takbiratul ihram disebut masbuk.
Bagi sebagian thalibul ‘ilm, mungkin sudah tidak gagap lagi terhadap masalah masbuk dalam shalat. Namun bagi masyarakat awwam, masbuk menjadi hal yang masih sering ditanyakan. Apa yang dilakukan ketika masbuk, bagaimana menghitung jumlah rakaat, duduk takhiyat akhir bagi masbuk, dan lain sebagainya.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan memaparkan hukum-hukum seputar makmum masbuk yang kiranya masih mengganjal bagi kami khususnya dan saudara muslim umumnya.

B.  Definisi
Secara etimologi, masbuk (مسبوق) merupakan isim maf’ul dari kata sabaqa (سبق) yang artinya ‘yang tertinggal’[1]. Adapun secara terminologi, masbuk berarti orang yang tertinggal dari imam sebanyak satu rakaat atau lebih dalam shalat[2].
Menurut ulama Hanafiyah masbuk adalah orang yang mendapati imam setelah imam dapat satu rakaat atau lebih. Adapun menurut ulama Syafi’iyah masbuk berarti makmum yang melakukan takbiratul ihramnya terlambat (tidak satu waktu) dari takbiratul ihram imam pada rakaat pertama, atau pada takbir setelahnya, sekalipun ia sempat berdiri untuk dapat membaca al-Fatihah[3].

C.  Yang Harus Dilakukan Saat Masbuk
Dalam kitab al-Mughni disebutkan bahwa hukumnya sunnah bagi siapa yang masbuk untuk segera mengikuti imam sekalipun ia tidak dihitung mendapat satu rakaat[4]. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian datang untuk shalat (berjamaah) sedangkan kami sudah dalam posisi sujud, maka hendaklah ia segera ikut sujud, dan itu tidak bisa dihitung mendapat sesuatupun (rakaat), serta barangsiapa mendapatkan ruku’ (bersama imam), maka ia dihitung mendapat satu rakaat[5].”
Sayyid Sabiq juga mengatakan bahwa siapa yang hendak shalat dan mendapati imam (ingin ikut berjamaah), hendaknya ia melakukan takbiratul ihram dalam posisi berdiri dan segera mengikuti gerakan imam (dalam kondisi apapun) yang sedang imam tersebut kerjakan[6].

D.  Kapankah Dihitung Satu Rakaat?
Para imam madzhab sepakat bahwa siapa yang sempat mengikuti rukuk imam, maka ia terhitung mendapat satu rakaat bersama imam. Kewajibannya untuk membaca (surat al-Fatihah) pun menjadi gugur[7].
Dalam kitab al-Mughni disebutkan, bahwa siapa yang mendapat rukuk bersama imam, maka ia dihitung mendapat satu rakaat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa yang mendapat rukuk, berarti ia mendapat rakaat.” Satu rakaat tersebut terhitung jika makmum mendapati imam dalam keadaan thuma’ninah saat rukuk, atau minimal bisa sekedar rukuk bersama imam. Jika ia rukuk saat imam bangkit dari rukuk, tentu rukuknya itu tidak dihitung[8].”
Imam asy-Syafi’i juga mengamini bahwa makmum yang bisa mengikuti rukuk imam, ia dianggap mendapat rakaat. Hanya saja, jika ada makmum yang mendapati imam dalam kondisi rukuk, ia bertakbir tetapi tidak rukuk sampai imam mengangkat kepalanya, maka ia tidak dianggap mendapat satu rakaat karena dia tidak bisa mengikuti rukuknya imam. Sekalipun ia rukuk setelah imam mengangkat kepalanya, rukuk tersebut tidak dihitung[9].
Menurut Malikiyah, makmum yang masbuk jika mendapati imam dalam kondisi rukuk, maka ia bertakbir untuk takbiratul ihram dan juga takbir untuk rukuk[10]. Begitu juga pendapat Syafi’iyyah yang menganggap makmum masbuk mendapat rakaat jika ia bisa mendapati imam dalam keadaan rukuk dengan dua takbir, yaitu takbiratul ihram dan takbir untuk rukuk[11]. Adapun menurut Hanabilah, cukup dengan bertakbir sekali (takbiratul ihram). Hal ini berdasarkan pendapat Zaid dan Ibnu Umar, serta tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihi keduanya[12].
Sebagaimana yang kita ketahui, terdapat hadits yang melarang untuk shalat sendirian di belakang shaf. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Lalu, jika masbuk takut tertinggal rukuk imam padahal ia belum masuk ke dalam shaf, bolehkah ia rukuk di belakang shaf?
Menurut madzhab Malikiyah, hendaknya seseorang segera melakukan takbiratul ihram meskipun ia tidak berada dalam shaf shalat, jika ia takut tertinggal satu rakaat sebab belum sempat takbiratul ihram saat imam mengangkat kepalanya dari rukuk. Ini dilakukan jika ia memperkirakan bisa masuk ke dalam shaf sebelum imam mengangkat kepalanya. Akan tetapi, jika ia mengira-ngira tidak bisa masuk ke dalam shaf sebelum imam mengangkat kepalanya, maka ia harus berjalan tanpa tergesa-gesa. Kecuali saat itu adalah rakaat terakhir imam, maka ia boleh bertakbiratul ihram di tempatnya meski tidak berada dalam shaf agar ia tidak tertinggal shalat. Baru setelah bertakbir, ia berjalan dan masuk ke dalam shaf[13].
Adapun Hanabilah dan ahli fikih lain berpendapat bahwa seseorang tidak boleh rukuk sebelum berada di dalam shaf, kecuali ia mau berjalan dan dapat masuk ke dalam shaf sebelum imam mengangkat kepalanya dari rukuk. Atau juga, ada orang lain yang datang dan berdiri di sampingnya[14].
Kasus seperti ini (rukuk di belakang shaf) pernah ditanyakan kepada Lajnah ad-Daimah. Mereka berfatwa bahwa shalatnya sah sebagaimana kisah Abu Bakrah yang rukuk sebelum sempat masuk ke dalam shaf. Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Semoga Allah menambah keutamaanmu dan jangan mengulanginya.” Rasulullah SAW tidak menyuruh shahabat tersebut untuk mengulangi shalatnya. Seandainya hal tersebut wajib, tentu beliau SAW telah memerintahkannya[15].


                                                                                                             
E.  Masbuk Pada Shalat Jum’at, Jenazah, dan Gerhana

1.      Hukum Masbuq dalam Shalat Jum’at

Ulama fiqh dalam hal ini memiliki dua pendapat untuk mengejar bagian shalat jum’at bersama Imam. Menurut madzhab Hanafi, siapa yang menyusul imam untuk shalat jum’at pada bagian manapun dari shalatnya, maka hendaknya ia shalat mengikuti imam sedapat yang bisa ia ikuti, lalu menyempurnakan shalat jum’atnya sendiri sehingga terhitung melakukan shalat jum’at. Meskipun ia mendapati imam ketika duduk tasyahud akhir atau sedang sujud sahwi. Ini merupakan pendapat Abu Hanafi yang paling kuat pendapatnya dan Abu yusuf.[16]
Pendapat tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
ما أدركتم فصلوا و ما فاتكم فاقضوا
“Rakaat yang bisa kamu lakukan bersama imam maka kerjakanlah, sedang rakaat yang terlewat maka gantilah.”[17]
Sementara menurut mayoritas Ulama berpendapat, bahwa bila orang yang masbuk menyusul imam pada rakaat kedua maka ia mendapatkan shalat jum’at dan harus menyempurnakannya, ini merupakan pendapatnya Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas, Sa’id bin al-Musayyib, al-Hasan, ‘Alaqah, al-Aswad, ‘Urwah, az-Zuhri, an-Nakha’i, Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, Abi Tsaur dan Ashabi ar-Ra’yi.[18]
Tetapi, jika ia tidak dapat menyusul imam dirakaat kedua, maka ia bisa menyempurnakan shalatnya dengan melaksanakan shalat Zhuhur empat rakaat,[19] sebagaimana pemahaman global dari hadist Nabi,
من أدرك ركعة من الجمعة فاليصلي إليها أخرى, و من فاتته الركعتان, فاليصل أربع
“Siapa yang dapat mengejar satu rakaat dari shalat jum’at, maka hendaknya ia meneruskan rakaat yang lainnya. Dan barangsiapa yang tertinggal dua rakaat, maka hendaklah ia shalat empat rakaat.”[20]
Adapun Syaikh Muhammad al-Mubarakfuri merajihkan pendapat Abu Hanifah bahwa siapa yang dapat ikut shalat bersama imam sekalipun hanya tsyahud akhirnya dihitung mendapat shalat jum’at, ia hanya perlu mengikuti imam dan menyempurnakan shalatnya setelah iamam salam, serta tidak perlu shalat dhuhur. Hal ini dikarenakan kemutlakan hadits “Rakaat yang bisa kamu lakukan bersama imam maka kerjakanlah, sedang rakaat yang terlewat maka sempurnakanlah.” Beliau juga mengatakan belum menemukan hujjah shahih atas pendapat ulama lain yang berbeda[21]. Dalam kitab Badai’ ash-Shanai’ disebutkan bahwa shalat makmum yang mengikuti imam tetap sah sekalipun tidak mengikuti khutbah[22].

2.      Shalat Jenazah

Mayoritas Ulama sepakat, bahwa makmum masbuk disunnahkan untuk mengqadha takbir yang tertinggal. Ini merupakan pendapat Sa’id bin al-Musayyib, ‘Atho, an-Nakho’i, az-Zukhri, Ibnu Sirin, Qatadah, Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Ashab ar-Ra’yi. Meskipun demikian, sebagian Ulama berpendapat tidak perlu qadho bagi seorang yang masbuk dalam shalat jenazah, ini pendapat Ibnu Umar, al-Hasan, Ayyub as-Sakhtiyani dan al-Auza’iy. Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa apabila makmum masbuk tidak mengqadha maka hal itu tak mengapa[23].
Ulama madzhab memiliki pendapat masing-masing dalam cara menyempurnakan shalatnya tersebut. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat, jika imam sudah takbir sekali atau dua kali lalu ada masbuk yang datang, maka ia menunggu sampai imam bertakbir agar makmum dapat ikut bertakbir bersama imam untuk pembuka. Setelah imam salam, makmum masbuk mengqadha takbir yang tertinggal sebelum jenazah diangkat[24].
Begitu pula pendapat Malikiyah, jika ada masbuk yang tertinggal takbir imam, seyogyanya ia bersabar sampai imam bertakbir. Ia tidak boleh bertakbir saat jamaah sedang berdoa. Namun jika ia tetap bertakbir, maka shalatnya sah tetapi tidak dihitung takbir tersebut. Setelah itu, makmum masbuk berdo’a setelah imam menyelesaikan shalatnya jika jenazah belum diangkat. Namun, jika jenazah sudah diangkat maka makmum masbuk hanya bertakbir tanpa do’a[25]. Lain halnya dengan Syafi’iyyah, menurut mereka jika makmum masbuk mendapati imam masih shalat, hendaknya ia segera bertakbir tanpa menunggu takbir imam yang selanjutnya[26].
Adapun menurut Imam Ahmad, siapa yang tertinggal takbir maka harus menggantinya dengan berurutan. Jika makmum masbuk ikut salam bersama imam dan belum sempat mengganti takbirnya yang lain maka shalatnya tetap sah.[27] Dengan kata lain, makmum masbuk disunnahkan untuk mengganti takbir shalat jenazah yang tertinggal dengan tatacara shalatnya pula.

3.      Shalat Gerhana

Shalat gerhana matahari dan bulan memiliki tatacara khusus, yaitu dua kali rukuk dalam setiap rakaat, lantas kapankah makmum masbuk terhitung bergabung dalam shalat, pada rukuk pertama atau kedua?
Imam Malik berpendapat, terhitung mengerjakan satu rakaat dari dua rakaat shalat gerhana matahari bersama imam pada rukuk kedua, karena ruku kedua itulah yang fardhu, sedangkan ruku yang pertama hanyalah sunnah. Adapun pendapat yang kuat, al-Fathihah adalah rukun yang fardhu secara mutlak[28]. Apabila seorang masbuk mendapat rukuk kedua pada rakaat terakhir maka ia mendapat satu rakaat bersama imam, sehingga ia mengqadha rakaat keduanya dengan dua kali berdiri dan dua rukuk[29].
Adapun pendapat Syafi’i, siapa yang bergabung dengan imam pada ruku yang pertama pada rakaat pertama dalam shalat gerhana maka ia terhitung telah melakukan semua rakaat, Sedangkan bagi siapa saja yang baru bisa bergabung pada ruku kedua atau berdiri kedua maka tidak dianggap telah melakukan satu rakaat[30]. Karena hukum asalnya adalah ruku dan berdiri pertama, sedang ruku dan berdiri yang kedua hukumnya hanya mengikuti. Ini pendapat yang paling kuat yang diambil oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili[31].
Ibnu Qudamah mengatakan, jika seseorang masbuk baru bergabung bersama imam pada rakaat kedua, maka sudah pasti ia tertinggal satu rakaat.[32] Karena ia telah kehilangan satu rakaat dalam shalat tersebut. Sebagaimana juga ia telah kehilangan satu ruku dalam shalat gerhana. Dimungkinkan juga shalatnya tetap sah, karena shalat gerhana boleh dilakukan hanya dengan satu ruku saja dan ia tetap diberi pahala sebagai makmum masbuk.[33]
      
F.   Bacaan Saat Mengqadha Rakaat Yang Tertinggal
Menurut madzhab Malikiyah, ketika seorang yang masbuk hendak melengkapi shalatnya yang tertinggal, maka ia mengganti bacaan dan mendirikan gerakannya. Maksud bacaan disini adalah bacaan khususnya serta sifatnya yang harus dibaca jahr atau sirr. Ia menjadikan apa yang tertinggal sebelum ia ikut shalat bersama imam sebagai awal shalat bagi dirinya dan apa yang ia dapat bersama imam dihitung sebagai akhir shalatnya. Adapun bila dilihat dari sisi gerakan, maka gerakan pertamanya bersama imam dihitung sebagai awal rakaat shalatnya[34]. Pendapat ini selaras dengan pendapat Muhammad. Adapun Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf pendapat keduanya berbeda, bagi keduanya shalat masbuk bersama imam dihitung sebagai akhir shalatnya[35].
Berbeda dengan Syafiiyyah, mereka berpendapat bahwa apa yang masbuk dapat ikuti dari imam adalah awal shalat baginya, sekalipun itu merupakan akhir shalat imam. Ini merupakan pendapat Ali, Abu Darda, dan mayoritas ahlul ilmi[36].
Aplikasi dari beberapa pendapat di atas, menurut madzhab Maliki jika seseorang hanya mendapat satu rakaat terakhir di shalat maghrib, dia berdiri tanpa takbir lalu membaca al-Fatihan dan surat secara jahr. Setelah itu, dia duduk tasyahud awal. Kemudian dia shalat lagi satu rakaat dengan membaca al-Fatihah dan surat dengan jahr juga[37]. Adapun menurut Syafi’iyyah, jika makmum mendapat satu rakaat bersama imam, ia membaca jahr pada rakaat kedua, dan dengan sirr pada rakaat ketiga[38]. Di dalamnya ia juga membaca al-Fatihah dan surat lain[39].




G.  Duduk Takhiyat Akhir Bagi Masbuk
Menurut mayoritas ulama, duduk tawaruk[40] dalam tasyahud kedua (akhir) hukumnya sunnah. Namun menurut Hanafiyyah hal tersebut bukanlah sunnah[41]. Karena dalam madzhab Hanafiyyah, posisi duduk tasyahud akhir sama seperti posisi duduk diantara dua sujud, yaitu duduk iftirasy[42].
Imam al-Atsram berkata, aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) “jika ada seorang lelaki yang masbuk dan hanya mendapat satu rakaat bersama imam, saat imam duduk takhiyat akhir di rakaat keempat, apakah laki-laki tersebut harus duduk tawaruk juga?” beliau menjawab, “jika ia mau, maka ia boleh duduk tawaruk.” Kemudian al-Atsram bertanya lagi, jika ia berdiri lagi untuk menyempurnakan shalatnya kemudian duduk takhiyat akhir, apakah ia juga duduk tawaruk?” Imam Ahmad menjawab, “Ya, dia harus duduk dengan tawaruk karena itu merupakan rakaat keempat (terakhir) baginya[43]. Kalimat “jika ia mau” menunjukkan kebolehan.
Dalam kitab Kifayah al-Akhyar disebutkan bahwa posisi duduk dalam shalat semuanya iftirasy kecuali duduk akhir, maka posisinya adalah tawaruk. Yang membedakan antara duduk akhir dan lainnya adalah duduk yang pertama (duduk iftirasy) sifatnya ringan karena setelahnya masih ada gerakan lain, maka keadaannya sesuai seperti duduk yang tidak tetap. Berbeda dengan duduk takhiyat akhir, setelahnya tidak ada gerakan lagi, maka ia dinisbatkan dengan posisi duduk yang tetap. Sehingga masbuk ketika duduk takhiyat akhir (bersama imam) hendaknya duduk dengan posisi iftirasy, karena setelah duduk tersebut masih ada gerakan lagi[44].
‘Adil al-‘Azizi menyebutkan bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa makmum masbuk boleh duduk tawaruk saat duduk takhiyat akhir bersama imam jika ia berkehendak, ia juga boleh duduk iftirasy jika mau. Kemudian dia duduk dengan posisi tawaruk dalam tasyahud akhir setelah dia menyempurnakan kekurangan shalatnya. Namun, beliau menjelaskan bagi siapa yang dapat dua rakaat dhuhur bersama imam maka ia tidak duduk dengan tawaruk kecuali di duduk takhiyat akhirnya.
Beliau (Syaikh ‘Adil) merajihkan pendapat tersebut karena pada dasarnya posisi duduk dalam shalat adalah iftirasy, adapun duduk tawaruk hanya ada pada tasyahud akhir yang sesudahnya adalah salam, dan ini berlaku dalam shalat yang tasyahudnya lebih dari satu[45].

H.   Bermakmum Pada Orang Yang Masbuk
Menurut madzhab Hanafi, jika ada makmum masbuk berdiri untuk menyempurnakan shalatnya lalu ada orang yang mengikutinya (bermakmum padanya), maka iqtida’nya tidak sah[46]. Begitu halnya menurut  madzhab Maliki, tidaklah sah iqtida’ kepada makmum yang mendapat satu rakaat bersama imam saat ia sedang menggenapi shalatnya setelah salamnya imam. Hal itu dikarenakan statusnya adalah makmum. Berbeda jika si masbuk tidak mendapat satu rakaatpun, maka hukumnya sah beriqtida’ kepadanya[47].
Lajnah ad-Daimah ketika dimintai fatwa perihal makmum masbuk saat melengkapi shalatnya dijadikan imam oleh orang lain, maka menjawab, “Jika makmum mendapat beberapa rakaat (bersama imam) kemudian ia berdiri untuk melengkapi shalatnya setelah imam salam, maka jika ada yang ingin shalat bersamanya, ia boleh bermakmum padanya berdasarkan pendapat yang shahih menurut para ahli fikih. Sebagian ulama lainnya yaitu kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa iqtida’ kepada makmum masbuk yang sedang melengkapi shalatnya tidaklah sah. Meskipun demikian, hal ini termasuk masalah ijtihadiyah, karena tidak ada nash sharih yang menjelaskannya.[48]
Adapun Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai seseorang yang mendapati jama’ah tinggal satu raka’at. Ketika imam salam, ia pun berdiri dan menyempurnakan kekurangan raka’atnya. Ketika itu, datang jama’ah lainnya dan shalat bersamanya (menjadi makmum dengannya). Apakah mengikuti makmum yang masbuk semacam ini dibolehkan? Beliau menjawab, “Mengenai shalat orang yang pertama tadi ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad dan selainnya. Akan tetapi pendapat yang benar, perbuatan semacam ini dibolehkan. Inilah yang menjadi pendapat kebanyakan ulama. Hal tadi dibolehkan dengan syarat orang yang diikuti merubah niatnya menjadi imam dan yang mengikutinya berniat sebagai makmum[49].

I.     Penutup
Dari apa yang telah kami paparkan di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa masbuk harus segera mengikuti gerakan imam, tidak perlu menunggu nunggu imam takbir untuk rakaat selanjutnya. Masbuk dihitung mendapat rakaat apabila mampu mengikuti saat imam rukuk, adapun kewajiban membaca al-Fatihah gugur baginya. Makmum yang masbuk juga bisa dijadikan imam oleh orang yang mendapatinya sedang melengkapi shalatnya. Ketika imam duduk takhiyat akhir, maka lebih baik makmum masbuk duduk dengan posisi iftirasy.

Wallahu a’lam bish shawab.

DAFTAR PUSTAKA
‘Azizi, al-, ‘Adil. Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah. Alexandria: Dar al-‘Aqidah. 2009.
Abady, Muhammad. ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Kairo: Dar al-Hadits. 2001.
Abu Hubaib, Sa’di. Al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Isthilahan. Cet. ke-2. Damaskus: Dar al-Fikr. 1988.
Baghawi, al-, Imam. At-Tahdzib Fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1997.
Dardir, ad-, Ahmad. Aqrab al-Masalik Limadzhab al-Imam Malik. Nigeria: Maktabah Ayyub. 2000.
Dimyati, ad-. Hasyiyah I’anah ath- Thalibin ‘Ala Halli Alfadz Fath al-Mu’in. Jakarta: Dar al-Kutub al- Islamiyah. 2009.
Duwaisy, ad-, Ahmad. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta. Riyadh: Dar al-‘Ashamah. T.t.
Habib, al-, bin Thahir. Al-Fiqh al-Maliki wa Adillatuhu. Beirut: Dar Ibnu Hazm. 1998.
Hisni, al-, Taqiyuddin. Kifayah al-Akhyar Fi Halli ‘Inayah al-Ikhtishar. Cet. ke-2. Kairo: Al-Quds. 2012.
Mubarakfuri, al-, Muhammad Abdurrahman. Tuhfah al-Ahwadzi. Kairo: Dar al-Hadits. 2001.
Munawwir, Achmad Warson. Kamus al-Munawwir. Edisi Kedua. Cet. ke-14. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997.
Nafrawi, an-, Ahmad. Al-Fawakih ad-Dawani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1997.
Nawawi, an-, Imam. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Cet. ke-2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2011.
                                . Raudhah ath-Thalibin. Edisi Khusus. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub. 2003.
Qudamah, Ibnu. Al-Mughni ‘Ala Mukhtashar al-Khiraqi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2008.
Qurawi, al-, Muhammad. Al-Khulashah al-Fiqhiyah ‘Ala Madzhab as-Sadah al-Malikiyah. TTp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. T.t.
Rawas, Muhammad dan Hamid Shadiq. Mu’jam Lughah al-Fuqaha. Cet. ke-2. Ttp: Dar an-Nafais. 1988.
Sabiq, As-Sayyid. Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar al-Fathi li al-I’lam al-‘Arabi. 2000.
Sarkhasi, as-, Syamsuddin. Al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Fikr. 2000.
Syafi’i, asy-, Imam. Al-Umm. Cet. ke-2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2009.
Taimiyah, Ibnu. Majmu’ah al-Fatawa. Kairo: Dar al-Hadits. 2006.
Zuhaili, az-, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Cet. ke-2. Damaskus: Dar al-Fikr. 1985.
                                    . Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Islami wa al-Qadaya al-Mu’ashirah. Cet. ke-3. Damaskus: Dar al-Fikr. 2012.


[1] Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Edisi Kedua, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 607.
[2] Muhammad Rawas dan Hamid Shadiq, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, (Ttp: Dar an-Nafais, 1988), cet. ke-2, jilid 1, hlm. 426.
[3] Sa’di Abu Hubaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Isthilahan, cet. ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), jilid 1, hlm. 165.
[4] Ibnu Qudamah, al-Mughni ‘Ala Mukhtashar al-Khiraqi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), jilid 1, hlm. 401).
[5] Muhammad Abady, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, (Kairo: Dar al-Hadits, 2001), jilid 2, hlm. 262.
[6] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-‘Arabi, 2000), jilid 1, hlm. 166.
[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. ke-2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), jilid 2, hlm. 156.
[8] Ibnu Qudamah, al-Mughni.., jilid 1, hlm. 400.
[9] Imam asy-Syafi’i, al-Umm, cet. ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), jilid 1, hlm. 311.
[10] Al-Habib bin Thahir, al-Fiqh al-Maliki wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1998), jilid 1, hlm. 346.
[11] Ad-Dimyati, Hasyiyah I’anah ath- Thalibin ‘Ala Halli Alfadz Fath al-Mu’in, (Jakarta: Dar al-Kutub al- Islamiyah, 2009), jilid 2, hlm. 29.
[12] Ibnu Qudamah, al-Mughni…, jilid 1, hlm. 400.
[13] Al-Habib bin Thahir, al-Fiqh al-Maliki.., jilid 1, hlm. 348.
[14] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh…, jilid 2, hlm. 157.
[15] Ahmad ad-Duwaisy, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta, (Riyadh: Dar al-‘Ashamah, t.t), jilid 7, hlm. 319.
[16] Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, (Kairo: Dar al-Hadits, 2110), jilid 2, hlm. 410.
[17] HR Ahmad dan Ibnu Hibban, dari Sa’id bin Musayyab dari Abi Hurairah dengan sanad marfuu’. Menurut Imam Muslim, Ibnu ‘Uyainah melakukan kesalahan dalam lafdz ini, aku tidak mengetahui apakah diriwayatkan pula dari Zuhri dan selainnya. Diriwayatkan pula oleh Imam yang enam dengan lafadz, “Apa yang kalian dapat susul  maka Shalatlah dan bagian yang terlewatkan maka sempurnakanlah.”
[18] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2, hlm. 18.                                                   
[19] Lihat Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu 2/273, al-Mausu’ah al-Fiqh al-Islam wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, 2/246, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 5/482.
[20] Muhammad Abady, ‘Aun al-Ma’bud, jilid 2, hlm. 471.
[21] Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfah…, jilid 2, hlm. 411.
[22] Imam al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, cet. ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987), jilid 1, hlm. 267.
[23] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2, hlm. 160.
[24] Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), jilid 2, hlm. 118.
[25] Lihat al-Khulashah al-Fiqhiyah ‘Ala Madzhab as-Sadah al-Malikiyah 1/150, dan Aqrab al-Masalik Limadzhab al-Imam Malik hlm. 30.
[26] Imam an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin, Edisi Khusus, (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003), jilid 1, hlm. 643.
[27] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2, hlm. 161.
[28] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh…, jilid 2, hlm. 409.
[29] Ahmad an-Nafrawi, al-Fawakih ad-Dawani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), jilid 1, hlm. 429.
[30] Imam an-Nawawi, al-Majmu’, jilid 6, hlm. 95.
[31] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh…, jilid 2, hlm. 410.
[32] Ibu Qudamah, al-Mughni, jilid 2, hlm. 106.
[33] Wahbah az-Zuhaili, al-Maushu’ah al-Fiqhiyah wa al-Qadaya al-Mu’ashirah, cet. ke-3, (Damaskus: Dar al-Fikr. 2012), jilid 2, hlm. 364.
[34] Muhammad al-Qurawi, al-Khulashah al-Fiqhiyah ‘Ala Madzhab as-Sadah al-Malikiyah, (TTp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), jilid 1, hlm. 111.
[35] Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth…, jilid 1, hlm. 348.
[36] Imam al-Baghawi, at-Tahdzib Fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), jilid 2, hlm. 168.
[37] Muhammad al-Qurawi, al-Khulashah…, jilid 1, hlm. 111.
[38] Imam al-Baghawi, at-Tahdzib…, jilid 2, hlm. 169.
[39] Imam asy-Syafi’i, al-Umm…., jilid 1, hlm. 312.
[40] Posisi kaki kiri dalam duduk tawaruk disilangkan di bawah kaki kanan, dan pantatnya ditempelkan di atas tanah.
[41] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh…, jilid 1, hlm. 668.
[42] Duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut.
[43] Ibnu Qudamah, al-Mughni…., jilid 1, hlm. 427.
[44] Taqiyuddin al-Hisni, Kifayah al-Akhyar Fi Halli ‘Inayah al-Ikhtishar, cet. ke-2, (Kairo: Al-Quds, 2012), juz 1, hlm. 196.
[45] ‘Adil al-‘Azizi, Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah, (Alexandria: Dar al-‘Aqidah, 2009), jilid 1, hlm. 271.
[46] Syamsuddin as-Sarkhasi, al-Mabsuth…, jilid 2, hlm. 183.
[47] Ahmad an-Nafrawi, al-Fawakih…, jilid 1, hlm. 318.
[48] Ahmad ad-Duwaisy, Fatawa…, jilid 7, hlm. 395.
[49] Ibnu Taimiyah, Majmu’ah al-Fatawa, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), jilid 11, hlm. 488.

9 komentar: