Pages

About

Jumat, 09 Mei 2014

Bolehkah Orang Yang Baru Junub Menguburkan Jenazah Wanita?




Salah satu hak jenazah ialah dikuburkan. Entah ia muslim atau kafir, tua muda, kaya miskin, besar kecil, semuanya harus dikebumikan. Dalam Islam semua tata cara pengurusan jenazah ada tuntunannya. Dari cara memandikan, mengkafani, menshalatkan, hingga memasukannya ke liang lahat.
Sudah menjadi maklum, yang menguburkan jenazah pastilah lelaki. Itu dikarenakan mereka lebih kuat dan ditakutkan pula tersingkapnya aurat wanita apabila mereka mengubur jenazah. Juga tak ada riwayat yang menjelaskan wanita menguburkan jenazah, meski si mayat tersebut wanita. Dan praktik yang dilakukan sejak zaman Rasulullah pun seperti itu.
            Lalu, jika ada wanita meninggal, siapakah yang lebih berhak menguburkannya? Dan bolehkah orang yang sedang junub atau baru suci dari junub menguburkan jenazah wanita?

Orang yang paling berhak meletakkan jenazah wanita di dalam kubur
1.      Laki-laki yang menjadi mahramnya
Ini berdasarkan pengertian umum dari firman Allah,
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ الله
“Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah (mahram) satu sama lain lebih berhak dalam kitab Allah.” (Al-ahzab: 6). Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abza,
                                                                                                                        
عن عبدِ الرَّحمنِ بْنِ أَبْزَى : أَنَّ عمرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَبَّرَ عَلَى زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ أَرْبَعًا ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَى أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ يُدْخِلُ هَذِهِ قَبْرَهَا فَقُلْنَ : مَنْ كَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا فِى حَيَاتِهَا[1]                          

Abdurrahman bin Abza menyatakan, “Umar bin Khattab menshalatkan jenazah Zainab binti Jahsyi lalu meminta pertimbangan kepada para istri Nabi r lainnya untuk menentukan siapa yang memasukannya ke dalam kubur. Mereka menjawab, ‘Orang-orang yang biasa menemuinya secara langsung (mahram) semasa hidupnya.’”
2.      Suaminya
Suami lebih berhak menguburkan jenazah istrinya daripada lelaki asing.
3.      Diutamakan orang yang mengubur jenazah adalah yang tidak menggauli istrinya pada malam sebelumnya. Karena itu, lelaki asing (bukan mahram) lebih didahulukan untuk menguburkan jenazah daripada mahramnya atau suami yang telah berhubungan intim dengan istrinya pada malam sebelumnya.[2]

Penguburan Ummu Kultsum putri Rasulullah r
Dalil dari poin ketiga di atas, yaitu -mendahulukan orang yang tidak junub malam sebelumnya- adalah hadits Rasulullah ketika pemakaman salah satu putri beliau, Ummu Kultsum. Riwayat ini terdapat dalam beberapa kitab hadits dan tarikh.
Ummu kultsum mengalami sakit parah yang mengantarkannya kepada Sang pencipta. Beliau wafat pada bulan Sya’ban tahun 9 H. Rasulullah r memerintahkan Ummu Athiyyah memandikan jenazahnya tiga atau lima kali, atau lebih dari itu.[3]
Jasad Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha dibawa turun ke dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari.[4]
عنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ شَهِدْنا بنتَ رَسولِ اللهِ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ, وَرَسولُ اللهِ صلى اللهُ عليهِ وَسَلّمَ جالسٌ على القبرِ فرَأَيْتُ عينَيْهِ تَدْمَعَانِ, فَقَالَ: هَلْ فِيكُمْ مِنْ أَحَدٍ لَـمْ يُقَارِفْ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَنَا, قَالَ فَانْزِلْ فِي قَبْرِهَا فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا فَقَبَرَهَا
Dari Anas t, ia berkata: Kami menyaksikan pemakaman salah satu putri Rasulullah r, beliau duduk di sisi kubur putrinya, aku melihat kedua mata beliau berlinang air mata, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?”Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau: “Turunlah!” Lalu Abu Thalhah turun dan menguburkannya.[5]
Makna Lafadz “Yuqarifu”
Menurut Fulaih bin Sulaiman (salah satu perawi hadits di atas), makna lafadz “yuqarifu” adalah dosa.[6] Dikatakan juga makna lafadz tersebut ialah tidak berjimak malam itu, ini pendapat Ibnu Hazm. Beliau berkata: “Kita berlindung kepada Allah dari mengunggulkan Abu Thalhah atas Rasulullah karena ia tidak berbuat dosa malam itu.”
Ada pula pendapat, makna dhahir dari pemilihan Nabi r terhadap Abu Thalhah dikarenakan ia tidak berhubungan intim malam itu. Sebagian mereka menjelaskan sebabnya, karena pada saat itu ia aman dari godaan setan yang mungkin mengingatkannya pada apa yang terjadi semalam. Ibnu Habib menceritakan tentang rahasia pendahuluan Abu Thalhah atas Utsman. Utsman menggauli sebagian istrinya malam itu. Sehingga Nabi r melarangnya masuk ke makam istrinya secara lembut, tidak terang-terangan.[7]
Dan makna lafadz “yuqarifu” yang tepat adalah jimak. Tidak sebagaimana pendapat Fulaih yang mengartikan dosa. Karena dalam dialek Arab pun, lafadz tersebut berarti berjimak.[8]
Hukum Orang Yang Baru Junub Menguburkan Jenazah
Ibnu Hazm berpendapat tidak bolehnya orang yang baru junub untuk  menguburkan jenazah. Tertulis dalam kitabnya “Al Muhalla”, yang lebih berhak menurunkan jenazah wanita ke dalam kuburnya adalah orang yang tidak berjimak malam sebelumnya. Walaupun dia lelaki ajnabi (bukan mahramnya). Dengan atau tanpa kehadiran suami dan keluarganya.[9]
Namun pendapat di atas berbeda dengan Al-Umrani (salah satu ulama Syafiiyyah), dalam kitabnya yang telah ditahqiq oleh Dr. Mahmud Mathraji. Dalam kitab tersebut tertulis bahwa dalam menguburkan jenazah wanita, yang paling berhak adalah suaminya karena hanya ia yang dibolehkan melihat apa yang tak boleh dilihat orang lain. Jika tidak ada suami, maka ayahnya yang lebih berhak. Lalu kakek, anak, kemudian keponakannya. Namun jika mahramnya pun tidak ada, yang menguburkannya adalah budak miliknya. Karena ia mahram dengannya menurut banyak madzhab. Jika tidak ada juga, maka lelaki yang dikebiri yang ia tak lagi mempunyai syahwat atau sepupunya.[10]
Umrani tak melarang orang yang baru junub menguburkan jenazah. Ia tetap mengedepankan suami dari yang lainnya. Dan ini berbeda dengan tindakan Rasulullah saat pemakaman putrinya. Bahkan dalam kitabnya yang lain “Al furu’”, beliau menulis, “jika mereka semua tidak ada, maka mayyit diturunkan dengan tali. Jika repot, boleh bagi lelaki yang tsiqah untuk menguburkannya.[11]
Sedangkan pendapat Ibnu Hazm dikuatkan juga dengan hadits lain, yang diriwayatkan Ahmad,
عنْ أَنسٍ أَنَّ رُقيةَ لما ماتتْ قالَ رَسولُ اللهِ صلى اللهُ عليهِ وَسلمَ لا يدْخلُ القبرَ رَجلٌ قارَفَ أَهلهُ الليلةَ[12]
Dari Anas, bahwasanya ketika Ruqayyah meninggal, Rasulullah r bersabda: "Jangan memasuki liangnya seseorangpun yang telah 'menggauli' istrinya pada malam ini".
 
            Hadits ini dishahihkan Albani, meski Bukhari mengomentari: “Saya tidak tahu tentang ini, karena Ruqayyah wafat saat Rasulullah berada di Badar dan tidak menyaksikannya.[13]
 
Bolehnya Lelaki Ajnabi Menguburkan Jenazah Wanita
          Kasus pemakaman Ummu Kultsum menjadi dalil kebolehan lelaki ajnabi menguburkan jenazah wanita. Dan memang lelaki lebih mumpuni dalam perkara ini.
          Asy-Syanqity menulis dalam kitabnya “Syarh Zadil Mustaqni’”, bahwasanya yang lebih berhak memasukkan jenazah wanita adalah kerabatnya. Karena hal itu lebih jauh dari fitnah serta lebih aman baginya. Namun jika ada lelaki ajnabi yang hendak menguburkannya, dan ia yakin tidak menimbulkan fitnah, maka tak mengapa. Karena ketika Nabi r ketika menguburkan salah seorang putrinya, beliau bertanya, “Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Lalu Rasulullah memerintahkannya untuk turun. Dia termasuk lelaki ajnabi. Saat itu ada Utsman t sebagai suaminya dan Rasul tidak memerintahnya. Para ulama berpendapat berdasarkan hadits ini, bolehnya lelaki ajnabi menguburkan jenazah wanita. Terkhusus juga dalam keadaan dimana keluarga mayyit tidak dapat maksimal dalam pemakamannya.
            Contoh, seandainya seorang wanita memiliki anak laki-laki, ayah, atau saudara laki-laki yang mahram dengannya tetapi dia tidak mampu meletakkan mayat secara baik, serta ketika itu ada lelaki ajnabi yang lebih mampu dan kuat dalam hal itu, maka kami berpendapat tidak mengapa jika dia turun untuk meletakannya ke liang lahad.[14]
Karena tidak semua mahram yang ada mampu menguburkan jenazah dengan baik. Contoh yang lebih spesifik dari contoh di atas, jika ada seorang wanita memiliki suami yang kakinya telah diamputasi, buta, atau terlalu lemah. Tidak mungkin baginya untuk turun ke liang lahad. Dalam kondisi seperti itu tentu tak mengapa jika ada ajnabi yang menguburkannya. Dan Ibnu Hajar pun dalam Fathul Bari, mengklarifikasikan hadits Anas di atas dalam pembahasan siapa yang menguburkan jenazah wanita. Tidak dengan judul pembahasan orang yang baru junub menguburkan jenazah wanita.
Larangan Bagi Orang Junub
Hal-hal yang diharamkan bagi orang junub adalah:
1.      Shalat, beserta macamnya. Termasuk di dalamnya semua macam sujud seperti sujud tilawah dan sujud syukur. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Maidah:6, “dan jika kamu junub maka mandilah.”
2.      Thawaf di sekitar Ka’bah meskipun itu thawaf sunnah. Ini pendapat jumhur kecuali madzhab Hanafiyyah. Karena thawaf sama seperti shalat. Sebagaimana sabda Rasulallah r: “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat, maka jika kalian thawaf, sedikitlah berbicara.”
3.      Menyentuh mushaf dan membawanya. Allah Ta’ala berfirman, ”tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
4.      Membaca Al-Qur’an dengan lisannya. Walau hanya satu huruf atau tidak ada satu ayat, ini menurut Hanafiyyah.
5.      Berdiam diri di masjid. Berdasarkan hadits Ummu Salamah, ia meriwayatkan: Rasulullah r memasuki halaman masjid, dan menyeru dengan suara keras: “masjid tidak halal bagi orang haidh maupun junub.”[15]
Dan tidak ada dalil mengenai haramnya orang junub menguburkan jenazah. Meski jika kita mengambil pendapat haramnya orang yang baru junub menguburkan jenazah karena ditakutkan setan mengingatkannya pada yang terjadi malam itu, tentu orang yang sedang junub lebih dilarang.
Salah satu fatwa juga menyebutkan kebolehan orang yang junub untuk menguburkan jenazah. Saperti yang saya kutip dari www.islamweb.net, “tidak ada larangan bagi orang yang junub untuk menguburkan jenazah, baik jenazah tersebut laki-laki atau perempuan. Meskipun yang lebih utama, orang yang menguburkan jenazah itu dalam keadaan suci dari junub.”[16]
KESIMPULAN
            Berdasarkan pendapat dan dalil di atas, maka dapat disimpulkan hukum orang yang baru junub pada malam sebelum ia menguburkan jenazah wanita itu makruh. Juga tidak adanya dalil pengharaman orang yang sedang junub untuk menguburkan jenazah. Maka mendahulukan lelaki ajnabi yang tidak menggauli istri pada malam sebelumnya dari suami dan mahram dalam menguburkan jenazah wanita bersifat mustahabb (sunnah) dan lebih afdhal.
            Demikian juga diperbolehkan bagi lelaki ajnabi untuk menguburkan jenazah wanita. Karena mereka lebih kuat dan mampu dalam perkara tersebut. Apalagi jika wanita itu sudah tidak memilliki mahram yang hidup atau masih ada namun kondisi mahramnya tidak memungkinkan untuk turun menguburkan jenazahnya.
            Wallahu a’lam bis shawab.

Referensi:
1.      Al-qur’an Al-karim
2.      Al-asqalani, Ibnu Hajar. (2004). Fathul bari. Kairo: Darul hadits.
3.      Al-baihaqi. (2003). As-sunan Al-kubra. Cetakan ketiga. Libanon: Darul kutub ilmiyah.
4.      Al jamili, As sayyid. Nisa haular rasul. Maktabah at taufiqiyah.
5.      Al-umrani. (2009). Al bayan fi syarhil muhadzab. Libanon: Darul fikr.
6.      Az-zuhaili, Dr. Wahbah. (2005). Al wajiz fil fiqhi al islamy. Damaskus: Darul fikr.
7.      Bathal, Ibnu. (2003). Syarh shahih bukhari. Cetakan kedua. Riyadh: Maktabah arrusydi.
8.      Hanbal, Ahmad bin. (1999). Musnad Ahmad bin Hanbal. Cetakan kedua. Muassasah ar risalah.
9.      Hazm, Ibnu. (2003). Al muhalla bil atsar. Libanon: Dar al kutub al ilmiyah.
10.  Kamal, Abu Malik. (2010). Fiqih sunah untuk wanita. Diterjemahkan oleh: Asep Sobari, Lc. Cetakan keempat. Jakarta: Al i’thisom.
11.  Syarh zadil mustaqni’. Maktabah syamilah.
12.  Anonim. Hukum orang junub menguburkan jenazah, diakses dari http:/fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=46829, diakses pada 30 Maret.


[1] Al-baihaqi, As-sunan  al-kubra lilbaihaqi, jilid 4, cetakan ketiga, hal. 88.
[2] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih sunah untuk wanita, cetakan keempat, Jakarta: Al I’tshom, hal. 312.
[3] As Sayyid Al Jamily, Nisa haula ar rasul, hal. 158
[4] Ibid.
[5] HR. Bukhari, no 1342.
[6] Ibnu Hajar Al-asqalani, Fathul bari, jilid 3, 2004, (Kairo: Darul Hadits), hal. 239.
[7] Ibid., jilid 3, hal.181-182.
[8] Ibnu bathal, Syarh shahih bukhari, jilid 3, cetakan kedua, 2003, (Riyadh: Maktabah  Arrusydi), hal. 328.
[9] Ibnu Hazm, Al Muhalla, jilid 3, cetakan pertama,. 2003. (Libanon: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah), hal.369.
[10] Al Umrani, Al bayan fi syarhil muhadzab, cetakan pertama, jilid satu, 2009, (Libanon: Darul Fikr, hal. 567.
[11] Ibid.
[12] Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-imam Ahmad bin Hanbal. cetakan kedua. 1999. (Muassah Ar-risalah)
[13] Ibnu Hajar Al-asqalani, Op.Cit., hal. 181
[14] Disadur dari Syarh Zadil Mustaqni’, Maktabah Syamilah.
[15] Dr. Wahbah Az-zuhaily, Al-wajiz fil fiqh Al-islamy, cetakan pertama, 2005, (Damaskus: Darul Fikr) hal.
[16] Hukum orang junub menguburkan jenazah, diakses dari http:/fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=46829, pada 30 Maret 2014 pukul 06:55 WIB

_Haibara Ai_

0 komentar:

Posting Komentar