Pages

About

Sabtu, 31 Mei 2014

Pesta Oplosan di Kampung Pemabuk


                Alkisah di sebuah kampung antah berantah, air sangat sulit ditemukan. Kampung sulit air itu, kebanyakan penduduknya orang baik, tetapi dikuasai oleh para pemabuk yang suka minum khamr. Mereka mendatangkan berpeti-peti khamr dari dari negeri yang jauh untuk memenuhi rasa haus sekaligus hobi mabuknya.
          Orang-orang baik berusaha tetap minum air. Mereka menggali sumur-sumur yang dalam namun tetap gagal memperoleh air. Mereka hanya bertahan hidup dengan menampung embun di dedaunan atau menampung air hujan yang sangat jarang turun. Tentu sangat minim, air yang mereka dapatkan hanya sekedar untuk bertahan hidup.
          Para pemabuk yang berkuasa di kampung itu mengatur adat di sana dengan aturan mereka. Mirip Jenghiz Khan yang harus kesurupan dan setengah sadar sebelum menulis undang-undang, para pemabuk harus pesta anggur beramai-ramai sampai teler sebelum menyusun aturan kampung.
          Ritual teler bersama itu disakralkan. Saking sucinya ritual itu sampai-sampai mereka mengutip ujar latin in vino veritas, artinya “dalam (mabuk) anggur itu terdapat kebenaran.” Beberapa pemabuk sejati bahkan membuat pepatah baru yang lebih gila, vox madidus vox dei, suara pemabuk adalah suara tuhan.
          Para pemabuk pertama kali berkuasa di kampung dengan menipu orang-orang baik. Mereka mengajak orang baik bersama-sama membuat sumber adat dan pemimpin kampung haruslah orang baik-baik.
          Namun, hanya sehari setelahnya, mereka mendatangkan pemabuk paling licik yang tinggal di ujung timur kampung. Pemabuk licik itu mengancam, kalau pasal tentang kebaikan dan kepemimpinan orang baik tidak dihapus, ia akan menjadi separatis, tak mau bergabung dengan lakita hapus pasal itu, toh hanya tujuh kata saja. Yang penting ujung timur kampung tak sampai lepas, persatuan harus kita dahulukan.”
          Salah satu orang baik bersikukuh tak mau mengubah kesepakatan itu. Baginya itu gentlemen agreement yang tak boleh seenaknya dicabut. Namun para pemabuk melobi dia melalui kerabatnya. Dengan janji kelak pasal kebaikan akan dicantumkan lagi setelah pemabuk licik tenang, akhirnya orang baik itu setuju tujuh kata bahwa kebaikan berlaku di kampung itu dihapus.
          Setelah itu para pemabuk ingkar janji. Mereka berkuasa di kampung dan tak mengindahkan kebaikan. Tak cukup sekedar itu, mereka mulai menghalangi orang baik melakukan kebaikan. Mereka tak puas sebelum semua orang jadisuka mabuk.
          Minum Sosial
          Orang-orang baik di kampung sulit air ada beberapa golongan. Ada yang teguh pendirian, tak mau mabuk atau bahkan sekedr menyentuh khamr. Namun ada juga yang sesekali mau ikut minum anggur, mereka berkilah bahwa mereka drink socially, minum sedikit untuk menghormati kalangan yang suka mabuk. Toh tak sampai mabuk.
          Setelah dua generasi, golongan drink socially mulai menjadi pemabuk. Namun mereka masih mengaku sebagai orang baik-baik. Meski ayah dan kakek mereka tak pernah minum sampai mabuk, mereka dengan bangga menenggak wine atau wiski dan mengutip pepatah latin in vino veritas.
          Lalu datanglah saatnya pesta oplosan, momen terbesar dalam ritual para pemabuk. Kini para pemabuk tak perlu menipu atau memaksa orang-orang baik untuk minum. Anak-anak mereka yang telah menjadi pemabuk menjalankan tugas itu.
          Tengoklah Moderatio, ia anak orang baik-baik dan terdidik hingga bangku tertinggi sekolah kebaikan. Namun ia belajar minum sedikit-sedikit hingga ia akhirnya jadi pemabuk berat. Ia mencela mereka yang tak mau minum meski hanya untuk menghormati pesta oplosan. “Nego bibo actio diaboli,” katanya. Menolak minum adalah perbuatan setan.
          Mabuk Perjuangan
          Lalu ada juga generasi yang lebih muda, terdidik juga meski tak setinggi Moderatio, namanya Scio Tutus. Tutus mengatakan bahwa mereka yang peduli pada kesejahteraan kampung hanyalah yang minum. Membantah seorang baik-baik yang mengingatkan kejadian di masa lalu bahwa para pemabuk selalu mengingkari janji dan siap menggusur orang baik yang memimpin, Tutus berkata:
          “Nego bibo merus custodis,” orang yang tidak minum hanya jadi penonton. padahal kampung butuh pemimpin yang aktif terlibat dalam mengatur adat. ikut minum dalam pesta oplosan adalah jalan terbaik untuk berusaha merebut kepemimpinan dan mengisi kampung dengan kebaikan.
          Buat Tutus dan kawan-kawannya, mereka minum khamr dengan niat baik. Demi perjuangan mengembalikan kampung sulit air ke pangkuan orang baik. Ketika dikritik mengapa minum sampai mabuk, mereka berkilah bahwa itulah “mabuk perjuangan.”
          Maka anak-anak muda yang baik menjadi bingung. Di satu sisi ada kesadaran bahwa minum itu haram, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran kalau tidak ikut minum maka kampung hanya diatu oleh para pemabuk.
          Dalam situasi yang membingungkan itu, banyak anak muda baik yang tadinya tak mau minum jadi tergoda. Mereka khawatir kena dosa membiarkan kampung dikuasai pemabuk. Agar orang baik bisa turut memimpin, maka mereka “berkorban” dengan minum sedikit. Tak apalah minum sekali, yang penting bisa membendung kekuasaan para pemabuk.
          Mereka lupa bahwa para pemabuk pun memulainya dengan minum sedikit. Sececapan lidah sekedar mencicipi. Berlanjut seteguk lalu meningkat sesloki hingga akhirnya sebotol dan bergelimang khamr dalam hidupnya.
          Pesta oplosan berlangsung dua putaran. Putaran pertama untuk memilih para tetua kampung. Para tetua itu yang akan merumuskan adat dan aturan bersama. Tentu saja dalam majelis yang dijiwai semangat mabuk dan anggur. Sebagian orang baik yang ikut dicalonkan jadi tetua rela minum sedikit untuk mewarnai majelis itu.
          Putaran kedua adalah memilih Raja Mabuk. Sesuai namanya, dialah yang akan memimpin dan menentukan arah pembangunan kampung di masa depan. Para pemabuk ingin raja yang baru adalah pemabuk paling top yang paling kuat minum. Sementara orang baik yang minum sedikit ingin agar pemabuk paling waras yang memimpin.
          Pada pesta oplosan yang lalu-lalu, pernah terpilih pemabuk tulen yang darahnya semerah anggur merah. Namun dalam oplosan terakhir, yang terpilih adalah pemabuk yang paling kompromis, bisa mabuk berat di kalangan pemabuk, namun bisa juga minum air di tengah-tengah orang baik.
          Lalu, bisakah orang baik yang ikut mabuk merebut kekuasaan dalam majelis mabuk? Berkali-kali mereka mencoba namun selalu gagal. Sebabnya sederhana, setelah ikut minum mereka jadi teler dan kalah bersaing dengan para pemabuk sejati. Ironis tapi mereka tak pernah kapok.
          Kisah di atas mungkin terdengar asing dan aneh. Mana ada kampung sekonyol itu. Tapi cobalah air dengan kekuasaan, khamr dengan demokrasi, pemabuk dengan politisi sekuler dan orang baik dengan umat Islam. Tentu kisah ini akan menemukan relevansinya dalam realita kekinian.*

*dicopy dari majalah an-Najah edisi 102, hal. 62.

Jumat, 09 Mei 2014

Bolehkah Orang Yang Baru Junub Menguburkan Jenazah Wanita?




Salah satu hak jenazah ialah dikuburkan. Entah ia muslim atau kafir, tua muda, kaya miskin, besar kecil, semuanya harus dikebumikan. Dalam Islam semua tata cara pengurusan jenazah ada tuntunannya. Dari cara memandikan, mengkafani, menshalatkan, hingga memasukannya ke liang lahat.
Sudah menjadi maklum, yang menguburkan jenazah pastilah lelaki. Itu dikarenakan mereka lebih kuat dan ditakutkan pula tersingkapnya aurat wanita apabila mereka mengubur jenazah. Juga tak ada riwayat yang menjelaskan wanita menguburkan jenazah, meski si mayat tersebut wanita. Dan praktik yang dilakukan sejak zaman Rasulullah pun seperti itu.
            Lalu, jika ada wanita meninggal, siapakah yang lebih berhak menguburkannya? Dan bolehkah orang yang sedang junub atau baru suci dari junub menguburkan jenazah wanita?

Orang yang paling berhak meletakkan jenazah wanita di dalam kubur
1.      Laki-laki yang menjadi mahramnya
Ini berdasarkan pengertian umum dari firman Allah,
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ الله
“Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah (mahram) satu sama lain lebih berhak dalam kitab Allah.” (Al-ahzab: 6). Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abza,
                                                                                                                        
عن عبدِ الرَّحمنِ بْنِ أَبْزَى : أَنَّ عمرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَبَّرَ عَلَى زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ أَرْبَعًا ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَى أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ يُدْخِلُ هَذِهِ قَبْرَهَا فَقُلْنَ : مَنْ كَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا فِى حَيَاتِهَا[1]                          

Abdurrahman bin Abza menyatakan, “Umar bin Khattab menshalatkan jenazah Zainab binti Jahsyi lalu meminta pertimbangan kepada para istri Nabi r lainnya untuk menentukan siapa yang memasukannya ke dalam kubur. Mereka menjawab, ‘Orang-orang yang biasa menemuinya secara langsung (mahram) semasa hidupnya.’”
2.      Suaminya
Suami lebih berhak menguburkan jenazah istrinya daripada lelaki asing.
3.      Diutamakan orang yang mengubur jenazah adalah yang tidak menggauli istrinya pada malam sebelumnya. Karena itu, lelaki asing (bukan mahram) lebih didahulukan untuk menguburkan jenazah daripada mahramnya atau suami yang telah berhubungan intim dengan istrinya pada malam sebelumnya.[2]

Penguburan Ummu Kultsum putri Rasulullah r
Dalil dari poin ketiga di atas, yaitu -mendahulukan orang yang tidak junub malam sebelumnya- adalah hadits Rasulullah ketika pemakaman salah satu putri beliau, Ummu Kultsum. Riwayat ini terdapat dalam beberapa kitab hadits dan tarikh.
Ummu kultsum mengalami sakit parah yang mengantarkannya kepada Sang pencipta. Beliau wafat pada bulan Sya’ban tahun 9 H. Rasulullah r memerintahkan Ummu Athiyyah memandikan jenazahnya tiga atau lima kali, atau lebih dari itu.[3]
Jasad Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha dibawa turun ke dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari.[4]
عنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ شَهِدْنا بنتَ رَسولِ اللهِ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ, وَرَسولُ اللهِ صلى اللهُ عليهِ وَسَلّمَ جالسٌ على القبرِ فرَأَيْتُ عينَيْهِ تَدْمَعَانِ, فَقَالَ: هَلْ فِيكُمْ مِنْ أَحَدٍ لَـمْ يُقَارِفْ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَنَا, قَالَ فَانْزِلْ فِي قَبْرِهَا فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا فَقَبَرَهَا
Dari Anas t, ia berkata: Kami menyaksikan pemakaman salah satu putri Rasulullah r, beliau duduk di sisi kubur putrinya, aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?”Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau: “Turunlah!” Lalu Abu Thalhah turun dan menguburkannya.[5]
Makna Lafadz “Yuqarifu”
Menurut Fulaih bin Sulaiman (salah satu perawi hadits di atas), makna lafadz “yuqarifu” adalah dosa.[6] Dikatakan juga makna lafadz tersebut ialah tidak berjimak malam itu, ini pendapat Ibnu Hazm. Beliau berkata: “Kita berlindung kepada Allah dari mengunggulkan Abu Thalhah atas Rasulullah karena ia tidak berbuat dosa malam itu.”
Ada pula pendapat, makna dhahir dari pemilihan Nabi r terhadap Abu Thalhah dikarenakan ia tidak berhubungan intim malam itu. Sebagian mereka menjelaskan sebabnya, karena pada saat itu ia aman dari godaan setan yang mungkin mengingatkannya pada apa yang terjadi semalam. Ibnu Habib menceritakan tentang rahasia pendahuluan Abu Thalhah atas Utsman. Utsman menggauli sebagian istrinya malam itu. Sehingga Nabi r melarangnya masuk ke makam istrinya secara lembut, tidak terang-terangan.[7]
Dan makna lafadz “yuqarifu” yang tepat adalah jimak. Tidak sebagaimana pendapat Fulaih yang mengartikan dosa. Karena dalam dialek Arab pun, lafadz tersebut berarti berjimak.[8]
Hukum Orang Yang Baru Junub Menguburkan Jenazah
Ibnu Hazm berpendapat tidak bolehnya orang yang baru junub untuk  menguburkan jenazah. Tertulis dalam kitabnya “Al Muhalla”, yang lebih berhak menurunkan jenazah wanita ke dalam kuburnya adalah orang yang tidak berjimak malam sebelumnya. Walaupun dia lelaki ajnabi (bukan mahramnya). Dengan atau tanpa kehadiran suami dan keluarganya.[9]
Namun pendapat di atas berbeda dengan Al-Umrani (salah satu ulama Syafiiyyah), dalam kitabnya yang telah ditahqiq oleh Dr. Mahmud Mathraji. Dalam kitab tersebut tertulis bahwa dalam menguburkan jenazah wanita, yang paling berhak adalah suaminya karena hanya ia yang dibolehkan melihat apa yang tak boleh dilihat orang lain. Jika tidak ada suami, maka ayahnya yang lebih berhak. Lalu kakek, anak, kemudian keponakannya. Namun jika mahramnya pun tidak ada, yang menguburkannya adalah budak miliknya. Karena ia mahram dengannya menurut banyak madzhab. Jika tidak ada juga, maka lelaki yang dikebiri yang ia tak lagi mempunyai syahwat atau sepupunya.[10]
Umrani tak melarang orang yang baru junub menguburkan jenazah. Ia tetap mengedepankan suami dari yang lainnya. Dan ini berbeda dengan tindakan Rasulullah saat pemakaman putrinya. Bahkan dalam kitabnya yang lain “Al furu’”, beliau menulis, “jika mereka semua tidak ada, maka mayyit diturunkan dengan tali. Jika repot, boleh bagi lelaki yang tsiqah untuk menguburkannya.[11]
Sedangkan pendapat Ibnu Hazm dikuatkan juga dengan hadits lain, yang diriwayatkan Ahmad,
عنْ أَنسٍ أَنَّ رُقيةَ لما ماتتْ قالَ رَسولُ اللهِ صلى اللهُ عليهِ وَسلمَ لا يدْخلُ القبرَ رَجلٌ قارَفَ أَهلهُ الليلةَ[12]
Dari Anas, bahwasanya ketika Ruqayyah meninggal, Rasulullah r bersabda: "Jangan memasuki liangnya seseorangpun yang telah 'menggauli' istrinya pada malam ini".
 
            Hadits ini dishahihkan Albani, meski Bukhari mengomentari: “Saya tidak tahu tentang ini, karena Ruqayyah wafat saat Rasulullah berada di Badar dan tidak menyaksikannya.[13]
 
Bolehnya Lelaki Ajnabi Menguburkan Jenazah Wanita
          Kasus pemakaman Ummu Kultsum menjadi dalil kebolehan lelaki ajnabi menguburkan jenazah wanita. Dan memang lelaki lebih mumpuni dalam perkara ini.
          Asy-Syanqity menulis dalam kitabnya “Syarh Zadil Mustaqni’”, bahwasanya yang lebih berhak memasukkan jenazah wanita adalah kerabatnya. Karena hal itu lebih jauh dari fitnah serta lebih aman baginya. Namun jika ada lelaki ajnabi yang hendak menguburkannya, dan ia yakin tidak menimbulkan fitnah, maka tak mengapa. Karena ketika Nabi r ketika menguburkan salah seorang putrinya, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Lalu Rasulullah memerintahkannya untuk turun. Dia termasuk lelaki ajnabi. Saat itu ada Utsman t sebagai suaminya dan Rasul tidak memerintahnya. Para ulama berpendapat berdasarkan hadits ini, bolehnya lelaki ajnabi menguburkan jenazah wanita. Terkhusus juga dalam keadaan dimana keluarga mayyit tidak dapat maksimal dalam pemakamannya.
            Contoh, seandainya seorang wanita memiliki anak laki-laki, ayah, atau saudara laki-laki yang mahram dengannya tetapi dia tidak mampu meletakkan mayat secara baik, serta ketika itu ada lelaki ajnabi yang lebih mampu dan kuat dalam hal itu, maka kami berpendapat tidak mengapa jika dia turun untuk meletakannya ke liang lahad.[14]
Karena tidak semua mahram yang ada mampu menguburkan jenazah dengan baik. Contoh yang lebih spesifik dari contoh di atas, jika ada seorang wanita memiliki suami yang kakinya telah diamputasi, buta, atau terlalu lemah. Tidak mungkin baginya untuk turun ke liang lahad. Dalam kondisi seperti itu tentu tak mengapa jika ada ajnabi yang menguburkannya. Dan Ibnu Hajar pun dalam Fathul Bari, mengklarifikasikan hadits Anas di atas dalam pembahasan siapa yang menguburkan jenazah wanita. Tidak dengan judul pembahasan orang yang baru junub menguburkan jenazah wanita.
Larangan Bagi Orang Junub
Hal-hal yang diharamkan bagi orang junub adalah:
1.      Shalat, beserta macamnya. Termasuk di dalamnya semua macam sujud seperti sujud tilawah dan sujud syukur. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Maidah:6, “dan jika kamu junub maka mandilah.”
2.      Thawaf di sekitar Ka’bah meskipun itu thawaf sunnah. Ini pendapat jumhur kecuali madzhab Hanafiyyah. Karena thawaf sama seperti shalat. Sebagaimana sabda Rasulallah r: “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat, maka jika kalian thawaf, sedikitlah berbicara.”
3.      Menyentuh mushaf dan membawanya. Allah Ta’ala berfirman, ”tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
4.      Membaca Al-Qur’an dengan lisannya. Walau hanya satu huruf atau tidak ada satu ayat, ini menurut Hanafiyyah.
5.      Berdiam diri di masjid. Berdasarkan hadits Ummu Salamah, ia meriwayatkan: Rasulullah r memasuki halaman masjid, dan menyeru dengan suara keras: “masjid tidak halal bagi orang haidh maupun junub.”[15]
Dan tidak ada dalil mengenai haramnya orang junub menguburkan jenazah. Meski jika kita mengambil pendapat haramnya orang yang baru junub menguburkan jenazah karena ditakutkan setan mengingatkannya pada yang terjadi malam itu, tentu orang yang sedang junub lebih dilarang.
Salah satu fatwa juga menyebutkan kebolehan orang yang junub untuk menguburkan jenazah. Saperti yang saya kutip dari www.islamweb.net, “tidak ada larangan bagi orang yang junub untuk menguburkan jenazah, baik jenazah tersebut laki-laki atau perempuan. Meskipun yang lebih utama, orang yang menguburkan jenazah itu dalam keadaan suci dari junub.”[16]
KESIMPULAN
            Berdasarkan pendapat dan dalil di atas, maka dapat disimpulkan hukum orang yang baru junub pada malam sebelum ia menguburkan jenazah wanita itu makruh. Juga tidak adanya dalil pengharaman orang yang sedang junub untuk menguburkan jenazah. Maka mendahulukan lelaki ajnabi yang tidak menggauli istri pada malam sebelumnya dari suami dan mahram dalam menguburkan jenazah wanita bersifat mustahabb (sunnah) dan lebih afdhal.
            Demikian juga diperbolehkan bagi lelaki ajnabi untuk menguburkan jenazah wanita. Karena mereka lebih kuat dan mampu dalam perkara tersebut. Apalagi jika wanita itu sudah tidak memilliki mahram yang hidup atau masih ada namun kondisi mahramnya tidak memungkinkan untuk turun menguburkan jenazahnya.
            Wallahu a’lam bis shawab.

Referensi:
1.      Al-qur’an Al-karim
2.      Al-asqalani, Ibnu Hajar. (2004). Fathul bari. Kairo: Darul hadits.
3.      Al-baihaqi. (2003). As-sunan Al-kubra. Cetakan ketiga. Libanon: Darul kutub ilmiyah.
4.      Al jamili, As sayyid. Nisa haular rasul. Maktabah at taufiqiyah.
5.      Al-umrani. (2009). Al bayan fi syarhil muhadzab. Libanon: Darul fikr.
6.      Az-zuhaili, Dr. Wahbah. (2005). Al wajiz fil fiqhi al islamy. Damaskus: Darul fikr.
7.      Bathal, Ibnu. (2003). Syarh shahih bukhari. Cetakan kedua. Riyadh: Maktabah arrusydi.
8.      Hanbal, Ahmad bin. (1999). Musnad Ahmad bin Hanbal. Cetakan kedua. Muassasah ar risalah.
9.      Hazm, Ibnu. (2003). Al muhalla bil atsar. Libanon: Dar al kutub al ilmiyah.
10.  Kamal, Abu Malik. (2010). Fiqih sunah untuk wanita. Diterjemahkan oleh: Asep Sobari, Lc. Cetakan keempat. Jakarta: Al i’thisom.
11.  Syarh zadil mustaqni’. Maktabah syamilah.
12.  Anonim. Hukum orang junub menguburkan jenazah, diakses dari http:/fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=46829, diakses pada 30 Maret.


[1] Al-baihaqi, As-sunan  al-kubra lilbaihaqi, jilid 4, cetakan ketiga, hal. 88.
[2] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih sunah untuk wanita, cetakan keempat, Jakarta: Al I’tshom, hal. 312.
[3] As Sayyid Al Jamily, Nisa haula ar rasul, hal. 158
[4] Ibid.
[5] HR. Bukhari, no 1342.
[6] Ibnu Hajar Al-asqalani, Fathul bari, jilid 3, 2004, (Kairo: Darul Hadits), hal. 239.
[7] Ibid., jilid 3, hal.181-182.
[8] Ibnu bathal, Syarh shahih bukhari, jilid 3, cetakan kedua, 2003, (Riyadh: Maktabah  Arrusydi), hal. 328.
[9] Ibnu Hazm, Al Muhalla, jilid 3, cetakan pertama,. 2003. (Libanon: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah), hal.369.
[10] Al Umrani, Al bayan fi syarhil muhadzab, cetakan pertama, jilid satu, 2009, (Libanon: Darul Fikr, hal. 567.
[11] Ibid.
[12] Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-imam Ahmad bin Hanbal. cetakan kedua. 1999. (Muassah Ar-risalah)
[13] Ibnu Hajar Al-asqalani, Op.Cit., hal. 181
[14] Disadur dari Syarh Zadil Mustaqni’, Maktabah Syamilah.
[15] Dr. Wahbah Az-zuhaily, Al-wajiz fil fiqh Al-islamy, cetakan pertama, 2005, (Damaskus: Darul Fikr) hal.
[16] Hukum orang junub menguburkan jenazah, diakses dari http:/fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=46829, pada 30 Maret 2014 pukul 06:55 WIB

_Haibara Ai_