Pages

About

Jumat, 28 November 2014

Poligami Lebih Dari Empat Istri



A.    Pendahuluan
Tahun lalu Indonesia sempat dihebohkan dengan terbongkarnya praktik poligami Eyang Subur yang memiliki delapan istri. Habib Selon sempat menanyakan jumlah istri kepada Eyang Subur. Dari situ, ia mengetahui bahwa Eyang Subur memiliki delapan istri. Mendengar pengakuan itu, Habib terkejut. "Kami pertanyakan lagi, pak Subur apakah benar Anda punya istri sembilan? Jawab dia, 'tidak Habib, istri saya delapan'. Kaget saya, saat itu juga kami minta yang empat istrinya diceraikan dan diberi uang," terang Habib.[1]
Yang lebih mengherankan, adalah kisah Bello Abubakar. Muhammed Bello Abubakar lahir pada tahun 1924, dia adalah ayah bagi 170 anak dari 86 istri. Dengan jumlah itu, Bello Abubakar dinobatkan sebagai pria pemilik istri terbanyak di dunia. Bello seorang Nigeria asli, kampung halamannya adalah sebuah desa kecil bernama Bida. Dia mengaku sangat bahagia memiliki keluaga besar dan sangat menyayangi semua istri dan anak-anaknya.
Sebagai seorang muslim, Bello Abubakar dianggap telah melanggar syariah, karena di dalam Islam, pria hanya boleh menikahi maksimal empat orang wanita. Dan karena itu pulalah sehingga Bello pernah didakwa bersalah oleh hukum syariah dan dimasukkan ke dalam penjara.[2]
Dua kasus di atas merupakan contoh praktik poligami yang dilarang. Sebab, di dalam Islam hanya dibolehkan menikahi empat istri dalam waktu yang sama. Oleh karenanya, akan kami bahas tentang poligami yang melebihi batas maksimal dalam Islam.


B.     Definisi Poligami
Secara etimologis kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Dengan definisi tersebut, sebenarnya istilah poligami bisa dipakai bagi pria yang menikahi beberapa wanita dalam satu waktu atau wanita yang menikah dengan beberapa pria dalam satu waktu. Hanya saja, poligami sudah lumrah digunakan bagi pria yang menikahi lebih dari seorang wanita. Walau istilah yang lebih khusus untuk perilaku tersebut adalah poligini. Dan istilah khusus yang digunakan bagi wanita yang  mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan adalah poliandri.
 Sedangkan dalam bahasa arab, poligami dikenal dengan sebutan ta’addud az-Zaujat (تعدد الزوجات). Ta’addud (تعدد) berarti banyak, dan az-Zaujat (الزوجات) merupakan bentuk plural dari kata zaujah (زوجة) yang berarti istri.
C.    Batasan Maksimal Poligami
Syariat Islam membolehkan seorang lelaki menikah dengan lebih dari satu wanita dalam satu waktu. Dan diharamkan atasnya menikah lebih dari empat istri.[3] Hal ini berdasarkan dalil yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[4]
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud firman Allah Ta’ala “dua, tiga, atau empat.” Artinya nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai selain mereka (anak yatim). Jika kalian suka silakan dua, jika suka silakan tiga, dan jika suka silakan empat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.”[5]
Maksudnya, diantara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, dan ada yang empat. Konteks seperti ini tentu tidak menafikan adanya malaikat yang memiliki jumlah sayap lebih dari itu, karena terdapat dalil yang menunjukannya. Hanya saja ia berbeda dengan kasus pembatasan empat wanita bagi pria dalam ayat ini, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas dan jumhur ulama. Sebab, konteks ayat ini adalah tentang pemberian nikmat dan ibahah (pembolehan). Seandainya dibolehkan menggabung lebih dari empat wanita, tentu Allah telah menjelaskan hal tersebut.
            Sebagian mereka berdalih dengan perbuatan Rasulullah Saw., yang menikahi lebih dari empat orang wanita, hingga sembilan orang. Menurut para ulama, ini merupakan salah satu kekhususan bagi beliau dan tidak berlaku umum untuk ummatnya.[6]
            Pembatasan ini merupakan ijma para ulama, dan tidak didapati salah seorangpun yang menyelisihinya. Kecuali satu pendapat yang berasal dari Al-Qasim bin Ibrahim[7], ia membolehkan meggabungkan sembilan orang. Ia berdalil dengan dalil yang sama seperti di atas (Q.S an-Nisa:3), namun mengartikan huruf wawu (و) untuk menghimpun. Dan pendapat seperti itu tak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan ijma’ dan menyelisihi sunnah.[8]Dan menurut Dr. Wahbah, ‘athaf dengan huruf wawu untuk memilih, bukannya menghimpun.[9]
            Maksud ayat di atas juga diperjelas dengan beberapa hadits, diantaranya hadits riwayat Ibnu Umar, ia berkata, “Ghilan ats-Tsaqafi masuk Islam, pada saat itu ia memiliki empat belas istri yang ia nikahi pada masa jahiliyah, dan mereka semua ikut masuk Islam bersamanya. Nabi Saw., memerintahkannya untuk memilih empat orang dari mereka.”[10]
Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Qais bin Harits, ia berkata, “Aku masuk Islam dan aku tengah memiliki delapan istri, maka aku datang menghadap Nabi Saw., dan aku beritahukan beliau akan hal itu, maka beliau bersabda, “pilihlah empat orang dari mereka.”[11]
D.    Hikmah Pembatasan Empat Istri

Dr. Wahbah Zuhaily mengatakan, “Menurut kami, pelegalan poligami dengan empat istri saja sesuai dengan prinsip mewujudkan kemampuan dan tujuan yang paling final bagi sebagian orang pria, serta untuk memenuhi keinginan dan kehendak mereka bersama selama perjalanan sebulan. Sebab setiap istri memiliki kebiasaan bulanan selama satu minggu.
Pembolehan menikah dengan empat orang merupakan suatu pencukupan. Serta menutup pintu yang dapat membawa kepada berbagai penyimpangan, atau tindakan yang terkadang dilakukan beberapa pria dengan memiliki wanita simpanan, dan wanita penghibur. Kemudian, dalam penambahan istri lebih dari empat orang dikhawatirkan timbul kezaliman atas mereka disebabkan tidak mampu memenuhi hak-hak mereka. Karena secara zahir, seorang pria tidak mampu memenuhi hak-hak mereka.
Oleh karena itu, al-Qur’an mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya:
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”
Maksudnya, kalian tidak bisa bersikap adil dalam hubungan intim dan nafkah dalam pernikahan dengan dua orang, tiga orang, atau empat orang. Menikah dengan seorang istri merupakan perbuatan yang lebih aman bagi kamu agar tidak terjatuh pada perbuatan zalim. Kalau begitu, pembatasan empat orang istri merupakan suatu keadilan dan moderat, serta melindungi para istri dari kezaliman yang dapat terjadi kepada mereka akibat lebihnya jumlah istri dari empat orang.[12]
Oleh karenanya, siapa saja yang masuk Islam pada zaman Nabi Saw., dan ia memiliki istri lebih dari empat, Nabi Saw., memerintahkannya untuk mempertahankan empat istri dan mentalak sisanya.[13]

E.     Hukum Poligami Lebih Dari Empat Istri
Seperti yang sudah kami sebutkan, bahwa poligami hanya dibatasi dengan empat istri. Pernikahan dengan yang kelima (bagi yang memiliiki istri empat) adalah bentuk nikah fasid.[14] Maka terdapat hukum terhadap siapa yang menikah dengan istri kelima disaat ia masih memiliki empat istri.
Imam Malik dan Imam Syafi’i menyatakan: “Ia mendapat had jika mengetahui hukumnya.” Pendapat ini juga diambil oleh Abu Tsaur. Adapun menurut Az-Zuhri, ia dihukum rajam jika mengetahui hukumnya dan dihukum dengan hukuman paling ringan diantara keduanya, yaitu jilid (cambuk), jika ia melakukannya karena tidak mengetahui hukumnya. Maka wanita itu tetap mendapat maharnya, namun mereka berdua dipisahkan, dan tidak boleh berkumpul lagi selamanya.[15]
Terdapat sebuah pertanyaan bagi Syaikh Bin Baz, “Jika seorang lelaki memiliki empat istri lalu ia menikah lagi dengan istri kelima, dan dari pernikahannya itu ia dikaruniai seorang anak atau lebih, apakah anak dari istri kelima tersebut dinasabkan kepadanya?”
Syaikh Bin Bazz menjawab, “Tak diragukan lagi nikahnya ia dengan istri kelima itu batal sebagaimana ijma’ para ahlul ilmi. Ibnu Katsir telah menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa ahlul ilmi kecuali Syiah telah berijma’ atas keharaman pernikahan dengan orang kelima. Adapun tentang nasab anak tersebut, terdapat rincian. Jika ia meyakini nikahnya itu sah karena kebodohan, syubhat, atau taklid, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya (bapak), dan jika tidak demikian maka si anak tidak bisa dinasabkan kepadanya.”[16]

F.     Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menikah dengan istri kelima disaat ia masih memiliki empat istri, maka hukumnya haram dan nikahnya dianggap fasid (rusak). Jika mereka tetap mempertahankannaya, maka hubungan mereka dianggap perzinaan dikarenakan tidak sahnya pernikahan mereka. Karena pembatasan empat istri ini berdasarkan nash syar’i dan ijma’.
Adapun hukuman bagi mereka yang menikah dengan wanita kelima, sebagaimana yang telah disebutkan di atas dari pendapat beberapa ulama, adalah rajam atau jilid. Maka bagi lelaki yang sudah memiliki empat istri dan ingin menikah lagi, ia harus menceraikan salah satu istrinya terlebih dahulu. Wallahu a’lam bish shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Adawi, Musthafa. 2008. Jami’ al-Ahkam an-Nisa. Kairo: Dar Ibnu Affan.
Asy-Syaukani, Imam. 2005. Nailul Authar. Kairo: Darul Hadits.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu. Cetakan ke-10. Damaskus: Darul Fikr.
                                          . 2012. Mausuah al-Fiqh al-Islam wa Qadhaya al-Mu’ashirah. Cetakan ke-3. Damaskus: Darul Fikr.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Qudamah, Ibnu. 1997. Al-Mughni. Cetakan ke-3. Riyadh: Dar Alim al-Kutub.
Zaidan, Abdul Karim. 2000. Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wal Bait Muslim. Cetakan ke-3. Lebanon: Muassasah ar-Risalah.
Bin Baz, Syaikh. Majmu’ Fatawa. (Maktabah Syamilah)
Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, Kuwait: Wizaratul Auqaf wa Syu’uni Islamiyah. (Maktabah Syamilah)

Jonata, Willem. 2013. “Eyang Subur Ditanya FPI, Benarkah Istrinya Sembilan? Ini Jawab Dia,” http://www.tribunnews.com/seleb/2013/04/01/eyang-subur-ditanya-fpi-benarkah-istrinya-sembilan-ini-jawab-dia, diakses pada 7 November 2014

http://www.seksualitas.net/pria-84-tahun-beristri-86-orang.htm, diakses pada 7 November 2014



[3] Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wal Bait Muslim, cet 3, (Lebanon: Muassasah ar-Risalah, 2000), jilid 6, hal. 286.
[4] Q.S. an-Nisa:3
[5] Q.S. Fathir: 1
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), jilid 2, hal. 147.
[7] Al-Qasim bin Ibrahim bin Ismail al-Hasani, lahir 169, dinisbatkan kepadanya aliran Qasimiyah, bagian dari Syiah Zaidiyah.
[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet 3, (Riyadh: Dar Alim al-Kutub, 1997), jilid 9, hal. 471.
[9] Wahbah az-Zuhaily, Mausuah al-Fiqh al-Islam wa Qadhaya al-Mu’ashirah, cet 3, (Damaskus: Darul Fikr, 2012), jilid 8, hal.170.
[10] Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Darul Hadits, 2005), juz 6, hal. 546.
[11] Ibid, hal. 535.
[12] Wahbah az-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adillatuhu, cet 10, (Damaskus: Darul Fikr, 2007), jilid 9, hal. 6668.
[13] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., hal. 287.
[14] Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, (Kuwait: Wizaratul Auqaf wa Syu’uni Islamiyah) jilid 8, hal. 121. (Maktabah syamilah)
[15] Musthafa al-Adawi, Jami’ al-Ahkam an-Nisa, (Kairo: Dar Ibn Affan, 2008), jilid 3, hal. 499.
[16] Syaikh Bin Baz, Majmu’ Fatawa, jilid 21, hal. 20. (Maktabah syamilah)

Selasa, 18 November 2014

Merubah Ciptaan Allah



A.    Pendahuluan

Wanita identik dengan berhias. Ia ingin selalu terlihat cantik. Oleh sebab itu, banyak kita dapati salon-salon kecantikan yang siap memanjakan mereka. Karena mereka selalu menganggap kurang apa yang telah mereka miliki. Namun, dengan berdirinya salon kecantikan, hal itu banyak membuat wanita melakukan penyimpangan dan hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan muslimah.
Sejatinya, berdandan dan merawat tubuh sah-sah saja bagi wanita. Terlebih bagi mereka yang sudah bersuami. Tampil cantik di depan suami sangat dianjurkan. Hal itu demi menambah kelanggengan rumah tangga. Disamping itu, menyejukkan pandangan suami merupakan ibadah berpahala. Berdandan boleh-boleh saja asalkan tidak merubah ciptaan Allah yang dilarang atau menggunakan benda-benda haram.
Sebagaimana fatwa syaikh Utsaimin, bahwa menghias diri terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah usaha mempercantik diri dalam rangka menutupi aib yang timbul akibat suatu peristiwa, dan hal ini tak mengapa dilakukan. Karena Nabi Saw., mengizinkan seorang lelaki yang terpotong hidungnya pada suatu peperangan untuk mengenakan hidung palsu yang terbuat dari emas. Dan berhias yang hanya dimaksudkan untuk menambah keindahan, bukan untuk menutup aib, maka hukumnya tidak boleh.[1]
Karenanya, para wanita harus pandai memilah apa saja bentuk dandanan yang diperbolehkan bagi mereka. Supaya mereka tidak terjatuh pada dandanan yang diharamkan. Seperti mentato, mencabut alis, dan mengikir gigi.

B.     Pengertian Ziinah (Perhiasan)
Secara etimologi, ziinah berasal dari isim masdhar zaana, maka arti zaanahu (زانه) berarti mempercantik atau memperindah. Jadi, makna ziinah adalah segala sesuatu yang dipakai untuk mempercantik diri.


Allah Ta’ala berfirman:
قُل مَن حَرَّمَ زِينَةَ اللّٰهِ الَّتِى اَخرَجَ لِعِبَادِه وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزقِ
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"
Di dalam Tafsir Fakhrurrazi, terdapat dua pendapat tentang makna ziinah. Pendapat pertama adalah pakaian yang menutup aurat. Sedangkan pendapat kedua adalah segala macam alat berhias. Termasuk di dalamnya semua bentuk riasan, alat pembersih badan, sepatu berhak tinggi dan perhiasan. Karena semua itu termasuk alat memperindah.[2]Sedangkan asal hukum segala bentuk ziinah adalah boleh kecuali yang telah dikhususkan oleh dalil, yang mengeluarkannya dari kategori mubah.[3]
C.    Larangan Merubah Ciptaan Allah

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
“Allah Subhanahu wa Ta'ala melaknat wanita-wanita yang membuat tato, meminta ditato, mencabuti alis dan memperbaiki susunan giginya untuk mempercantik diri, yang telah merubah ciptaan Allah.”[4]
Hadits shahih di atas menjadi dalil larangan merubah ciptaan Allah. Dalam hadits tersebut Allah melaknat para wanita pembuat tato berikut wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alis dan yang meminta dicabutkan alisnya, serta wanita yang mengikir gigi dan yang minta dikikir giginya.
Ketiga hal tersebut (mentato, mencabut alis, dan mengikir gigi) haram bagi laki-laki maupun wanita. Tidak ada perbedaan hukum antara subyek dan obyeknya.  Karena disana terdapat laknat. Dan tidaklah sesuatu itu dilaknat melainkan karena itu hal yang diharamkan. Bahkan termasuk salah satu dosa besar.[5] Dalam Umdatul Qori dinyatakan, “Ada ulama yang mengatakan bahwa dosa besar adalah semua tindakan maksiat. Ada juga yang mengatakan, dosa besar adalah semua dosa yang diancam dengan neraka, laknat, murka, atau siksa.”[6]
Sebagaimana juga perkataan Syaikh Fauzan, “Laknat hanya diberikan untuk perbuatan yang haram dan berat tingkat keharamannya. Bahkan termasuk dosa besar. Karena diantara batasan dosa besar adalah adanya ancaman laknat, murka, neraka, ancaman, atau hukuman di dunia.

D.    Membuat Tato
Imam An-Nawawi mendefinisikan al-Wasymu (الوشم): menusukkan jarum atau sejenisnya di punggung telapak tangan, pergelangan tangan, bibir, atau bagian lain dari tubuh seorang wanita sampai darahnya mengalir. Kemudian dimasukkan ke dalam lubang pada kulit tersebut celak atau kapur sehingga menjadikannya berwarna hijau. Wanita yang menjadi tukang membuat tato itu disebut sebagai Wasyimah, sedangkan wanita yang dibuatkan tato disebut Mausyumah, dan yang meminta dibuatkan tato disebut Mustausyimah.[7]
Larangan bertato sudah kami sebutkan sebelumnya yaitu lafadz hadits:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ
“Allah Subhanahu wa Ta'ala melaknat wanita-wanita yang membuat tato dan meminta ditato.”
Allah ta’ala juga berfirman:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ اْلأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا
Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”[8]
Makna mengubah ciptaan Allah, menurut seorang tabi’in Al-Hasan Al-Bashri adalah dengan mentato.[9]
 Dan menurut Imam Asy-Syaukani, “Dikatakan bahwa hal ini (larangan bertato yang tertera dalam hadits) hanya berlaku pada pengubahan yang sifatnya permanen. Adapun yang sifatnya tidak permanen seperti celak dan yang sejenisnya dari pewarna (tanpa menusukkan jarumterebih dahulu), telah dibolehkan oleh Imam Malik dan ulama lainnya.”[10]
Dewasa ini, fenomena tato telah membudaya di kalangan gadis remaja dengan model baru dari segi tempat yang ditato. Ada yang membuat tato di dada dan juga perut, sehingga si gadis menampakkan auratnya di  hadapan orang yang melakukan profesi munkar ini yang terkadang dilakukan lelaki. Biasanya hal itu dilakukan di kedai-kedai tempat minum.  Disitu terdapat ruangan khusus untuk pebuatan tato dengan harga yang cukup tinggi. Selanjutnya, aurat itu dibuka lagi di hadapan banyak orang untuk menampakkan seni tersebut,dan semua itu dilakukan karena mode.[11]
Namun ternyata, ketertarikan membuat tato tidak hanya terjadi pada gadis remaja. Seperti yang terjadi pada nenek berusia 75 tahun. Isobel Varley, wanita pemegang rekor dunia sebagai wanita yang memiliki tato terbanyak ini hampir menutupi seluruh tubuhnya dengan tato. Selain tato, Isobey juga memiliki sekitar 50 tindikan di tubuhnya.
Isobel mengaku bahwa dirinya tak begitu menggemari tato dan tindikan semasa muda. Namun dia mulai menyukai dan membuat tato pertamanya di tahun 1986, ketika dia berusia 40 tahun.[12]
Padahal, tato memiliki pengaruh buruk bagi kesehatan. Dr. Abdul Hadi Muhammad Abdul Ghaffar, ahli sekaligus konsultan penyakit kulit dan kelamin menyatakan, “Zat-zat asing yang meresap ke dalam kulit dapat menyebabkan alergi kulit, tapi jika mengandung zat minyak tanah maka akan mengakibatkan kanker kulit dan merusaknya. Sedangkan penggunaan jarum dapat menularkan wabah hepatitis dan AIDS.[13]
Menurut Ibnu Hajar, kulit yang ditato menjadi najis. Dikarenakan adanya darah yang tertahan ketika pembuatan tato. Maka wajib hukumnya menghilangkan tato jika memungkinkan walaupun menimbulkan luka. Kecuali jika hal tersebut dikhawatirkan dapat merusak atau menghilangkan manfaat anggota badan yang ditato, maka boleh membiarkannya dan ia cukup bertaubat untuk menggugurkan dosa.[14]
  
E.     Mencukur Alis

An-Namishah (النامصة) yaitu orang yang menghilangkan rambut (alis) di wajahnya. Sedangkan mutanammishah (المتنمصة) yaitu orang yang meminta untuk melakukan hal tersebut. Perbuatan ini haram.[15]Mencukur, mengerik, atau menghilangkan, baik sebagian ataupun seluruh alis tetap saja dilarang. Hal ini sering dilakukan oleh wanita. Terutama bagi mereka yang akan segera menikah. Mereka melakukan ini supaya terlihat lebih cantik.
Bahkan, dalam tradisi rias pengantin di daerah Yogyakarta, yaitu Paes Ageng[16], terdapat ritual yang diberi nama halup-halupan atau disebut juga prosesi cukur rambut. Di mana dilakukan pembersihan wajah pengantin dengan cara mencukur rambut halus yang tumbuh di dahi atau memotong rambut menjuntai ke dahi sehingga wajah tampak bersih dan siap untuk dibuat pola wajah.
Kemudian alis dibuat berbentuk menjangan ranggah atau disebut juga tanduk rusa. Karena rusa merupakan simbol kegesitan, dengan demikian kedua pengantin diharapkan dapat bertindak cekatan, trampil, dan ulet dalam menghadapi persoalan rumah tangga.[17] Tradisi tersebut jelas dilarang, disamping masuk ke dalam kategori an-Namsh, juga terdapat kepercayaan-kepercayaan yang tak berdasar menurut syariat Islam.
Terdapat pengecualian dalam an-Namsh, yaitu menghilangkan rambut yang tumbuh di wajah wanita seperti jenggot dan kumis, maka hal tersebut tidak dilarang. Bahkan hal tersebut hukumnya mustahab (lebih disukai). Karena larangan yang terkandung di dalam hadits hanya berkaitan dengan alis dan rambut yang tumbuh di tepi wajah.[18]

F.     Mengikir Gigi
Yang dimaksud dengan perenggangan gigi di sini adalah merenggangkan atau menggeser gigi taring dan empat gigi seri. Hal ini sering dilakukan oleh wanita-wanita yang sudah tua dengan tujuan agar terlihat lebih muda. Sebenarnya kerenggangan antara gigi seri ini terjadi pada anak-anak kecil. Setiap kali bertambah usia seorang wanita khawatir sehingga dia merapikan giginya dengan alat perapi gigi supaya terlihat lembut dan baik serta tampak lebih muda. Perbuatan ini haram baik bagi subyek maupun obyeknya berdasarkan hadits di atas. Karena sifatnya yang mengubah ciptaan Allah, pemalsuan, dan penipuan.
Konteks hadits di atas al-Mutafallijat lilhusni”[19], maknanya adalah mereka melakukan hal tersebut hanya untk menambah kecantikan semata. Di dalam hadits tersebut terdapat isyarat bahwa yang diharamkan adalah bila melakukannya untuk menambah kecantikan, sedangkan jika seseorang memerlukannya untuk pengobatan atau menghilangkan aib di gigi, maka tak mengapa melakukannya.[20]
Merapikan gigi untuk memperindah juga termasuk dalam kategori ini. Namun apabila ada seorang wanita yang memiliki gigi terlalu maju, atau panjang. Sehingga dia kesulitan makan atau berbicara bila tidak merapikan dan memotongnya, maka ia boleh merapikan giginya tersebut.
G.    Berhias Untuk Suami

Bagi seorang istri, sangat dianjurkan untuk berhias bagi suaminya. Karena ketika ia mampu menjadi penyejuk mata suami sehingga si suami senang ketika memandangnya, maka ini merupakan poin plus bagi istri. Bahkan hal tersebut termasuk ciri wanita terbaik. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw.,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Dari Abi Hurairah, berkata: Rasul Saw., ditanya: Wanita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dalam mengurus diri dan harta, hingga melakukan yang tidak disenangi.[21]
Ketika berhiasnya istri menjadi hal yang sangat dianjurkan, bolehkah dia mencukur alis dengan alasan berdandan untuk suami?
Ibnul Jauzi menyatakan dalam kitabnya Ahkam an-Nisa, bahwa merias wajah untuk suami tidaklah mengapa, termasuk mencukur rambut wajah demi mempercantik diri untuk suami. Kemudian beliau juga mengatakan, “Syaikh kami, Abdul Wahab bin Mubarak berpendapat bahwa jika seorang wanita mencukur wajahnya untuk tampil cantik di depan suaminya setelah si suami melihatnya, maka hukumnya boleh. Sesungguhnya yang tercela adalah ketika ia melakukan itu sebelum si suami sempat melihatnya, karena disana terdapat unsur penipuan.[22]
Sedangkan menurut Imam ath-Tabari, seorang wanita tidak boleh merubah apa yang telah diciptakan Allah baginya, dengan menambah ataupun mengurangi, baik dilakukan untuk tampil cantik di depan suami atau oranng lain.[23]
            Adapun yang rajih menurut Dr. Abdul Karim Zaidan,  bahwa hukum mencabut bulu alis hukumnya haram. Maka wanita lajang tidak boleh mencabut bulu alisnya apalagi ketika ada lelaki yang datang melamarnya. Karena perbuatannya dalam kondisi seperti itu mengandung unsur penipuan. Sedangkan jika dilakukan untuk suami, apabila suaminya senang dan meminta ia mencukur alisnya, maka menurut saya hal tersebut boleh karena termasuk bentuk berhiasnya dia untuk suaminya dan ini merupakan perkara yang dianjurkan syariat untuk melanggengkan rasa cinta dan kasih sayng antara suami istri.[24]
H.    Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa merubah ciptaan Allah untuk mempercantik diri hukumnya haram. Tiga perkara yang termasuk di dalamnya adalah membuat tato, mencabut alis, dan mengikir gigi. Disamping itu, hikmah pengharaman hal tersebut adalah mencegah terjadinya unsur penipuan serta pengelabuahan.
Namun terdapat dispensasi jika seseorang membutuhkannya untuk menghilangkan aib, kesulitan, atau pengobatan. Seperti orang yang memiliki (maaf) gigi terlalu maju hingga ia susah berbicara atau makan, maka ia boleh merapikan giginya.
Bagi wanita yang bersuami, menurut sebagian ulama, ia boleh memotong alisnya dengan maksud tampil cantik untuk suaminya. Karena hal tersebut termasuk kategori berhias untuk suami. Namun tetap disyaratkan suaminya telah melihatnya sebelum ia melakukan hal tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab.





DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Adhim
Abu Ahmad, Syaikh Nada. 2010. 300 Dosa Wanita Yang Dianggap Biasa. Terj. Umar Mujtahid Lc. dan  Abdurrahim Lc., Solo: Kiswah Media.
Al-Aini, Badruddin. Umdatul Qari. (Maktabah Syamilah)
Al-Bagha, Musthafa.  2008. Al-Fiqh al-Manhaji. Cetakan ke-9. Damaskus: Darul Qalam.
Al-Jauzi, Ibnu. Ahkam an-Nisa. (Maktabah Syamilah).
Al-Utsaimin, Syaikh. Majmu Fatawa wa Rasail Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin. Darul Wathan.
An-Nawawi, Imam. 2001. Shahih Muslim. Cetakan ke-4. Kairo: Darul Hadits.
Asy-Syaukani, Imam. 2005. Nailul Authar. Kairo: Darul Hadits.
Fakhrurrazi. Tafsir al-Fakhr ar-Razi. Darun Nasyr. (Maktabah Syamilah)
Hajar, Ibnu. 2004. Fathul Bari. Kairo: Darul Hadits.
Kamal, Abu Malik. 2008. Fiqh Sunnah lin Nisa. Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Zaidan, Abdul Karim. 2000. Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wal Bait Muslim. Cetakan ke-3. Lebanon: Muassasah ar-Risalah.
Ananda, Kun Sila. 2012. “Isobel Varley, wanita 75 tahun dengan tato terbanyak di dunia.” http://www.merdeka.com/gaya/isobel-varley-wanita-75-tahun-dengan-tato-terbanyak-di-dunia.html, diakses pada 13 November 2014.
Vem. 2011. “Uniknya Tradisi Riasan Pengantin Ala Yogyakarta,” http://www.vemale.com/body-and-mind/cantik/10673-uniknya-tradisi-riasan-pengantin-ala-yogyakarta.html, diakses pada 14 November 2014.


[1] Syaikh al-Utsaimin, Majmu Fatawa wa Rasail Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, (Darul wathan) jilid 17, hal. 22.
[2] Fakhrurrazi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, Darun Nasyr, jilid 14, hal. 232.
[3] Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ah wal Bait Muslim, cet 3, (Lebanon: Muassasah ar-Risalah, 2000), jilid 3, hal. 374.
[4] Imam an-Nawawi, Shahih Muslim, (Kairo: Darul Hadits, 2001), cet 4, jilid 7, hal. 356.
[5] Musthafa al-Bagha, al-Fiqh al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2008), cet 9, jilid 1, hal. 530.
[6] Badruddin al-Aini, Umdatul Qari, 4/485 (Maktabah Syamilah)
[7] Imam an-Nawawi, Op. Cit., jilid 7, hal. 360.
[8] Q.S. An-Nisa: 119
[9] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), jilid 2, hal. 299.
[10] Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Darul Hadits, 2005),  juz 6, hal. 342.
[11] Syaikh Nada Abu Ahmad, 300 Dosa Wanita Yang Dianggap Biasa, terj. Umar Mujtahid Lc. dan  Abdurrahim Lc., (Solo: Kiswah Media, 2010), hal.492.
[13] Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah lin Nisa, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah, 2008), hal.427.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Kairo: Darul hadits, 2004), jilid 10, hal. 419.
[15] Imam an-Nawawi, Op. Cit., jilid 7, hal. 361.
[16] Sampai masa pemerintahan Sultan Sultan HB VIII, paes ageng ini hanya boleh dikenakan oleh kerabat raja. Baru pada masa pemerintahan raja berikutnya, Sultan HB IX (1940), mengijinkan masyarakat umum memakai busana ini dalam upacara pernikahan.
[18] Musthafa al-Bagha, Op. Cit., jilid 1, hal. 531.
[19] Wanita-wanita yang mengikir gigi untuk menambah kecantikan
[20] Imam an-Nawawi, Op. Cit., jilid 7, hal. 361.
[21] H.R. An-Nasai
[22] Ibnu al-Jauzi, Ahkam an-Nisa, juz 1, hal. 60. (Maktabah Syamilah)
[23] Ibnu Hajar al-Asqalani, Op. Cit., jilid 10, hal. 325.
[24] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., jilid 3, hal. 383.