Pages

About

Rabu, 19 Februari 2014

KarenaNya, Kita Lost Contact


Faiz bimbang. Ia yakin apa yang akan dilakukannya benar. Dilihatnya lagi sms itu. Baru hari ini ia berkomunikasi kembali dengan Fiza. Hari yang memang dirindukannya, tapi ia merasa harus mengambil tindakan secepat mungkin. Ia takut Fiza marah membaca isi sms yang akan ia kirim.

Faiz: za, aku mau bilang sesuatu, tapi jangan marah ya..
Fiza: hmm.. bilang aja, tapi nggak janji ya..
Melihat jawabannya, Faiz membaca ulang sms yang akan dia kirim. Setelah benar benar yakin, ia tekan tombol send.

        Bismillah..
Aku bingung dengan semua ini, apakah yg kita lakukan ini benar? Ya, walaupun kita jarang2 komunikasi, tapi entah kenapa selalu saja ada yang mengganjal dihati. Aku ingin dengar pendapatmu, bagaimana kalau kita lost contact dan memberi kabar nanti ketika kita mau menikah. Atau mungkin nanti jika kamu sudah selesai sekolah dan perasaanku ke kamu masih sama seperti ini, insyaALLOH aku akan memberi tahumu dan melanjutkan ke jenjang yg lebih serius. Tapi sekarang aku tak mau berjanji. Aku tak mau memberi harapan2 kosong. Dan jika nanti kamu istikhoroh ada namaku disana, tolong kamu beritahu aku. InsyaALLOH aku akan datang pada orang tuamu.
Aku tak tau, tapi aku percaya kalo kamu adalah orang yang bijak dalam mengambil keputusan. Dan juga aku berpikir, bagaimana mungkin kita menikah jika sebelum menikah saja kita sudah melanggar aturan2 Alloh? Apa jadinya pernikahan kita nanti? Aku tau, kamu pun berpikir seperti itu.
Aku tau ini akan terasa berat, tapi bukankah kamu juga tahu tentang kisah cinta shahabat Ali dengan putri Rasul Fatimah Az Zahra? Yang mana mereka mampu menjaga perasaan mereka. Suatu contoh yang hebat. Bukankah tak salah jika kita mau memperbaiki diri dan mencontoh mereka? Agar kita pun bisa menjadi teladan yang baik untuk anak anak kita kelak. Jika (semoga) Alloh mengizinkan kita untuk membina keluarga bersama.
Amiin..
        Meskipun LC ini berat, yakinlah kita mampu melakukannya. Kita harus bisa membedakan mana yang patut ditangisi dan mana yang tidak. Semoga dengan ini kita bisa lebih menjaga diri dari perbuatan yang sia sia.
Za… yakinlah, jika Alloh memang berkehendak menyatukan kita dalam ikatan yang halal, pasti Dia sudah memiliki scenario yang hebat. Kita hanya perlu berkhusnudzon, karena Alloh mengambil tindakan sesuai prasangka hambaNya.

Fiza tersenyum membaca smsnya. Faiz benar, sedari dulupun Fiza telah memikirkan hubungan mereka yang rasanya mendatangkan madhorot. Ia tahu apa yang mereka lakukan salah. Mereka memang tak berpacaran resmi, tak juga seperti kebanyakan orang. Bertemu pun tak pernah walau hanya sekali. Hanya saja mereka tak mampu membohongi perasaan masing masing .  Jika diibaratkan orang yang berpuasa, mereka belum boleh makan sampai adzan maghrib berkumandang. Tapi mereka sudah mencicipi apa yang belum boleh sebelum sahnya akad pernikahan. Mereka seperti orang yang mencicipi makanan sebelum waktu berbuka. Selama ini Fiza belum pernah meminta LC karena ia takut tak mampu. Dan sekarang Faiz yang memintanya. Tentu Fiza setuju, ia juga tak mau berlarut larut dalam kealpaan itu. Segera ia balas sms Faiz.
“aku ga marah, sungguh J, lalu, kapan dimulai LC kita?

        Ketika menunggu sms balasan darinya, Fiza malah teringat salah satu gombalan Faiz. Biasa, Faiz memang suka bercanda.
Faiz: za, kamu tuh mirip belut ya..
Fiza: enak aja!
Faiz: ya iyalah.. coz klo belum didapet nangkepnya susah banget, klopun dah ketangkep juga harus dijaga hati-hati, biar ga lepas lagi..
Fiza: Halah, gombal..!!!
Faiz: Haha, beneran.. Wkwk

Bip. Hp Fiza berbunyi, tanda ada sms masuk. Ia yakin itu dari Faiz. Langsung saja sms itu dibuka olehnya.

“Hati kecilku berbisik, kalau kita harus mulai dari sekarang. karena untuk memulai suatu kebaikan, sebaiknya kita tak menunda-nunda. Maafkan semua khilafku za. Semoga LC kita ini benar benar karenaNya”

oo.. ok, aku juga minta maaf atas semua salahku..
**
Belum ada sebulan, tapi Faiz sudah merasa disiksa rindu. Sama halnya dengan Fiza, hanya saja mereka tak saling tahu. Yang mereka tahu, selama mereka masih berpijak di bumi ini, berarti mereka masih berada di bawah langit yang sama. 

Faiz menatap langit, malam itu banyak sekali bintang berkerlip. Mulai saat itu ia bertekad, untuk tak terus menerus memikirkan Fiza. Meski berharap untuk bisa menikah dengannya bukan suatu kesalahan. Ia yakin, jika jodoh tak akan kemana. Segigih apapun ia mengejar, andai ia bukan untuknya, tentu takkan pernah ia dapat. Begitupun sebaliknya, apapun yang ditakdirkan menjadi miliknya, pasti akan tetap menjadi miliknya. “Jodoh itu sudah diatur Alloh,” begitu ia mantapkan hatinya. Faiz tak tahu, disana, di bawah langit yang sama, Fiza juga sedang memandang bintang-bintang, dan ia memikirkan apa yang Faiz pikirkan. Ia yakin, jika Faiz memang untuknya, ia akan datang menikahinya, suatu saat..

 

_Haibara Ai_


Minggu, 16 Februari 2014

Agar Alloh Menutupi Aib Kita







Setiap kita tentu memiliki aib. Aib yang kita tak menginginkannya jika orang lain tahu. Entah itu kekurangan fisik, kebiasaan buruk, dosa, atau suatu fitroh yang kita malu jika diketahui orang. Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Dalam Islam, seorang muslim dilarang menyebarkan aib saudaranya. Ini bukti bahwa Islam sangat menjaga perasaan dan kehormatan seseorang. Allah cinta untuk menutupi aib makhluk-Nya, dan memerintahkannya (menutupi aib orang lain), oleh karena itu Allah mengharamkan tindakan mata-mata dan melarangnya.
Menyebarkan aib sesama muslim hukumnya haram. Sebagaimana sabda Rosululloh:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَامُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرْضُهُ
“seorang muslim atas muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Aib saudara kita wajib kita jaga, bukan malah menyebarkannya dan menjadikan bahan untuk ghibah. Ghibah sendiri diibaratkan memakan bangkai manusia. Jijik bukan? . Mendengarkan ghibah sama hukumnya dengan melakukannya. Sudah seyogyanya kita menghindari majlis ghibah. Dan sebisa mungkin kita hentikan atau megingatkan mereka.

Alloh  akan menutupi aib orang yang menutupi aib saudaranya

Kita tentu ingin Alloh menjaga aib kita, di dunia maupun di akhirat. Lalu, bagaimana caranya? Mudah, kita hanya diminta untuk tidak menyebarkan aib saudara kita. Semua muslim ibarat satu tubuh, jika kita sakiti saudara kita, sama saja seperti menyakiti diri sendiri. Ketika kita menyebutkan aib orang lain, sama saja kita menyebut aib sendiri.
Rasulullah bersabda : "tidaklah seorang hamba menutupi aurat (kekurangan/aib) orang lain di dunia kecuali Allah menutupi auratnya di akhirat." HR. Muslim.
Namun masih sering kita lalai akan hal ini, yaitu bermain-main dengan aib. Kita lupa disaat kita membuka aib orang lain, maka suatu saat Alloh akan membuka aib kita, setelah Alloh menjaganya, tanpa mampu kita menolaknya.
Perlu diketahui, balasan orang yang membuka aib saudaranya, maka Alloh akan membuka aibnya. Tentu kita tidak ingin aib kita diketahui orang. Balasan Alloh bagi orang yang menyebarkan aib saudaranya telah dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad. “Hai semua orang-orang yang beriman dengan lisannya, dan iman tidak masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan jangan membuka aurat mereka, karena barangsiapa yang membuka aurat saudara muslimnya, maka Alloh membuka auratnya dan menjelek-jelekkannya kendati ia berada di tengah rumahnya.”
Fudhail bin Iyadh berkata, “Seorang mukmin ialah yang menutupi aib saudaranya kemudian ia memberikan nasihat padanya, adapun orang yang durhaka ialah yang membongkar aib saudaranya kemudian ia mencelanya.”

Kisah teladan dalam menjaga aib orang lain

Kisah ini adalah kisah suri tauladan kita, Nabi Muhammad. Suatu hari para sahabat sedang berkumpul di masjid. Lalu terciumlah bau kentut diantara mereka, sehingga membuat para sahabat tidak tahan dengan bau tersebut, salah seorang dari mereka berdiri dan berkata, “ barangsiapa yang kentut, silakan bangun”.
Hening, tak seorang pun berdiri.
Ketika datang waktu isya mereka berkata, “orang yang kentut pasti akan berwudhu setelah ini. Orang itulah yang kentut”.
Setelah itu, para sahabat menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang keluar. Masih seperti tadi, tak seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Mungkin beliau malu. Namun, sholat tanpa wudhu tentu tidak sah. Lalu Bilal bangun untuk mengumandangkan adzan. Tapi Nabi Muhammad berkata: “tunggu dulu, aku belum batal, tapi aku hendak berwudhu lagi. Lalu para sahabat pun ikut berwudhu dan tidak diketahui siapa yang kentut waktu itu.
Subhanalloh. Sungguh, dalam diri Rosululloh terdapat teladan yang baik bagi kita semua. Kisah tentang menjaga perasaan saudara seiman pun juga terjadi pada seorang ulama, yaitu Syaikh Abdurrohman Hatim bin Alwan. Beliau merupakan salah satu ulama besar di Khurasan pada zamannya. Dikenal dengan Hatim Al Ashom, yang artinya Hatim si tuli.
Suatu ketika ada seorang wanita yang datang menemui beliau. Namun, tanpa sengaja ia kentut dengan suara yang cukup keras. Wanita itu salah tingkah, menahan malu. Lalu syaikh ini pura-pura tuli, dan meminta si wanita mengulangi pertanyaannya. Dengan sikap sang syaikh, ia pun merasa sedikit lega. Ia mengira sang syaikh benar-benar tuli. Lalu mereka berbicara dengan saling meninggikan suara.
Wanita itu hidup selama lima belas tahun setelah kejadian tersebut. Selama itu pula Syaikh Hatim pura-pura tuli. Hingga wanita itu meninggal, ia tak pernah tahu kepura-puraan beliau.
Dua kisah di atas menceritakan bagaimana seharusnya seorang muslim untuk menjaga kehormatan saudaranya. Bukan malah menertawakannya atau menyebarkan aibnya seperti yang sering kita temui.

Boleh menyebutkan aib orang dalam hal-hal tertentu

Hukum asli membuka aib seseorang adalah haram. Namun dalam beberapa keadaan hal itu diperbolehkan. Berikut ini adalah hal-hal yang membolehkan kita untuk menyebut aib seseorang.
1.     Ketika didholimi, kita diperbolehkan mengadukan kedholimannya kepada hakim atau penguasa. Dengan mengatakan, “dia mendholimiku”.
2.     Merupakan sarana untuk menghentikan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat pada kebenaran. Seperti ucapan “fulan berbuat seperti ini, maka cegahlah”.
3.     Meminta fatwa kepada mufti: “sesungguhnya aku telah didholimi oleh ayahku/ saudaraku/ suamiku, maka bagaimana hal tersebut?”, seperti perkataan Hindun ketika mengadu kepada Rosul : “sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang kikir”.
4.     Menghindarkan kaum muslimin dari kejelekan. Seperti mengkhabarkan tentang kekurangan perowi, saksi, atau pengarang.
5.     Orang tersebut terang-terangan dengan kefasikan atau bid’ahnya.
6.     Untuk mengetahui seseorang sesuai dengan julukannya. Seperti si pincang, si pendek , si buta, dll. Meski tidak memanggil dengan julukan tersebut lebih baik.
Ini merupakan alasan syar’i  yang membolehkan kita menyebut aib seseorang.

Intropeksi diri sendiri

Sesuatu  yang paling mudah terlihat dari seseorang adalah aibnya. Sebagaimana pepatah “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak”.
Kadang kita terlalu sibuk dengan aib orang lain, hingga lupa akan aib sendiri. Ketika sedang membicarakan aib orang lain, kita mersa menjadi sosok yang sempurna. Padahal aib yang kita miliki pun tak kalah banyaknya. Dan kita bersyukur jika masih memiliki rasa malu untuk menjaga aib tersebut. Adapun kekurangan fisik tak perlu terlalu dirisaukan.
اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ  وَ لاَ اَجْسَادِكُمْ وَ لَكِنَّ اللهَ يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ اَعْمَالِكمْ
“Sesungguhnya Alloh tidak menilai bentuk dan badan kamu, tetapi Dia menilai hati dan perbuatan kamu.”( HR. Muslim )
Namun bila memang ada kemampuan untuk menutupi atau menghilangkannya, maka tak mengapa asalkan hal itu tak bertentangan dengan syariat.
            Adapun dengan maksiat dan dosa yang kita lakukan, sebisa mungkin tak ada orang lain yang tahu. Setiap orang pasti pernah salah. Dan kita dianjurkan untuk tidak membuka aib kita sendiri. Sebagaimana sabda Rosululloh: “Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu –padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR. Bukhori Muslim)
 Orang yang beruntung adalah dia yang bisa menyibukkan dirinya dengan aib-aibnya serta berusaha memperbaikinya, sehingga ia tak sempat menyebut-nyebut aib orang lain. Disebutkan dalam sebuah atsar, “Keberuntungan bagi orang yang sibuk akan aib-aibnya sendiri daripada aib-aib orang lain.”
Oleh karena itu, mari kita sibukkan diri dengan mengintropeksi diri sendiri, daripada sibuk-sibuk memikirkan dan menyebarkan aib orang lain. Wallohu a’lam.


Referensi:
·         Berdosa karena lidah.2008. Syaikh Nada Abu Ahmad
·         Minhajul muslim. Abu Bakar Jabir Al jazairy
·         Shohih muslim. Imam An nawawy
·         Addriadi.com
·         Amizzat.blogspot.com