Pages

About

Sabtu, 31 Januari 2015

Catatan Akhir Bulan


Tobat terburuk adalah tobat sambel, rasa kapoknya sebentar, lalu diulang lagi.
**
Semua aqidah baik yang lurus atau yang fasid, pasti akan mempengaruhi tingkah laku.
**
Kalau engkau belajar, belajarlah dengan ikhlas, kalau engkau menyampaikan ilmu, sampaikanlah dengan ikhlas, maka engkau akan mendapat manfaat di kemudian hari.
**
Allah akan mencukupi kebutuhan kita, bukan keinginan kita.
**
Manusia ada 2: a. terlalu pasrah, hingga menyepelekan usaha, b. terlalu bergantung pada usaha, hingga menyepelekan tawakkal.
**
Pohon yang berakar tunggang jika tumbuh di dekat bangunan bias membuat pondasinya rusak (retak).
**
Ketika kita mampu atau berhasil, janganlah anggap semua itu terjadi atas usaha kita semata, karena jika Allah tidak menghendaki, itu semua takkan terjadi.
**
Jadi orang baik itu bukan kesalahan.
**
Kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang-ulang hari ini.
**
Setiap orang pasti punya seseorang yang ia sukai secara diam-diam. (eh?) J


_Ai_

Kamis, 01 Januari 2015

Hukum Menjamak Shalat Bagi Orang Sakit




Oleh: Iffah Izzah A.
A.    Pendahuluan
Menjamak shalat bukanlah hal yang asing di telinga umat Islam. Bahkan di kalangan awam sekalipun, istilah jamak dan rekannya, yaitu qashar, sudah menjadi hal biasa. Menjamak shalat merupakan dispensasi dalam pelaksanaan shalat. Hanya saja, karena keterbatasan pengetahuan, banyak orang yang menyalah gunakannya, dalam kata lain “meremehkan” sehingga membuatnya seenak sendiri melakukan jamak shalat. Ada pula yang masih bingung perihal kebolehan menjamak shalat pada kondisi-kondisi yang menyebabkan mereka tak bisa menunaikan shalat pada waktunya.
Sejatinya, shalat fardhu harus dikerjakan pada waktunya.[1] Sebagaimana firman Allah, Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nisa: 103) Hanya saja, tidak semua orang mampu melakukannya, bukan sebab malas, tapi ia memiliki kesulitan untuk melaksanakan shalat tepat waktu. Salah satu yang memberatkan seseorang untuk shalat tepat waktu adalah sakit. Karena ketika sakit, hal tersebut seringkali mengakibatkan ia tidak dapat beraktivitas atau beribadah semaksimal sebagaimana ketika masa sehatnya.
Islam merupakan dien yang mudah. Karena Sang Pemberi Syariat tak pernah ingin memberatkan hamba-Nya. Dia memberikan kelonggaran bagi orang yang berudzur. Oleh karenanya penulis akan membahas tentang jamak shalat bagi orang sakit. Karena sebagaimana yang kita maklumi, beberapa orang sakit mengalami kesulitan untuk shalat tepat waktu, bagi mereka penderita penyakit kronis atau mereka yang sering tak sadarkan diri. 
 
B.     Definisi dan Pensyariatan Shalat Jamak
Jamak shalat terdiri dari dua kata yang asal keduanya adalah bahasa arab. Jamak, diambil dari isim masdar kata جمع yang berarti menggabungkan[2]. Dan shalat tetap diartikan sebagaimana makna syar’inya. Sehingga makna jamak shalat (جمع الصلاة) adalah menggabungkan dua shalat.
Shalat jamak boleh dilakukan untuk menggabung antara shalat dzuhur dan ashar, ataupun antara shalat maghrib dan isya. Jika dilakukan di awal maka disebut jamak taqdim dan bila ditangguhkan pada waktu shalat kedua disebut jamak ta’khir.
Sudah menjadi maklum jika shalat jamak dilakukan ketika safar. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم –  يَجمَعُ بَينَ صَلاةِ الظّهرِ وَالعَصرِ إِذَا كانَ على ظهرِ سيرٍ، وَيجمعُ بينَ المغرِبِ وَالعشاءِ
“Rasulullah Saw., menjamak antara dzuhur dan ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga menjamak antara maghrib dan isya.”[3]
Hal yang masih menjadi perselisihan ulama adalah menjamak shalat bagi selain musafir. Dalam hukum menjamak shalat ketika mukim (tidak bersafar), madzhab yang paling meringankan adalah madzhab Hanbali.[4]
Hadits yang sering dijadikan acuan bolehnya menjamak shalat bagi orang yang mukim adalah
عن ابن عباس قال: صلى رسول الله r الظهر و العصر جميعا, و المغرب و العشاء جميعا من غير خوف ولا سفر.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw., pernah menjamak shalat dzuhur dan ashar, juga menjamak shalat maghrib dan isya bukan karena takut, dan bukan karena bepergian."
قال ابو الزبير: فسألت سعيدا: لما فعل ذلك؟ فقال: سألت ابن عباس كما سألتني. فقال: أراد ان لا يحرج أحدا من أمته.

Abu az-Zubair mengatakan bahwa aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang mengapa Nabi Saw., berbuat demikian. Kata Sa’id, “Hal itu sudah kutanyakan kepada Ibnu Abbas. Jawaban Ibnu Abbas, “Nabi Saw., ingin untuk tidak  menyusahkan satupun dari umatnya’. (H.R. Muslim)
Sedangkan dalam riwayat lain, berbunyi (من غير خوف ولا مطر) “bukan karena takut, dan bukan karena  turun hujan.”

C.    Syarh Hadits Ibnu Abbas
Dalam syarhnya, Imam an-Nawawi menjelasan bahwa sebagian ulama menjelaskan bahwa Nabi Saw., menjamak shalat ketika itu mungkin karena faktor hujan. Pendapat inilah  yang masyhur dari sebagian besar para ulama terdahulu, tetapi pendapat tersebut dapat dilemahkan karena di dalam riwayat lain lafadznya “tidak ada ketakutan, tidak pula sedang turun hujan.”
An-Nawawi juga mengatakan, “Ada ulama yang menjelaskan bahwa ketika itu ada mendung lalu Nabi Saw., mengerjakan shalat Zhuhur. Setelah mendung hilang misalnya diketahui bahwa waktu Ashar sudah tiba. Akhirnya Nabi Saw., melanjutkan dengan shalat Ashar”. Komentar an-Nawawi terhadap pendapat ini, “Ini adalah pendapat yang mengada-ada. Meski ada sedikit kemungkinan untuk menerima pendapat ini untuk memahami shalat jamak yang Nabi lakukan untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Namun kemungkinan ini jelas tertolak untuk shalat Maghrib dan Isya.
Sedangkan sebagian ulama menjelaskan bahwa beliau Saw., mengakhirkan shalat yang pertama, maka ketika beliau selesai shalat yang pertama tersebut telah masuk waktu shalat kedua dan seketika itu beliau menunaikan shalat yang kedua. Shalat beliau pun menjadi seperti shalat jamak (jamak shuri). Pendapat seperti ini juga lemah, karena bertentangan dengan dhahir hadits.
Adapun sebagian ulama menjelaskan bahwa Nabi Saw., menjamak shalat ketika itu mungkin karena faktor sakit atau hal-hal lain yang termasuk udzur. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Qadhi Husain, juga pendapat yang diambil al-Khathabi, al-Muthawalli, dan ar-Ruyani dari Madzhab Syafi’i. Pendapat tersebut diambil berdasarkan dhahir hadits dan karena aplikasi Ibnu Abbas serta adanya kecocokan dari Abu Hurairah, karena kesulitannya lebih berat daripada hujan.
Sehingga sebagian imam berpendapat bolehnya menjamak shalat ketika mukim jika ada kebutuhan dan tidak dijadikan kebiasaan. Itu adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari Madzhab Maliki, juga al-Khathabi dari al-Qaffal dan asy-Syasyi al-Kabir dari Madzhab Syafi’i, hal ini juga merupakan pendapat sejumlah ulama pakar hadits.[5]
Menurut Imam asy-Syaukani, hadits tersebut menunjukkan boleh menjamak shalat sebab hujan, suasana ketakutan, dan sakit. Yang diperselisihkan dari tekstual hadits tersebut adalah tentang menjamak shalat tanpa adanya udzur. Karena adanya ijma’ (yang melarang jamak shalat tanpa udzur) juga karena adanya hadits-hadits yang menjelaskan waktu-waktu shalat. Oleh sebab itu, yang dipahami tetap dhahir haditsnya. Terdapat pula hadits tentang bolehnya wanita yang mengalami istihadhah untuk menjamak shalat, sedangkan istihadhah termasuk salah satu macam penyakit.[6]
Syaikh al-Albani ketika ditanya tentang kandungan hadits tersebut, beliau menjawab, “Kadungan hadits ini bukan seperti yang dipahami oleh sebagian thalibul ilmi, bukan berarti boleh jamak tanpa sebab. Ketika seorang muslim menetap (bermukim) di daerahnya,  maka ia wajib menjaga shalat tepat waktu. Jika ia mendapati udzur atau kesulitan, maka saat ia hendak menghilangkan kesulitan tersebut, ia boleh menjamak shalat, baik jamak taqdim ataupun jamak ta’khir.
Ilah pembolehan jamak ini adalah menghilangkan kesusahan dari seorang muslim. Jadi, jika ia tidak memiliki kesulitan, ia tidak boleh menjamak shalat. Kita wajib mengambil hadits secara utuh. Di dalam hadits ini juga terdapat penyempurnaan. Yaitu bahwasanya sebagian sahabat bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apa yang dikehendaki beliau Saw., wahai Ibnu Abbas?” Ibnu Abbas menjawab: “Beliau ingin untuk tidak  menyusahkan satupun dari umatnya.”
Izinnya  Rasulullah Saw., untuk menjamak shalat pada waktu mukim selain karena hujan, adalah untuk menunjukkan pada umatnya boleh menjamak shalat dalam rangka menghilangkan beban. Jika tidak terdapat udzur syar’i yang jelas atau udzur syar’i yang tidak jelas bagi masyarakat, tetapi udzur tersebut hanya berkaitan dengan seseorang, dia mendapat kesulitan untuk menunaikan shalat pada waktunya, maka ia tidak boleh menjamak shalat secara mutlak.[7]

D.    Kondisi Dibolehkannya Menjamak Shalat
Madzhab Hanafi membatasi syariat menjamak shalat ketika haji saja, yaitu pada Hari Arafah, seseorang menjamak shalat dzuhur dan ashar secara jamak taqdim, dan ketika malam Hari Raya Idul Adha ia menjamak shalat maghrib dan isya dengan jamak takhir.[8]
Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan untuk menjamak shalat dalam delapan keadaan, yaitu ketika safar, hujan dan semisalnya, sakit, menyusui, kesuliitan dalam bersuci, kesulitan dalam mengetahui waktu, istihadhah dan yang semisalnya seperti musalsal (yang sering buang air kecil), sering mengeluarkan madzi, ataupun sering mimisan, juga ketika memiliki keperluan karena sibuk atau udzur yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jamaah dan jum’at seperti khawatir akan keselamatan dirinya dan hartanya, atau membahayakan mata pencahariannya.
Adapun ulama Madzhab Maliki membolehkan jamak shalat pada enam kondisi, yaitu ketika safar, hujan, jalan berlumpur dalam suasana gelap, sakit, dan jamak ketika berada di Arafah dan Muzdalifah (saat haji). Sedangkan ulama Madzhab Syafi’i membatasi jamak dalam tiga keadaan saja, yaitu ketika safar, hujan, dan ketika manasik haji di Arafah dan Muzdalifah.[9]
Menurut Syaikh Abu Malik Kamal, boleh menjamak shalat sekalipun tidak dalam perjalanan bila ada keperluan. Dengan syarat tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan melainkan karena adanya alasan yang mendesak seperti sakit atau semisalnya.[10]

E.     Menjamak Shalat Bagi Orang Sakit
Orang yang sakit tetap berkewajiban melaksanakan shalat pada waktunya dan melakukan semua gerakan shalat semampunya. Jika dia merasa keberatan melakukan semua shalat tepat waktu, maka ia boleh menjamak antara dzuhur dan ashar, maghrib dan isya. Tetapi ia tidak boleh menjamak shalat subuh dengan shalat sebelumnya (isya) atau sesudahnya (dzuhur).[11]
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menjamak shalat bagi orang sakit. Imam Malik mengatakan jika orang yang sakit tersebut khawatir akan jatuh pingsan, maka ia boleh menjamak shalat dzuhur dan ashar saat matahari tergelincir (masuk waktu dzuhur) serta menjamak shalat maghrib dan isya ketika matahari terbenam. Tetapi jika jamak shalatnya sekedar untuk meringankannya lantaran dahsyatnya sakit yang ia rasakan, maka hendaknya ia menjamak shalat dzuhur dan ashar di tengah-tengah waktu dzuhur dan demikian untuk shalat maghrib dan isya’, jamak dilakukan ketika mega merah telah menghilang. Karena menurut beliau orang sakit lebih utama untuk menjamak shalat dibandingkan musafir dan selainnya, melihat tingkat kesulitannya.) Akan tetapi jika si sakit menjamak shalat padahal ia tidak terdesak untuk menjamaknya, maka ia harus mengulangi shalatnya selama belum keluar dari waktu shalat tersebut.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tata cara orang sakit menjamak shalat sama sebagaimana musafir, yaitu dengan mengakhirkan shalat dzuhur di akhir waktu dan shalat melaksanakan shalat ashar di awal waktu.[12] Model jamak shalat seperti ini sering disebut dengan jamak shuri.[13] Karena sebagaimana yang telah kami sebutkan, Madzhab Hanafi membatasi bolehnya menjamak shalat hanya ketika haji.
Adapun dalam kitab al-Umm karya Imam Syafi’i, beliau menjelaskan bahwa tidak boleh bagi orang yang berudzur untuk menjamak dua shalat di waktu awal keduanya, kecuali ketika turun hujan.[14]
Menurut al-Hajawi, orang yang sakit boleh menjamak shalat apabila ia merasa kesulitan jika tidak menjamaknya, seperti merasa lelah atau lemah. Apapun jenis penyakitnya. Baik itu sakit kepala, punggung, perut, kulit, ataupun sakit pada anggota tubuh lainnya.[15] Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
يرِيدُ اللهُ بكمُ اليسرَ وَلاَ يرِيدُ بكمُ العسرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 185)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menampilkan hadits Rasulullah Saw., “Permudahlah oleh kalian dan jangan mempersulit, buatlah hati mereka tenang dan jangan menakut-nakuti.”[16]
 Atha berkata: “Orang yang sakit boleh menjamak shalat maghrib dan isya. Atsar[17] dari Atha tersebut bersambung dengan Abdurrazzaq yang beliau tulis di mushnafnya dari Ibnu Jarih.[18]

F.     Penutup
Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bolehnya orang sakit untuk menjamak shalat jika dia memang merasa kesulitan untuk melaksanakan shalat pada waktunya. Namun jika sakitnya ringan, seperti sariawan, bibir pecah-pecah, atau hanya pusing ringan, ia pun masih mampu menunaikan shalat tepat waktu, maka ia tidak boleh menjamak shalatnya.
Adapun hukum menjamak shalat bagi orang sakit diperselisihkan oleh para ulama. Imam Ahmad membolehkan secara mutlak dan sebagian penganut Madzhab Syafi’i juga memilih pendapat tersebut. Imam Malik membolehkan dengan syarat, sedangkan pendapat yang masyhur dari Imam syafi’i dan murid-muridnya adalah adalah melarang hal tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Adhim
Abdil Barr, Ibnu. At-Tamhid. Kairo: Al-Faruq al-Haditsah. 2008.
Ali al-Musyaiqih, Khalid bin. An-Nawazil fi al-Ibadat. (ttp.: t.p., t.t.)
Atsqalani, al-, Ibnu Hajar. Fath al-Bari. Kairo: Darul hadits. 2004.
Hajawi, al-, Musa Salim. Asy-Syarh al-Mumti’ Ala Zaad al-Mustaqni’. Kairo: Jannatul Afkar. 2008.
Ibrahim bin, Muhammad, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Riyadh: Adhwa as-Salaf. Cet: Ke-2. 2007.
Kamal, Abu Malik. Fiqh Sunnah Li an-Nisa. Kairo: Maktabah Taufiqiyah. 2008.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Nawawi, an-, Imam. Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi. Kairo: Darul Hadits. Cet: ke-4. 2001.
Syafi’i, asy-, Imam. Al-Umm. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.  Cet: ke-2. 2009.
Syaukani, asy-, Imam. Nailul Authar. Kairo: Darul Hadits. 2005.
Utsaimin, al-, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Kairo: Dar Ibnu Haitsam. Cet: ke-1. 2002.
Zuhaili, az-, Wahbah. Al-wajiz Fi al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Darul Hadits. 2005.
Kamus al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Ahmad Warson Munawwir. Cet. ke-14, Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.


[1] Abu Malik Kamal, Fiqh as-Sunnah li an-Nisa, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah, 2008), hal. 86.
[2] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 208.
[3] Hadits muttafaq ‘alaih.
[4] Khalid bin Ali al-Musyaiqih, an-Nawazil Fi al-Ibadat, hal. 60.
[5] Imam an-Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits, 2001), cet. ke-4, jilid 3, hal. 236.
[6] Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Darul Hadits, 2005) jilid 3, hal. 229.
[7] Al-Utsaimin, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. (Kairo: Dar Ibnu Haitsam, 2002), cet. ke-1, hal. 124.
[8] Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz Fi al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul hadits, 2005), jilid 1, hal. 270.
[9] Ibid, hal. 271
[10] Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah.. , hal.186.
[11] Syaikh Muhamad bin Ibrahim, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, (Riyadh: Adhwa as-Salaf, 2007) cet. Ke-2, jilid 1, hal. 424.
[12] Ibnu Abdil Barr, at-Tamhid, (Kairo: al-Faruq al-Haditsah, 2008), cet. ke-4, jilid 4, hal. 357.
[13] Mengakhiran shalat yang pertama, dan mengawalkan shalat yang kedua
[14] Imam asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), cet. ke-2, jilid 1, hal.  164.
[15] Musa Salim al-Hajawi, asy-Syarh al-Mumti’ Ala Zaad al-Mustaqni’. (Kairo: Jannatul Afkar, 2008), jilid 2, hal. 198
[16] Lihat tafsir Ibnu Katsir, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), hal. 298.
[17] Atsar adalah segala yang datang selain dari Nabi Saw., yaitu dari shahabat, tabi’in, atau generasi setelah mereka
[18] Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari, (Kairo: Darul Hadits, 2004), jilid 2, hal. 49.