Pages

About

Rabu, 16 September 2015

Kisah Wanita Bermukena



Kali ini saya akan berbagi cerita bergenre horror. Bagi yang penakut, lebih baik ke kamar mandi sekarang daripada nanti terbayang. (haha, lebay!) Sebenarnya lebih kepada asumsi saya yang salah memahami cerita selama beberapa tahun. Dulu, ayah saya pernah bercerita kepada kami. Mungkin gambarannya seperti percakapan di bawah ini.

Ayah: “Dulu, di rumah pakde ada kamar yang nggak ditempatin. Nggak ada yang berani tidur disitu.
Saya: “Kenapa?” (jangan bayangin iklan biskuat ^^)
Ayah: Karena yang punya kamar udah meninggal. Perempuan, saudaranya budhe.
Saya: Oo… terus?
Ayah: Ayah kan orangnya nggak penakut, jadi ayah berani aja tidur disitu sendiri. Tapi, ayah pernah dilihatin perempuan yang ada difoto itu (yang udah meninggal)
Saya: Orangnya kayak apa?
Ayah: Ya cuma kaya orang mau shalat gitu, pake mukena, trus ngliatin ayah terus.
Saya: Ayah nggak takut?
Ayah: Ayah tutupan sambil baca ayat kursi + mu’awidzatain (al-Falaq & an-Nas)
Saya: Setannya pergi nggak?
Ayah: Iya, tapi agak lama, mungkin ada setengah jam.

            Hiii, saya bergidik ngeri waktu itu. Tapi kesalahan saya sampai kelas tiga SMA adalah menangkap cerita sesuai dhohirnya saja. Saya lumayan sering bercerita kepada teman-teman tentang wanita bermukena itu. Dalam pikiran saya, sosoknya tetap seperti orang yang hendak shalat. Tapi setelah saya analisis lagi (duile), saya baru sadar bahwa selama ini saya salah menginterpretasikan setan yang nampang di depan ayah saya. Saya baru ngeh kalo ternyata setan itu adalah POCONG. Iya kan? Kayak mau shalat, kayak pake mukena, tangannya sedekap. Saya tahu, ayah saya sepertinya sengaja tidak langsung megucap kata “pocong” karena tahu saya sangat penakut (dulu).

(Hadeh, daru dulu saya kemana aja ya? Polos banget atau gimana? Wk. ^^)

Jumat, 11 September 2015

Jumlah Hari Di Setiap Bulan



Mungkin kesan pertama teman-teman saat membaca judul di atas adalah “KUKER”. Saya merasa perlu membuat postingan ini karena “ulah” teman-teman saya. Sedikit bocoran, saya lahir pada tanggal 31 Agustus (tahun dirahasiakan, ^^). Tapi yang paling membuat saya heran, kaget, plus sedikit kesal ketika ada beberapa teman saya yang bertanya, “kamu lahir tanggal berapa?” saya jawab “31Agustus.” Lalu dia bilang “emang ada yah tanggal 31 Agustus?” (huaaaaa… terus, kalau nggak ada tanggal 31, saya lahir kapan dong???)
Teman teman saya benar benar nggak tahu kalau bulan Agustus memiliki 31 hari. Karena yang mereka tahu, Juli sudah 31, masa Agustus juga 31? Nggak mungkin. Saya masih ingat cara bu guru SD mengajari kami bagamana menghitung jumlah hari. Pertama, kepalkan tangan kalian. Nah, ruas jari jari itu kan seperti membentuk gundukan. Jadi, dari gundukan jari telunjuk dimulai bulan Januari, antara jari telunjuk dan jari tengah adalah bulan Februari (kita sebut saja dataran rendah, dan tadi yang terlihat seperti gundukan kita sebut bukit). Begitu seterusnya sampai di bukit jari kelingking yang berarti bulan Juli. Bulan Agustus dimulai dari gundukan jari telunjuk lagi.
Semua bukit berarti 31 hari, dan dataran rendah menandakan 30 hari (kecuali bulan Februari). So, nggak salah kan kalau Juli dan Agustus sama sama memiliki 31 hari? Sama halnya bulan Desember dan Januari. Rinciannya sebagai berikut:
Januari             : 31 hari
Februari           : 28 hari (kecuali pada tahun kabisat maka jumlahnya menjadi 29 hari, dan hal ini terjadi 4 tahun sekali)
Maret              : 31 hari
April                : 30 hari
Mei                  : 31 hari
Juni                 : 30 hari
Juli                  : 31 hari
Agustus           : 31 hari
September       : 30 hari
Oktober           : 31 hari
November       : 30 hari
Desember        : 31 hari
Ps: buat yang merasa tertabrak, maaf ya… ^^

Kamis, 10 September 2015

Kiamat di Hari Jum’at


Sabtu siang sepulang dari SD tetangga.

Saya dan beberapa teman diberi tugas oleh pihak sekolah untuk mengikuti les (?) membaca al-Qur’an bernada. Sampai sekarang pun saya masih tidak mengerti nama nada yang pernah saya pelajari itu. Selain karena waktu yang singkat, di tempat saya mengaji pun tidak diajari begituan. Bisa membaca al-Qur’an sesuai tajwid saja sudah cukup bagus. Yang cukup membuat saya miris adalah, sebagian besar teman saya belum bisa membaca al-Qur’an padahal sudah kelas enam SD.

Oiya, to the point. Siang itu, saya dan beberapa teman baru saja pulang dari kegiatan yang dilaksanakan di SD tetangga. Saya, Alvian, Dayat, dan Destri (ingetnya sih cuman itu) kembali ke sekolah bersama karena tas kita masih di kelas. Suasana sekolah sepi, semua siswa sudah pulang. Bangku di kelas pun sudah terkondisikan terbalik di atas meja oleh teman-teman yang piket. Tapi ada satu kertas yang menarik perhatian kami.
          
          Saya lupa isi lengkapnya (saat itu masih kecil & nggak dihafal juga, ^^) isinya adalah pemberitahuan kalau ada orang yang mimpi bertemu Rasulullah SAW dan diberitahu kalau kiamat bakal terjadi dalam waktu dekat. Disitu tertulis hari, tanggal, bulan, dan tahunnya, hanya saja yang masih membekas di memori saya cuma harinya. Hari Jum’at. Plus embel-embel “sebarkan ke dua puluh orang atau anda akan bla bla bla karena telah mengabaikan mimpi tersebut (intinya hal-hal buruk deh).
         
        Saya dan teman teman langsung membuat konferensi kecil-kecilan. “Gimana nih? Uangku habis.” “Uangku tinggal dua ratus.” Kami bergantian melaporkan perekonomian masing masing. “Tapi kita tetep harus nyebarin ini.”
           
          Setelah uang terkumpul, kami bergegas menuju kios fotocopy terdekat. “Copy buram 20 lembar bu,” ucap saya. “Katanya jum’at tanggal sekian bakal kiamat,” jelasku berapi-api. Si ibu pemilik fotocopy yang juga pemeluk Kristen itu hanya tersenyum. Tersenyum akan kekonyolan kami. (baru saya sadari saat sudah paham, haha)
             
         Kami segera menempelkan slebaran tersebut di tiang-tiang listrik. ^^. Saya lupa, kami menempelkan kertas kertas tersebut menggunakan lem atau nasi (eh?). Karena seingat saya, saat itu kami juga sempat sibuk mencari lem. Wk. Usai menyelesaikan misi, saya pulang ke rumah. Tak lupa saya ceritakan tentang slebaran kiamat itu pada ibu saya. “Slebaran begituan mah udah ada zaman ibu muda dulu, toh nggak terbukti. Kan yang tahu kapan kiamat Cuma Allah,” nasihat ibu. Saya hanya ber-ooo ria. Dalam hati saya menggumam “iya juga yah, kalo dulu pernah ada slebaran kayak gitu kok sampai sekarang belum kiamat-kiamat.”

Ps: Sampai tulisan ini dibuat pun isi slembaran itu tak terbukti. Yang tahu kapan datangnya kiamat hanyalah Allah. Meskipun tanda tanda kedekatannya (yang bersumber dari hadits) sudah kita rasakan, bukan berarti bisa seenaknya meramal kapan waktunya. Kita hanya perlu bertaubat dan senantiasa memperbaiki diri, semoga Allah melindungi kita dari fitnah akhir zaman. Wallahu a’lam.