Pages

About

Selasa, 01 September 2015

Syarat dan Ketentuan Susuan Yang Menjadikan Mahram Menurut Madzhab Hanbali

A.    Pendahuluan
Masyarakat Arab dahulu terbiasa mencari ibu susu bagi anak-anak mereka. Wanita-wanita baduilah yang banyak menggeluti profesi sebagai ibu susu. Mereka menyerahkan penyusuan anak kepada wanita badui dikarenakan mereka meyakini udara dan lingkungan daerah perkampungan lebih baik bagi partumbuhan anak. Maka tidaklah mengherankan jika banyak shahabat yang menjadi saudara lewat jalur susuan.
Pasalnya, radha’ah menjadi hal yang urgen untuk diperhatikan karena banyak hukum yang berkaitan dengannya. Hukum-hukum yang berkaitan dengan radha’ah seperti haramnya menikahi saudara sesusu, boleh melihat dan berkhalwat dengannya, bisa menjadi mahram dalam safarnya, Tapi ia tidak bertanggung jawab akan nafkahnya, tidak bisa saling mewarisi, juga tidak bisa menjadi wali nikahnya.
Terlebih hari ini banyak terdapat bank-bank asi yang menyimpan ASI dari  banyak wanita. Tak dapat dipungkiri pula, semua bayi sangatlah membutuhka ASI sebagai makanan terbaik bagi mereka. Semua ahli kesehatan sepakat akan hal ini. Pun Allah telah memerintahkan para ibu untuk menyusui bayinya sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233 yang artinya “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Oleh karenanya, penulis hendak membahas syarat dan ketentuan penyusuan yang bisa menjadi sesab terjalinnya hubungan mahram, khususnya menurut madzhab Hanbali. Karena penyusuan tidak bias menjadi sebab mahram apabila tidak memenuhi syarat dan ketentuannya.

B.     Definisi
1.      Radha’ah
Secara etimologi penyusuan atau ar-Radha’ (الرضاع) berarti mengisap (menyusu/ menetek) air susu dari payudara atau meminumnya.[1] Dan menurut syar’i adalah bayi yang menetek air susu dari payudara seorang wanita yang berumur kurang dari dua tahun karena sebab hamil atau lainnya.
2.      Mahram
Secara etimologi kata mahram merupakan ism maf’ul dari harama yang artinya “yang diharamkan.” Yang dimaksud dengan diharamkan adalah yang haram dinikahi. Dalam kitab al-Mufashal mahram dibagi menjadi dua:
·         Mahram Selama-lamanya (Muabbadan)
Yang dimaksud dengan mahram muabbadan dari kalangan wanita adalah para wanita yang tidak dihalalkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi mereka selama-lamanya karena sebuah sebab hubungan yang menyebabkan mereka menjadi mahram yang mana hubungan tersebut tidak dapat dihilangkan.[2] Seperti haramnya menikahi ibu oleh anaknya. Dan selainnya, mereka tidak boleh menikah selama-lamanya. Mahram ini terbagi kepada beberapa bagian :
Mahram kekerabatan – mahram besanan – mahram persusuan – mahram karena li’an.
·         Mahram Sementara (Muaqqatan)
Mahram yang sifatnya sementara bukan selamanya, mereka adalah para wanita yang haram dinikahi karena adanya sebuah sifat tertentu atau keadaan khusus yang berhubungan dengan mereka yang mengakibatkan mahram sementara yang menghalangi untuk menikahi mereka. Yang mana ketika faktor-faktor atau sifat tersebut telah hilang maka keharaman menikahi mereka gugur, sehingga diperbolehkan untuk menikahi mereka ketika penghalang itu telah hilang.[3] Seperti haramnya mengumpulkan dua saudara, menikahi lebih dari 4 wanita, wanita yang di thalak ba’in hingga dinikahi oleh suami yang lain, menikahi wanita pezina, dan merdeka menikahi budak.
C.     Mahram sebab Radha’ah
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa salah satu bentuk mahram muabbad adalah mahram sebab persusuan. Hal ini berdasarkan firman Allah tentang wanita-wanita yang haram dinikahi pada surat an-Nisa  ayat 23 yang artinya “ dan ibu-ibu kalian yang telah menyusui kalian, dan saudara perempuan susuan kalian” juga sabda Rasulullah Saw., “Hubungan sepersusun mengharamkan (wanita untuk dinikahi) seperti haram menikaihnya karena sebab nasab.”
Ketika seseorang anak susuan dari wanita yang bukan ibu kandungnya, maka ia haram menikahi ibu susuannya, saudara perempuan sesusuannya, bibi sesusuan, anak perempuan dari saudara laki-laki sesusuan dan anak perempuan dari saudara perempuan sesusuan.

D.    Syarat dan Ketentuan Radha’ah Menurut Hanabilah
Tidak semua penyusuan bias menjadikan sebab terjalinnya hubungan mahram. Terdapat dua syarat radha’ah bisa menjadi sebab terjadinya hubungan mahram.
1)      Penyusuan terjadi dalam dua tahun pertama
2)      Jumlah susuan harus mencapai 5kali[4]
.Dalam al-Mughni, Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa Abu al-Qosim rahimahullah berkata: “ Radha’ah yang tidak diragukan lagi sebab kemahramannya adalah harus dengan 5 kali susuan atau lebih.” Terdapat 2 poin dalam permasalahan ini:
1.      Radha’ah yang menjadikan sebab mahram harus 5 kali susuan atau lebih. Ini adalah pendapat yang shahih dalam Madzhab Hanbali. Pendapat ini didasarkan pada riwayat yang berasal Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, Atha’, dan Thawus. Ada pula riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa sedikit ataupun banyaknya radha’ah tetap bisa menjadi sebab hubungan mahram. Ini berdasarkan riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, juga Said bin Musayyib, al-Hasan, Makhul, az-Zuhri, Qatadah, al-Hakam, Hammad, Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits, dan ashab ar-Ra’yi. Mereka berhujjah dengan ayat tentang mahram (Q.S. an-Nisa: 23) sedangkan riwayat ketiga adalah hubungan mahram tidak terjadi tanpa adanya tiga kali susuan. Itu pendapat Abu Tsaur, Abu Ubaid, Daud, Ibnu al-Mundzir. Hujjahnya adalah sabda Rasulullah: “Satu dan dua hisapan tidak menjadikan mahram.”  (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Adapun hujjah dari riwayat pertama yang merupakan pendapat yang benar (rajih) dalam Madzhab Hanbali adalah riwayat dari Aisyah, Beliau berkata: “Telah diturunkan dalam Al-Qur’an bahwa sepuluh kali penyusuan yang terketahui menjadikan mahram”, maka dihapus ketemntuan tersebut hingga menjadi lima kali penyusuan. Dan sampai Rasulullah wafat ketentuan itu tidak berubah.” (HR. Muslim) Berarti ayat yang berbicara tentang ini (QS. An- Nisa’: 23) telah ditafsirkan oleh as-Sunnah, sehingga diketahui kriteria radha’.ah yang menyebabkan hubungan mahram.[5]
2.       Penyusuan tersebut harus terjadi secara terpisah, hal ini dikembalikan kepada urf , jadi apabila seorang anak itu disusui kemudian anak tersebut melepaskan puting dengan kemauannya sendiri itu disebut satu hisapan. Dan jika anak tersebut kembali menyusu lagi maka dihitung sebagai hisapan baru.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa syarat radho’ah syar’i harus terjadi pada 2 tahun pertama usia anak. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abi Hurairah, dan para istri nabi kecuali Aisyah.[6] Namun dalam kitab al-Mumti’ fi Syarh al-Muqni’ disebutkan bahwa tidak mengapa jika radho’ah tersebut terjadi ketika anak berumur dua tahun lebih sedikit.[7] Pendapat ini bertentangan dengan Abu al-Khottob yang tertulis dalam kitab al-Inshof  bahwasannya walaupun penyusuan itu terjadi 2 tahun lebih satu jam itu tidak menjadikan hubungan mahrom.[8]
E.     Kesimpulan
Setelah mengkaji makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat dan ketentuan yang menjadikan mahrom menurut madzhab Hanbali yaitu 5 kali susuan atau lebih dan persusuan itu harus terjadi pada 2 tahun pertama umur anak. Ini menurut pendapat yang rojih dalam Madzhab Hanbali.
Referensi:
1.      Al-Mujalla fi al-fiqh al-Hanbali
2.      Al-Mufashol fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim
3.     Al-Mumti' Fie Syarh al-Muqni'
4.     Al-Inshof fi Ma’rifah Ar-Rojih Min Al-Khilaf ‘Ala Madzhab Al-Imam Al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal
5.     Al-Mughni
6.     Syarhul Mumti’
7.     Al-Mulakhos Al-Fiqhi


[1] Al-Mujalla fi al-fiqh al-Hanbali, 1/546
[2] Al-Mufashol fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, 6/199
[3] Ibid, 6/278
[4] Lihat al-Mumti' Fie Syarh al-Muqni' 5/358, al-Mulakhos Fiqhi 2/314, al-Mughni 6/402, Syarhul Mumti’ 5/557.
[5] Al-Mughni. 6/402
[6] Ibid, 6/407
[7] Al-Mumti’, 5/368
[8] Al-Inshof, 9/334

Created by: Ai, Hild, Ey_nh@, Nayra, Nett, Fah_ra, Moem, Alfy, Dien, Hann, Moet.

2 komentar:

  1. Assalamualaikum...klo nikah sama adik susuan bisa apa tidak?...kan yang jadi saudara susuan kakaknya..

    BalasHapus
  2. Tidak bisa, sejauh yg d maksud adalah adik kandungnya

    BalasHapus