Pages

About

Jumat, 20 Desember 2013

Mengenal Hadits Mu’allaq dan Mu’dhal




Dalam ilmu hadits, terdapat dua kelompok hadits yang dilihat dari cara penerimaannya, yaitu hadits yang diterima (maqbul) dan hadits yang tertolak (mardud). Para ulama telah membagi hadits-hadits yang mardud menjadi beberapa macam. Sebagian besar mereka beri nama khusus untuk hadits tersebut, dan sebagian lain dimasukkan ke dalam nama umum bagi hadits yang mardud, yaitu hadits dhaif. Penyebab tertolaknya suatu hadits beragam, tetapi umumnya semua itu kembali kepada dua sebab utama, yaitu:
1.      Sanadnya gugur
2.      Adanya cacat pada rawi
Dari penyebab pertama di atas, yaitu gugurnya rawi pada sanad, terbagi menjadi dua macam, gugur yang terlihat dhahir dan gugur yang samar tersembunyi. Kemudian gugur yang dhahir ini oleh sebagian  ulama hadits bagi menjadi empat istilah berdasarkan tempat gugurnya rawi, yaitu mu’allaq, mursal, mu’dhal, dan munqathi’. Dan yang akan dibahas disini adalah hadits mu’allaq dan mu’dhal.
A.   Hadits mu’allaq
1.      Definisi
Secara etimologi: isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad yang seperti ini disebut mu’allaq karena hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian bawahnya terputus, sehingga menjadi seperti sesuatu yang tergantung pada atap dan yang semacamnya.
Secara terminologi: hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik semuanya pada awal sanad secara berurutan.
Makna serupa juga dikemukakan oleh Dr. Mahmud at Thahhan dalam kitabnya “Taisir Musthalah al Hadits”, bahwasanya hadits mu’allaq adalah hadits yang pada bagian awal sanadnya dibuang, baik seorang rawi atau pun lebih secara berturut-turut.
2.      Bentuk hadits mu’allaq
Beberapa bentuk dari hadits mu’allaq, ialah apabila:
a.      Jika dihilangkan seluruh sanadnya, kemudian dikatakan –misalnya- : Rasulullah bersabda begini dan begini.
b.      Bentuk lainnya adalah jika dibuang seluruh sanadnya kecuali sahabat, atau kecuali sahabat dan tabi’in.
Misalnya, hadits Bukhari nomor 1:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan."
Jika kita menjadikan hadits riwayat Bukhari tentang niat di atas sebagai contoh, dapat disebut hadits mu’allaq, apabila yang dihilangkan dari sanadnya:
1.      Al-Humaidi saja
2.      Al-Humaidi dan Sufyan
3.      Semua sanadnya
4.      Semua sanadnya kecuali Umar, atau
5.      Semua sanadnya kecuali Umar dan Alqamah
Adapun jika yang dihilangkan adalah Al-Humaidi dan Yahya atau Muhammad, maka hadits tersebut tidak disebut hadits mu’allaq. Karena syarat suatu hadits disebut mu’allaq jika hilang awal sanadnya, dan apabila ada dua sanad atau lebih, maka syaratnya adalah berturut-turut dan harus dimulai dari awal sanad.
3.      Contoh hadits mu’allaq
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Tayammum:
قَالَ مُسْلِم وَرَوَى اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ عَنْ عُمَيْرٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ أَقْبَلْتُ أَنَا وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَسَارٍ مَوْلَى مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى أَبِي الْجَهْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الْأَنْصَارِيِّ فَقَالَ أَبُو الْجَهْمِ أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ.         
Muslim berkata, dan Al-Laits bin Sa’d meriwayatkan dari Ja’far bin Rabi’ah dari Abdurrahman bin Hurmuz dari Umair maula Ibnu Abbas bahwasanya dia mendengarnya berkata, aku dan Abdurrahman bin Yasar, maula Maimunah, istri Nabi r menghadap Rasulullah, hingga kami mampir pada abu Al-Jahm bin Al-Harits bin Ash-Shammah Al-Anshari. Maka Abu Al-Jahm berkata, “Rasulullah r datang dari arah sumur Jamal, lalu seorang laki-laki bertemu dengannya, dan ia ucapkan salam kepada beliau, tetapi Rasulullah r tidak menjawabnya hingga beliau sampai di dinding, lalu beliau usap wajahnya dan kedua tangannya, barulah beliau menjawab salam tersebut.”
Hadits tersebut disebut mu’allaq karena Muslim tidak sezaman dengan Al-Laits bin Sa’d. Al-Laits termasuk tabiut tabi’in dan wafat pada tahun 175 H. Sedangkan Muslim baru lahir pada tahun 202 H. Jadi, Muslim tidak mencantumkan perawi yang beliau mendengar hadits tersebut darinya.
4.      Hukum hadits mu’allaq
Hadits mu’allaq hukumnya tertolak (mardud), karena hilangnya salah satu syarat diterimanya suatu hadits, yaitu sanadnya harus bersambung. Sedangkan hadits mu’allaq itu adalah hadits yang dibuang (hilang) seorang rawi ataupun lebih dari sanadnya, sementara kita tidak mengetahui keadaan rawi yang dibuang tersebut.
5.      Hadits mu’allaq yang terdapat dalam shahihain
Dalam Shahih Bukhari terdapat banyak hadits mu’allaq, namun hanya terdapat pada judul dan mukaddimah bab saja. Tidak terdapat sama sekali hadits mu’allaq pada inti dan kandungan bab. Adapun Shahih Muslim, hanya terdapat satu hadits saja, yaitu pada bab tayammum.
Menurut pendapat lain, hadits muallaq yang terdapat dalam Shahih Bukhari jumlahnya 1341 hadits. Namun hadits tersebut juga diriwayatkan pada tempat lain dengan memakai sanad yang muttashil, hanya tinggal 160 hadits tidak didapatkan sanadnya yang muttashil dalam kitab itu. Dan di dalam kitab Shahih Muslim hanya terdapat 3 buah hadits mu’allaq, yaitu dalam Bab Tayammum, Kitab al-Hudud, dan Kitab al-Buyu’. Namun hadits-hadits itu diriwayatkankan dengan muttashil dalam 14 tempat.
6.      Hukum hadits mu’allaq dalam Shahihain
Hukum hadits mu’allaq, yaitu mardud, berlaku bagi hadits ini secara mutlak (umum). Namun jika dijumpai hadits mu’allaq di dalam kitab yang sudah dipastikan keshahihannya -seperti kitab Shahihain-, maka terdapat kekhususan hukum, yaitu sebagai berikut :
a.       Bila disebutkan dengan sighat (bentuk kalimat) jazm (pasti),  maka dihukumi shahih dari siapa yang disandarkan, seperti kata:
Dia telah berkata
قَالَ
Dia telah menyebutkan
ذَكَرَ
Dia telah menceritakan
حَكَى
b.      Adapun jika disebutkan dengan sighat tamridh (tidak pasti), maka tidak dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan. Akan tetapi ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Seperti kata:

Telah dikatakan
قِيْلَ
Telah disebutkan
ذُكِرَ
Telah diceritakan
حُكِيَ

B.   Hadits mu’dhal
Hadits mu’dhal merupakan laqab (julukan) untuk jenis khusus dari hadits munqathi’. Maka setiap hadits mu’dhal adalah munqathi’ dan tidak setiap hadits munqathi’ adalah hadits mu’dhal. Ada juga ulama yang menamakannya hadits mursal.
1.      Definisi
Secara etimologi: merupakan isim maf’ul dari kata a’dhalahu, yang berarti tempat yang memberatkan.
Secara terminologi: Hadits yang  sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut.
Syaikh Az-Zahidy juga berpendapat, bahwasanya mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang atau lebih di tempat manapun, dengan syarat berurutan dalam gugurnya rawi-rawi tersebut.
Ibnu Katsir berkata, “Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang rawi atau lebih dan termasuk di dalamnya hadits yang dimursalkan oleh tabiut tabi’in.”
2.      Gambaran hadits mu’dhal
Jika kita mengambil hadits Bukhari nomor 1 lagi sebagai contoh, (Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.) Maka hadits tersebut dinamakan mu’dhal, apabila yang hilang dari sanadnya:
a.       Al-Humaidi dan Sufyan (bisa disebut juga hadits mu’allaq)
b.      Sufyan dan Yahya
c.       Yahya dan Muhammad
d.      Muhammad dan Alqamah
e.       Alqamah dan Umar
f.       Jika lebih dari dua rawi, maka syaratnya harus berurutan

3.      Contoh hadits mu’dhal
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab “Ma’rifat Ulumil-Hadits” dengan sanadnya kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwasannya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata,”Rasulullah r bersabda :
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بالمعروف وَلا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا يُطِيقُ
”Seorang hamba sahaya mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya baik, dan tidak dibebani pekerjaan melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya”. Al-Hakim berkata, “Hadits ini mu’dhal dari Malik dalam Kitab Al-Muwaththa.
Hadits ini kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita selain dari Al-Muwaththa’, diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Letak kemu’dhalannya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berturutan
4.      Hukum hadits mu’dhal
Para ulama sepakat bahwasannya hadits mu’dhal adalah dhaif, lebih buruk statusnya daripada Mursal dan Munqathi’, karena sanadnya banyak yang terbuang.
5.      Hubungan antara hadits mu’allaq dan mu’dhal
Antara hadits Mu’dlal dan Mu’allaq terdapat aspek-aspek umum dan khusus.
a.       Mu’dhal dan Mu’allaq terkumpul dalam satu bentuk, yaitu jika pada permulaan sanadnya dibuang dua orang rawi secara berturut-turut. Saat itu menjadi mu’dhal dan mu’allaq secara bersamaan.
b.      Mu’dhal dan Mu’allaq saling membedakan diri dalam dua bentuk yaitu:
1.      Jika yang dibuang di tengah-tengah sanad itu dua orang rawi secara berurutan; maka dalam kondisi ini, haditsnya mu’dhal, bukan mu’allaq.
2.      Jika yang dibuang hanya seorang rawi pada permulaan sanad, maka dalam hal ini haditsnya mu’allaq, bukan mu’dhal.
Kesimpulannya, hadits mu’allaq adalah hadits yang sanadnya terputus dari awalnya, jikapun ada dua atau lebih maka syaratnya harus berturut-turut. Sedangkan hadits mu’dhal adalah hadits yang pada sanadnya gugur dua rawi secara berurutan di bagian manapun. Begitupun ketika yang gugur lebih dari dua, maka syaratnya tetap sama yaitu berurutan. Suatu hadits bisa dimasukkan ke dalam dua jenis hadits tersebut –mu’dhal dan mu’allaq- jika yang gugur adalah dua rawi dari awal sanad.
Wallahu  a'lam
Referensi:
Az-Zahidi, Syaikh. Al-Fushul fie Musthalah Hadits Ar-Rasul
Bukhari, Imam.Shahih Bukhari. Maktabah syamilah
Katsir, Ibnu.Al-Ba’its Al-hatsits. Maktabah syamilah
Mahmud, Thahan. 2009.Ilmu Praktis Hadits.Cetakan ke-3. Diterjemahkan oleh:  Abu Fuad. Pustaka Thriqul Izzah, Bogor.
Muslim, Imam.Shahih Muslim. Maktabah syamilah
Qatthan, Manna’. 2012.Pengantar Studi Ilmu Hadits.Cetakan ke-6. Diterjemahkan oleh: Mifdhol Abdurrahman, Lc. Pustaka al-Kautsar, Jakarta.
Shilah , Ibnu.muqaddimah Ibnu Shilah. Maktabah syamilah





                                                                                                                                      




Senin, 16 Desember 2013

Buah amal atau karma?





Sering kita kesal dengan sifat atau perlakuan buruk seseorang pada kita. Padahal, boleh jadi kita pernah berbuat seperti itu kepada orang lain, meski bukan pada orang itu. Timbal balik ini sering disebut “karma”. Yup, pernah merasakan kan?
Kalau menurut salah seorang guruku, apa yang disebut karma itu adalah buah amal. Apa yang kita tanam itu pula yang akan kita tuai. Maka jangan heran ketika kita dibohongi, dicaci, digunjing, ataupun yang lain. Sebaiknya kita cepat-cepat introspeksi diri sebelum terlalu larut dalam kemarahan dan menyalahkan orang tersebut. Mungkin itu buah amal kita yang Alloh berikan akibatnya di dunia ini. Itu bentuk teguran Alloh untuk kita. Terkadang kita berfikir, “rasanya aku tak pernah menyakitinya, tapi kenapa ia menyakitiku?” coba ingat-ingat, adakah orang lain yang pernah kita dhalimi selain dia?
Kalaupun kita tak pernah berbuat dholim pada siapapun, lalu kita didholimi, maka bersabarlah. Apalagi jika yang berbuat dholim itu saudara seiman kita. Ingat, semua orang punya sisi buruk. Tak beda dengan kita. Manusia itu tempat salah dan lupa. Hanya saja sudah seyogyanya kita berusaha untuk tidak mendholimi siapapun. Baik dengan ucapan maupun perbuatan. Apa yang kita inginkan, itu juga yang diinginkan orang lain. Dicintai, dihormati, disayang, dll. Jadi jangan berharap akan disayang jika kita tidak pernah menyayangi. Jangan pernah minta dihormati, jika kita tak mau menghormati orang lain.
Salah satu kalimat yang sering kita ucapkan, “dia mau enaknya sendiri”. Hmm.. kalau menurutku itu wajar, karna kita pun maunya yang enak dan mudah bukan? Hidup sebagai makhluk social, tentunya menuntut kita untuk senantiasa berlapang dada atas beberapa sifat orang lain yang menyebalkan. Dan tak lupa, kita meminta maaf kepada mereka yang telah kita dholimi. Selalu berusaha untuk memperbaiki diri dan tak berbuat dholim lagi. Sepakat? J

Apa yang tertulis di atas bukan hanya untuk kalian, kawan.
Tapi juga sebagai nasihat buatku, aku minta maaf atas semua kesalahanku.

-Haibara Ai-