Pages

About

Jumat, 22 Mei 2015

Hukum Meminum Pil Pencegah Haid Saat Haji


Oleh: Iffah Izzah A.
A.    Pendahuluan
Haji merupakan rukun kelima dalam Islam. Ketika seseorang mampu berhaji, baik secara materi dan fisik, maka ia harus bersegera menunaikan kewajibannya tersebut. Perintah haji pun umum bagi setiap muslim yang mampu. Sehingga tidaklah heran jika semua muslim dari pelbagai penjuru dunia berbondong-bondong ke Makkah setiap musim haji.
Tak kalah dengan negara lain, setiap tahun pun Indonesia selalu mengirimkan jamaah hajinya. Terlebih Indonesia merupakan Negara yang paling banyak penduduk muslimnya di Asia Tenggara. Banyaknya warga Indonesia yang hendak berhaji tentu merupakan hal yang baik. Namun ada kendala tersendiri bagi kaum hawa yang masih mengalami haid.
Salah satu rukun haji adalah thawaf. Sedangkan syarat thawaf sendiri adalah suci dari haid. Kesempatan berhaji yang jarang, disebabkan kondisi yang tidak memungkinkan, tentu membuat semua orang menginginkan hajinya sah. Haid menjadi problem bagi wanita saat haji. Dewasa kini banyak wanita yang meminum obat atau pil pencegah haid. Mereka ingin darah haid tidak keluar selama prosesi haji. Hal itu tentu agar mereka mampu melaksanakan semua rukun haji dengan sempurna.
Sebagian besar wanita juga merasa tidak memiliki banyak kesempatan untuk berhaji di lain waktu. Tidak adanya dana, mahram, ataupun jatah berhaji menghalangi mereka untuk kembali ke tanah suci.
Lalu, apakah boleh bagi seorang wanita mengkonsumsi obat pencegah haid? Disamping haid itu sendiri merupakan fitrah seorang wanita. Dalam makalah ini, penulis hendak membahas seputar haji dan hukum mencegah haid dengan meminum pil atau sejenisnya.

B.     Definisi Haji
Secara etimologi, haji berarti pergi menuju. Adapun secara terminologi, haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu. Atau, haji adalah berziarah ke tempat tertentu pada waktu tertentu guna melakukan amalan tertentu. Ziarah artinya pergi. Tempat tertentu adalah Ka’bah dan Arafah. Waktu tertentu adalah bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, serta sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Masing-masing amalan memiliki waktu khusus. Misalnya waktu thawaf (menurut jumhur) adalah sejak terbit fajar di hari kurban sampai akhir waktu manasik, waktu wukuf di Arafah adalah sejak condongnya matahari pada hari Arafah hingga terbitnya fajar pada Hari Kurban. Amalan tertentu artinya datang dalam keadaan berihram dengan niat berhaji ke tempat-tempat tertentu[1].
Haji merupakan kewajiban kewajiban bagi setiap muslim merdeka yang mampu melakukannya. Baik secara fisik ataupun finansial. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imran: 97)
Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW., berkhutbah dan bersabda: “Wahai sekalian manusia, sungguh telah diwajibkan atas kalian berhaji maka berhajilah kalian. Lalu ada seorang yang bertanya, “Apakah wajib setiap tahun wahai Rasulullah?” beliau lalu terdiam. Sampai ketika orang itu bertanya pada kali yang ketiga beliau menjawab, “Seandainya saya katakan ‘ya’ maka haji akan menjadi wajib setiap tahunnya dan kalian pasti tidak akan sanggup melakukannya.” (HR. Muslim)



C.    Rukun Haji
Ibadah haji memiliki rukun. Ketika salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi, maka ibadah hajinya pun menjadi tidak sah. Rukun-rukun haji adalah:
1)      Ihram
Ihram adalah niat haji dengan mengucapkan talbiyah. Hal ini merupakan rukun pertama dalam haji. Syaratnya dengan memakai sarung dan selendang, serta tidak memakai pakaian yang dijahit (bagi pria). Ihram ini dilakukan pada miqat[2]. Wanita yang berihram tidak boleh menutupi wajah dan juga tidak boleh memakai sarung tangan[3].
2)      Wukuf di Arafah
Inilah rukun yang terpenting. Batas sah wukuf di Arafah adalah berada di Padang Arafah walaupun hanya sesaat, dengan niat mengerjakan wukuf sebelum terbit fajar pada Hari Raya Kurban (10 Dzulhijjah). Apabila fajar telah terbit dan belum wukuf di Arafah, maka hajinya batal[4].
3)      Thawaf Ifadhah
Thawaf yang disyariatkan dalam haji ada tiga. Thawaf qudum, thawaf ifadhah, dan thawaf wada’. Thawaf qudum disunnahkan bagi orang yang melakukan haji ifrad dan qiran. Thawaf ifadhah merupakan rukun haji berdasarkan ijma’ ulama. Haji tidaklah sah tanpa thawaf ini. Allah Ta’ala berfirman:
...وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“… dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf di Baitul ‘Atiq (Ka’bah).” (Q.S. Al-Hajj: 29)
Adapun thawaf wada, hukumnya mandub menurut madzhab Maliki, dan wajib menurut madzhab lain, sehingga yang meninggalkannya wajib membayar dam (denda)[5]. Namun wanita yang haid atau nifas mendapat dispensasi untuk tidak mengerjakan thawaf ini.
4)      Sa’i
Sa’i adalah berjalan pulang pergi antara bukit Shafa dan Marwah dengan niat beribadah. Sa’i terdiri dari tujuh putaran, dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwah[6]. Perintah sa’i termaktub dalam firman Allah “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah bagian dari syi’ar Allah.” (Q.S. Al-Baqarah: 158)

D.    Thawaf Ifadhah Bagi Wanita Haid
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa thawaf ifadhah hukumnya wajib karena termasuk rukun haji. Thawaf ini menjadi penghalang tahallul jika belum dikerjakan. Begitu urgennya thawaf ifadhah hingga seorang yang berihram harus menahan dirinya di Makkah (jika tidak ada halangan) untuk melakukan thawaf tersebut. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Shafiah binti Huyay, isteri Nabi SAW., mengalami haidh pada haji Wada, maka Nabi SAW., berkata,  'Apakah dia akan menghalangi kita (pulang ke Madinah)?' maka aku katakan, 'Dia sudah (thawaf) ifadhah ya Rasulullah,' maka Rasulullah SAW., berkata, 'Kalau begitu mari kita berangkat."
Terdapat perbedaan pendapat mengenai syarat suci secara mutlak (suci dari hadats besar dan kecil) dalam thawaf. Jumhur ulama selain Abu Hanifah, yaitu Imam Syafi’i, Malik, dan juga riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa thawaf haruslah dalam keadaan suci mutlak. Adapun Abu Hanifah tidak berpendapat demikian.[7] Jika jumhur menjadikan suci syarat thawaf, maka Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kewajiban, bukan syarat[8].
Perbedaan antara syarat dan kewajiban dalam hal ini adalah, jika syarat tidak terpenuhi, maka yang disayaratkan itu juga tidak tercapai. Adapun kewajiban, jika ditinggalkan tidak mempengaruhi keabsahan, hanya saja ia berdosa dan harus membayar denda[9].
Konsekuensi dari perbedaan pendapat tersebut, bahwasanya thawaf wanita haid tidaklah sah menurut jumhur. Berbeda dengan Hanafiyyah, mereka membolehkan wanita haid untuk thawaf dengan memakai pembalut terlebih dahulu sebelum melakukan thawaf. Pendapat inilah yang diikuti Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wanita haid yang tidak memungkinkan baginya melakukan thawaf wajib (ifadhah) kecuali dalam keadaan haid, karena dia tidak mungkin tinggal menetap di Mekah dia tidak mungkin tinggal menetap di Mekah, maka  menurut salah satu pendapat yang mewajibkan suci pada orang yang thawaf: jika wanita haid, orang yang junub, orang yang berhadats, atau membawa najis melakukan thawaf, maka thawafnya sudah sah. Dia wajib membayar denda bisa berupa kambing atau unta bagi wanita haid serta orang junub, dan berupa kambing bagi orang yang berhadats kecil[10].”
Jumhur ulama berdalil dengan hadits Aisyah bahwa dia ketika mengalami haid sebelum masuk Mekah dalam haji Wada', maka Nabi SAW., bersabda kepadanya:
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
"Lakukan sebagaimana yang dilakukan jamaah haji, hanya saja engkau tidak boleh thawaf di Baitullah sebelum suci.[11]” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun Imam Abu Hanifah berhujjah dengan keumuman firman Allah Ta’ala: “Hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf di Baitul ‘Atiq (Ka’bah)” (Q.S. Al-Hajj: 29)

E.     Hukum Meminum Pil Pencegah Haid
Haid merupakan fitrah bagi wanita. Saat haid, wanita harus meninggalkan beberapa jenis ibadah, seperti shalat, puasa, dan thawaf (sebagaimana pendapat jumhur). Diriwayatkan bahwa ketika Haji Wada’, Aisyah mengalami haid. Hal tersebut membuat beliau menangis. Maka Rasulullah SAW., bersabda kepadanya: “Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah pada anak-anak wanita Adam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak dari ulama kontemporer yang membolehkan wanita meminum pil pencegah haid. Diantaranya adalah Syaikh al-Utsaimin, beliau berfatwa, “Tidak mengapa wanita mengkonsumsi pil pencegah haid saat haji dan umrah. Karena hal tersebut termasuk kebutuhan. Akan tetapi, ia harus meminta izin dan berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter, karena terkadang pil tersebut bisa memberi efek samping yang membahayakannya[12].”
Begitu juga menurut Syaikh bin Baz, bahwa wanita boleh meminum pil pencegah haid saat haji dan ramadhan, jika pil tersebut tidak membahayakan dirinya setelah konsultasi dengan dokter spesialis[13].
Syaikh Abu Malik Kamal mengatakan bahwa kalau memungkinkan, lebih baik mengkonsumsi pil pencegah haid jika tidak membahayakan baginya, supaya lebih aman dengan keluar dari perslisihan pendapat mengenai thawaf wanita haid.[14]
Abdurrazaq telah meriwayatkan dalam mushannafnya bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Ibnu Umar tentang  seorang wanita yang mengalami haid dalam waktu lama, maka dia ingin meminum obat yang dapat menghentikan darah tersebut, maka Ibnu Umar tidak menganggap hal itu sebagai masalah, dan dia bahkan menunjukkan air arook (sebagai resep obat baginya)[15].
Diriwayatkan juga dari Atha' bahwa dia ditanya tentang seorang wanita yang haid, lalu dia mengkonsumi obat yang dapat menghentikan haidnya, apakah dia boleh thawaf? Dia menjawab, 'Ya, jika dia suci. Apabila dia masih melihat sedikit darah dan belum melihat cairan putih sebagai tanda suci, maka jangan thawaf[16]."
Ketika wanita hendak mengkonsumsi pil pencegah haid, maka ia harus memperhatikan kandungan obat tersebut. Jika mengandung hal yang haram, maka ia tidak boleh meminumnya. Juga harus diperhatikan efek samping dari pil tersebut. Apabila ternyata membahayakan, atau memberi efek samping yang sangat banyak, hendaknya dia tidak mengkonsumsi pil tersebut. Sebagaimana kaidah fikih yang sangat masyhur لا ضرر ولا ضرار yang artinya tidak memberi madharat kepada diri sendiri dan orang lain.
Inti dari fatwa ulama yang membolehkan meminum pil pencegah haid adalah tidak adanya madharat bagi si wanita ketika mengkonsumsi pil tersebut. Kalaupun ada efek samping, selama itu masih ringan dan tidak terlalu membahayakan maka tidak mengapa.
Menurut dr. Raehanul Bahraen, “Pil pencegah haid memiliki efek samping yang berbeda-beda bagi setiap wanita. Bisa saja efek samping ini malah menimbulkan sakit selama ibadah misalnya nyeri di payudara, rasa mual sakit kepala, sehingga ini bisa menghalangi kekhusyukan ibadah.
Berdasarkan pengalaman, karena ibadah haji cukup menyedot energi dan stamina sehingga terkadang tubuh tidak stabil. Terkadang pil pencegah haid juga bisa menyebabkan haid menjadi tidak teratur. Ada beberapa yang muncul pendarahan kecil terus, ada juga yang tidak dapat haid tetapi muncul flek-flek darah atau kehitaman yang sering membuat jamaah wanita bingung, apakah ini darah haid atau bukan. Berbeda jika minum pil pencegah haid dengan keadaan tubuh yang prima, sehat serta tidak menanggung beban pekerjaan atau aktifitas yang berat.”
Dr. Raehanul juga menambahkan, beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi wanita yang menggunakan pil pencegah haid sebagai berikut:
  1. Mencatat haid 3 bulan terakhir sebelum berangkat sehingga pola haid bisa diperkirakan.
  2. Minum obat penunda haid 7 hari (atau sebulan) sebelum perkiraan haid yang akan datang dan hentikan minum obat 3 hari sebelum waktu haid yang diinginkan.
  3. Obat yang digunakan biasanya adalah obat yang mengandung progesteron misalnya: Primolut N 2 x 1 tablet setiap hari atau obat yang lain sesuai dengan saran dokter.
  4. Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelumnya karena beberapa penyakit tertentu bisa kambuh atau muncul karena mengkonsumsi pil pencegah haid.
  5. Jika ada Kontraindikasi, jangan gunakan. Yaitu ada riwayat sakit kepala hebat atau migren, kanker payudara, varises berat, perdarahan dari vagina yang belum diketahui penyebabnya, serta adanya penyakit fungsi hati.
  6. Mengetahui efek samping penggunaan dan ini bisa berbeda-beda untuk setiap orang misalnya rasa mual, sakit kepala, atau nyeri pada payudara. Pada obat yang mengandung progesteron saja biasanya sering muncul bercak darah (spoting). Bisa dicegah dengan banyak minum air putih dan banyak bergerak supaya metaboliknya lebih lancar. Jadi, jamaah wanita yang memakai bisa mempersiapkan diri untuk mengatasinya, misalnya efek sampingnnya adalah migrain. Bisa membawa obat ringan anti migrain.
  7. Sering melakukan gerak-gerakan senam ringan baik dikendaraan atau ketika sudah tiba. Ini berguna untuk melancarkan peredaran darah mencegah timbulnya jendalan/sumbatan pada pembuluh darah[17].
F.     Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa meminum pil atau obat pencegah haid bagi wanita yang hendak berhaji hukumnya boleh. Hanya saja ia tetap harus memperhatikan kandungan dan efek dari obat tersebut. Jika dengan mengkonsumsi obat tersebut membahayakan dirinya, terlebih jika dia memiliki alergi pada bahan tertentu, sebaiknya ia tidak mengkonsumsinya. Ketika dia belum mengerjakan thawaf ifadhah dikarenakan haid dan dia juga tidak bisa menetap lama di Makkah untuk menunggu suci dari haidnya, maka ia boleh thawaf dalam keadaan haid dengan memakai pembalut karena darurat yang dialaminya.
Wallahu a’lam bish shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abdurrozak. Al-Mushannaf. Cet. Ke-2. Beirut: Al-Maktab al-Islami 1983.
Ahmad, Yahya bin. Al-I’lam Fima Yakhushu al-Mar’ata Fi Al-Hajji Min al-Ahkam. 1991.
Barmawi, al-, Abdussubhan Nuruddin Wa’idh. Aisar al-Masalik fi Ahkam al-Manasik. Ttp.: t.p., t.t.
Baz, Ibnu. Majmu’ Fatawa. Ttp.: t.p., t.t.
Bukhari, al-. Shahih al-Bukhari. Kairo: Al-Matba’ah as-Salafiyah wa Maktabatuha. 1979.
Kamal, Abu Malik. Fiqh Sunnah li an-Nisa. Kairo: Dar at-Taufiqiyah li at-Turats. 2009.
Majmu’atul ‘Ulama. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah.  Cet. Ke-2. Riyadh: Dar Adhwa as-Salaf. 2008.
Muslim. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah. T.t.
Shaghirji, ash-, As’ad Muhammad Sa’id. Al-Hajju wa al-‘Umratu ila Baitillah al-Harami. Jeddah: Darul Kiblat li ats-Tsaqafah al-Islamiyah. 1993.
Taimiyah, Ibnu. Majmu’ Fatawa. Madinah: Majma’ al- Mulk Fahd li Thaba’ati al-Mushaf asy-Syarif. 1994.
Zuhaily, az-, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Cet. Ke-2. Damaskus: Darul Fikr.  1985.
Bahraen, Raehanul. “Lebih Baik Tidak Menggunakan Pil Pencegah Haid Selama Haji,” dalam http://muslimah.or.id/fikih/lebih-baik-tidak-menggunakan-pil-pencegah-haid-selama-haji.html, diakses pada 15 April 2015.





[1] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. Ke-2 (Damaskus: Darul Fikr,  1985), hal 8.
[2] As’ad Muhammad Sa’id ash-Shaghirji, al-Hajju wa al-‘Umratu ila Baitillah al-Harami, (Jeddah: Darul Kiblat li ats-Tsaqafah al-Islamiyah, 1993), hal 25.
[3] Ibid, hal, 23.
[4] Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah li an-Nisa, (Kairo: Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, 2009), hal. 323.
[5] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami.., hal. 146-147.
[6] Abu Malik Kamal, Fiqh sunnah.., hal. 322.
[7] Yahya bin Ahmad, al-I’lam Fima Yakhushu al-Mar’ata Fi Al-Hajji Min al-Ahkam, (ttp.: t.p., 1991 ), hal. 37.
[8] Abdussubhan Nuruddin Wa’idh al-Barmawi, Aisar al-Masalik fi Ahkam al-Manasik, (ttp.: t.p., t.t.),  hal. 59.
[9] Ibid, hal. 50.
[10] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, (Madinah: Majma’ al- Mulk Fahd li Thaba’ati al-Mushaf asy-Syarif, 1994), jilid 26, hal. 125.
[11] Lihat Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Matba’ah as-Salafiyah wa Maktabatuha, 1979), jilid 1, hal. 115, hadits no. 305, dan Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah), juz 4, hal. 30, hadits no. 2977
[12] Majmu’atul ‘Ulama, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah,  cet. Ke-2, (Riyadh: Dar Adhwa as-Salaf, 2008), hal. 567.
[13] Bin Baz, Majmu’ Fatawa, (ttp; tp, tp), jilid 16, hal.128.
[14] Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah.., hal. 318.
[15] Abdurrozak, al-Mushannaf, cet. Ke-2, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983), jilid 1, hal. 318.
[16] Ibid.
[17] Raehanul Bahraen, “Lebih Baik Tidak Menggunakan Pil Pencegah Haid Selama Haji,” dalam http://muslimah.or.id/fikih/lebih-baik-tidak-menggunakan-pil-pencegah-haid-selama-haji.html, diakses pada 15 April 2015.

Kamis, 14 Mei 2015

Jilbaber dan Kontes Musik


Oleh: Iffah Izzah A.
A.    Pendahuluan
Tiga tahun silam, Indonesia mengalami demam boyband dan girlband[1]. Saat hangat-hangat itulah, para pebisnis membuat ajang pencarian bakat untuk menjadi boyband dan girlband idola. Sebuah acara yang menitikberatkan pada kemampuan bernyanyi sekaligus menari. Tidak sedikit grup-grup muda mudi yang mengikuti acara tersebut. Sekelompok girlband yang terdiri dari delapan remaja “berjilbab” pun turut menjadi kontestan. Hingga akhirnya, grup yang dinamai Sunni itu juga menjadi juara dalam Boy Girl Band Indonesia (BGBI).
Di akhir tahun yang sama, salah satu stasiun televisi swasta Indonesia mulai menayangkan program baru yang bernama X-Factor. Program tersebut merupakan ajang pencarian bakat yang berkonsentrasi pada dunia tarik suara, bahkan slogan acara tersebut adalah "The Ultimate Singing Competition". Fatin Shidqia Lubis, seorang remaja muslim “berjilbab” berhasil lolos sebagai pemenang X-Factor musim pertama. Acara tersebut usai pada Mei 2013.
Tahun kemarin, diadakan lagi kontes menyanyi yang beraliran dangdut. Acara tersebut dinamai D'Academy. Lagi-lagi ada jilbaber yang mengikuti kontes tersebut. Sebenarnya realita muslimah yang bernyanyi di depan umum memang sudah merupakan hal biasa. Contohnya jilbaber yang menjadi vokalis dalam grup-grup rebana. Hanya saja grup rebana yang menyanyikan lagu-lagu religi kalah jauh ketenarannya dengan para penyanyi lain yang notabenenya terlihat modern. Kita juga sudah mengetahui banyak penyanyi wanita yang berasal dari muslimah non jilbaber. Namun ketika ada “jilbaber” yang mengikuti kontes menyanyi lagu-lagu pop, dangdut, atau yang lainnya, dan dia juga berhasil menjadi juara, hal tersebut terasa dan berdampak lain bagi masyarakat. Di tahun 2015 inilah X-Factor musim kedua mulai mengadakan audisi yang jumlah peminatnya tak kalah banyak dengan X-Factor musim pertama.
Dalam dua acara yang saya sebutkan di atas, yaitu X-Factor dan BGBI, para “jilbaber” tersebut berhasil mengalahkan kontestan lain untuk menjadi the winner. Keikutsertaan dan kejuaraan mereka tentu menjadi kontroversi di khalayak umum. Dalam makalah ini, penulis hendak membahas tentang hukum yang berkaitan dengan jilbaber dan musik.

B.     Definisi Jilbab, Jilbaber, dan Musik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada.[2] Begitupun makna jilbab berdasar terminologi yang berarti kain lebar yang diselimutkan ke pakaian luar, yang menutupi kepala, punggung, dan dada yang biasanya dipakai ketika wanita keluar rumah. Ada pula yang mengartikan dengan pakaian luar yang menutupi seluruh tubuh mulai dari kepala hingga telapak kaki.[3] Al-Jauhari juga memaknai jilbab sebagai pakaian yang menyelimuti seluruh tubuh.[4]
Selama ini banyak kalangan yang rancu dalam memahami hakikat jilbab yang sesungguhnya. Mereka menganggap bahwa dengan mengenakan sehelai kerudung yang diikatkan kebelakang dan dikombinasikan dengan kaos ketat plus celana panjang berarti telah berjilbab. Ini jelas pemahaman keliru dan sangat jauh dari misi disyariatkannya jilbab itu sendiri.[5]
Sayangnya, mayoritas masyarakat Indonesia pun menganggap kerudung kecil yang hanya melilit leher, cenderung terawang, dan banyak hiasannya sebagai jilbab syar’i. Sehingga siapapun yang telah memakai jilbab versi mereka akan dijuluki jilbaber. Bahkan kini mereka mulai ramai memakai istilah hijaber[6] untuk para wanita berjilbab. Sehingga banyak kita temui wanita yang memiliki gelar jilbaber berperilaku yang tak seyogyanya dilakukan oleh muslimah. Banyak juga yang memakai jilbab hanya karena peraturan sekolah, tempat kerja, atau sekedar mengikuti trend.
Adapun definisi musik, menurut KBBI adalah nada atau suara yg disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu).[7] Istilah musik lebih cenderung kepada alat-alat musik, namun musik tetap identik dengan lagu atau nyanyian.

C.    Hukum Musik, Nyanyian, dan Suara Wanita Dalam Islam
Islam telah mengharamkan alat musik dan nyanyian. Memang ada sebagian ulama cenderung “longgar” dalam menghukuminya sehingga mereka membolehkan dengan syarat tidak mengundang syahwat,[8] namun nash-nash yang mengharamkan musik sangatlah jelas. Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ.
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Q.S. Luqman: 6)
Al-Wahidi dan ulama lainnya mengatakan, “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian.” Ahli Ma’ani berkata, "Termasuk dalam hal ini adalah semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan mendahulukannya daripada al-Qur`an. Beliau juga menyimpulkan bahwa ayat tersebut dengan tafsir demikian menunjukkan haramnya nyanyian.”[9]
Rasulullah SAW., bersabda,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحرَّ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ.
“Sungguh akan ada di kalangan umatku, orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik." (H.R. al-Bukhari)[10]
Ali al-Qari berkata, “Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.”[11]
Ma’azif merupakan bentuk plural dari ma’zifah yang bararti alat musik. Adapun al-Qurthubi menukil pendapat al-Jauhari yang mengatakan bahwa maksud ma’azif adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihahnya bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata, “Al-Ma’azif adalah genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.”[12] Al-Imam Adz-Dzahabi berkata, “Al-Ma’azif adalah nama bagi setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet (sejenis seruling), serta simbal.”[13]
Terdapat beberapa jenis nyanyian yang dibolehkan, yaitu nyanyian untuk mengobarkan semangat saat mengerjakan pekerjaan berat, atau sebagai hiburan saat semangat mulai kendor. Sebagaimana Rasulullah SAW., pernah bersyair dengan Bahar Rajaz ketika membangun masjid dan menggali parit Khandaq. Diperbolehkan juga syair-syair yang tidak berbau porno, menggambarkan khamr, dan tidak terdapat unsur melecehkan muslim atau kafir dzimmi. Wanita juga boleh bersenandung untuk menidurkan bayinya. Begitu pula nyanyian yang dibawakan pemudi saat walimah urs tanpa terdengar oleh kaum Adam. Lagu yang menggambarkan taman, tumbuhan, bunga, atau sungai jika itu dinyanyikan tanpa alat-alat musik yang diharamkan juga diperbolehkan.[14]
Al-Lajnah ad-Daimah li al-Ifta dimintai fatwa tentang hakikat suara wanita, mereka menjawab, “Sesungguhnya suara asli yang tidak dilembut-lembutkan bukanlah aurat, karena dahulu para shahabiyah juga berbicara dan bertanya kepada Nabi SAW., perihal agama mereka, dan seperti itu pula mereka berbicara kepada para shahabat untuk keperluan mereka. Beliau SAW., tidak pernah melarang mereka dalam hal tersebut.”[15]
Jika suara wanita yang tidak dilembut-lembutkan bukanlah aurat, maka jika dia menyanyi suaranya jelas menjadi aurat. Karena ketika menyanyi tidak mungkin luput dari memerdukan suara, terlebih bagi mereka yang mengikuti kontes menyanyi. Tentunya mereka ingin menampilkan yang terbaik agar menjadi pemenang.
Ketika seorang wanita mengikuti kontes menyanyi, sebenarnya ia telah melanggar banyak aturan Islam. Mulai dari keluar rumahnya bukan untuk kepentingan syar’i atau mendesak, ikhtilat dengan lawan jenis, tabarruj, bahkan membuka aurat. Ditambah hukum nyanyian dan musik itu sendiri yang telah mendapat nilai merah dari para ulama.

D.    Pro-Kontra Unjuk Gigi Fatin di X-Factor
Terjadi pro-kontra mengenai penampilan dan kejuaraan Fatin. Sebuah artikel yang dimuat pada voa-islam.com, memuat klarifikasi KH. Cholil Ridwan selaku ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Seni dan Budaya atas dukungannya terhadap Fatin. Menurutnya, dukungannya terhadap Fatin bukan lantaran dirinya menyukai musik. Bukan pula lantaran ia menyukai acara X-Factor, apalagi acara tersebut disinyalir merupakan program Zionis Yahudi.
“Saya tidak hobi musik, saya juga tidak hobi tontonan televisi. Kalau nonton televisi paling saya lihat berita atau kajian-kajian ilmiah. Ketika X-Factor itu diadakan kemudian ada peserta yang pakai jilbab, itu menarik saya untuk melihat. Kemudian saya pikir ini sesuatu yang bisa pengaruh baik bagi anak-anak remaja. Bahwa menggunakan jilbab itu tidak menjadi kendala, bahkan bagi orang yang mau berkarir. Itulah maksud pesan saya, yang saya gunakan untuk mendukung Fatin,” kata KH. Cholil Ridwan dari ujung telepon kepada voa-islam.com, Selasa (28/5/2013).[16]

Dukungan terhadap Fatin juga diungkapkan oleh Ahmad Saiful Rizal[17]. Dia menulis “Kita bersyukur, Fatin tetap konsisten memakai jilbab dari awal audisi hingga menjuarai X-Factor Indonesia (semoga selamanya). Acara itupun sama sekali tak membahas agama. Semua agama ikut memeriahkan acara tersebut. Karena memang acara itu adalah ajang kompetisi bermusik. Bukan beragama. Musik itu netral, universal. Semua agama bahkan semua manusia juga gemar bermusik. Bahkan membaca al-Qur’an pun dianjurkan menggunakan musik. Musik dalam kamus bahasa Indonesia berarti keteraturan nada. Yang artinya jika suara diatur sedemikian rupa dengan ritme dan nada tertentu, maka jadilah musik. Termasuk qira’ah dan tilawah dalam al-Qur’an. Bisa dibayangkan, bagaimana jika para Qari’ tidak melantunkan al-Qur’an dengan musik, betapa hambarnya bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan Rasulullah pun juga menganjurkan untuk melagukan bacaan al-Qur’an.”[18]
Apa yang diutarakan KH. Cholil Ridwan tentu sangat memprihatinkan. Menurut yang beliau ucapkan, seakan beliau menganggap mengikuti kontes menyanyi atau bahkan menjadi penyanyi sebagai pekerjaan yang bagus bagi seorang muslimah. Padahal dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang membeli budak wanita dan ternyata budak tersebut adalah biduan, maka ia boleh mengembalikannya karena adanya cacat tersebut.[19]
Adapun tulisan saudara Ahmad maka perlu dikoreksi. Pertama mengenai keterkaitan musik dengan agama. Dalam sub sebelumnya telah saya singgung perihal hukum musik. Sebagai muslim, kita tentu tidak bisa memisahkan urusan dunia dan akhirat. Hatta musik yang menurut sebagian orang sifatnya universal itu pun telah ada hukumnya dalam Islam. Sikap memisahkan urusan duniawi dari agama justru merupakan buah dari pemikiran sekuler.
Kedua, perintah melagukan bacaan al-Qur’an memang sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Bukan termasuk golongan kami siapa yang tidak melagukan al-Qur’an.”
Perintah melagukan bacaan al-Qur’an memang benar adanya, namun hal tersebut jelas tidak bisa disamakan dengan lagu yang diiringi alat musik. Sebagaimana yang sudah saya singgung di atas, bahwa hukum memainkan atau sekedar mendengarkan alat musik itu haram.
Anjuran yang tersirat dalam hadits tersebut adalah memperindah bacaan al-Qur’an. Lagu yang diperintahkan Rasulullah SAW., dalam membaca al-Qur’an adalah mengeraskan suara (membaca dengan jelas). Juga membedakan dengan nada orang yang memberi kabar atau sedang bercakap-cakap. Sehingga akan terdengar berbeda dengan orang yang sekedar bercakap. Hal tersebut sebagai bentuk pemuliaan terhadap al-Qur’an sekaligus penambah rasa cinta kepadanya.[20]
Beda Kyai Cholil dan Ahmad, beda A.Z. Muttaqien. Dalam akhir tulisannya yang kontra Fatin, dia menyebutkan “Maka itu dengan kemenangan Fatin tentu kita khawatir ada semacam pembenaran bagi kaum muslimah berbondong-bondong membanjiri ajang pencarian bakat seperti ini. Tubuh dan wajah mereka menjadi santapan 250 juta bangsa Indonesia. Mereka meliuk-liuk dan bersaut-saut hanya demi ribuan SMS. Muslimah-muslimah kita nanti memiliki dalih masuk ke gelanggang yang sebenarnya jebakanYahudi ini dengan satu kalimat ‘Tidak masalah selama kami berjilbab'."[21]

E.     Propaganda Yahudi dalam Dunia Hiburan
Sebagai seorang mukmin, kita tentu harus mengimani firman Allah Ta‘ala, termasuk di dalamnya tentang kebencian kaum Yahudi dan Nasrani kepada umat Islam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan dating kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 120)
Drs. H. Toto Tasmara dalam pengantar bukunya “Dajjal & Simbol Setan” mengatakan bahwa kaum Yahudi akan senantiasa membuat keguncangan, keresahan, dan rasa bimbang di hati umat beragama melalui gerakan yang beliau istilahkan dengan “gerakan 7 F", yaitu menghancurkan kekuatan finansial (financial) umat Islam, merusak pola makan (food), menciptakan adu domba atau perpecahan di kalangan umat beragama maupun di dalam tubuh umat Islam (friction), menyebarkan cara berpikir bebas (freethought), menebarkan ideologi yang membebaskan manusia dari tata cara pemikiran agamis (freedom of religion), menguasai film, TV, dan media massa (film), menumbuhkan dan menggoda masyarakat agar berbudaya dan bersikap mengikuti millah mereka (fashion/life style), membuat beberapa aliran mistik untuk menghancurkan agama (faith, sect, occultism, dll.), menumbuhkan rasa kecewa (frustrasion), dan lain-lain.[22]
Tidaklah mengherankan jika kita lihat banyak program TV yang produsernya adalah nonmuslim. Termasuk produser X-Factor.  Jika kita mengunjungi situs resmi X-Factor, maka akan terlihat siapa pencetus acara tersebut. X-Factor berada dalam naungan Fremantle Media.[23]
Fremantle Media adalah perusahaan yang dimiliki oleh seorang kapitalis Yahudi, Rupert Murdoch. Sama seperti American Idol, X Factor dibentuk oleh Simon Cowell dan diproduksi Fremantle Media. Simon Cowell sendiri berlatar belakang Yahudi dengan ibu seorang Kristiani. Simon Cowell dan Rupert Murdoch adalah para kreator yang sangat gigih mengkreasi acara pencarian bakat yang kemudian disebar ke negara-negara muslim.[24]


F.     Penutup
Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa sebutan jilbaber bagi muslimah yang hanya mengenakan kerudung kecil, transparan, yang dipadu dengan baju ketat tidaklah tepat. Seorang muslimah juga tidak diperbolehkan mengikuti kontes musik. Hal itu karena musik telah diharamkan oleh Islam dan juga suaranya menjadi aurat ketika dilemah-lembutkan. Secara norma masyarakat pun, seorang yang telah berjilbab jelas tidak pantas berjingkrak-jingkrak di atas panggung. Sudah seyogyanya jua umat Islam mewaspadai pelbagai propaganda Yahudi, agar kita tak terlena dengan permainan mereka yang sangat berambisi untuk menghancurkan umat.

Wallahu a’lam bish shawab.


DAFTAR PUSTAKA
Atsqalani, al-, Ibnu Hajar. 2004. Fath al-Bari. Kairo: Darul Hadits.
Bathal, al-, Ibnu. 2003. Syarh Shahih al-Bukhari. Riyadh: Maktabah ar-Rusd.
Dzahabi, adz-. 1993. Siyar A’lam an-Nubala. Beirut: Muassasah Risalah.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Fuad Baswedan, bin, Sufyan. 2009. Lautan Mukjizat Di Balik Balutan Jilbab. Klaten: Wafa Press.
Hamid, al-, Muhammad. 1977. Hukmu al-Islam fi al-Ghina. Halib: Darul Wa’i.
Katsir, al-, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Mandhur, al-, Ibnu. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir.
Qari, al-, Ali. Mirqat al-Mafatih. (ttp.: t.p., t.t.)
Qayyim, al-, Ibnu. 2003. Ighatsah al-Lahfan Min Mashaid asy-Syaithan. Kairo: Darul Aqidah.
Tasmara, Toto. 2000. Dajjal & Simbol Setan. Jakarta: Gema Insani Press.
Utsaimin, al-, dkk. 2002. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Kairo: Darul Haitsam.
Muttaqien, A.Z., “Zionisme Yahudi pada ajang pencarian bakat”, http://www.arrahmah.com/news/2013/05/26/zionisme-yahudi-pada-ajang-acara-pencarian-bakat.html, diakses pada 8 Maret 2015.
Rizal, Ahmad Saiful. “Fatin: Menggugat Propaganda Yahudi Atas Kemenangannya” http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/06/16/menggugat-propaganda-yahudi-pada-kemenangan-fatinsl-569460.html, diakses pada 8 Maret 2015.
Widad, Ahmed. “Klarifikasi Kyai Cholil atas Dukungannya kepada Fatin X-Factor”, http://m.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/05/29/24889/klarifikasi-kyai-cholil-atas-dukungannya-kepada-fatin-x-factor/, diakses pada 8 Maret 2015.




[1] Boyband merupakan kelompok musik yang terdiri dari beberapa vokalis pria, mirip seperti aliran acapella, namun mereka juga dituntut untuk menari sebagai pengiring ketika mereka bernyanyi. Adapun girlband, maka anggotanya terdiri dari sekelompok wanita.
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal 473.
[3] Ibnu al-Mandhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir), jilid 1, hal. 272.
[4] Ibnu al-Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), jilid 6, hal. 296.
[5] Sufyan bin Fuad Baswedan, Lautan Mukjizat Di Balik Balutan Jilbab, cet ke-5, (Klaten: Wafa Press, 2009), hal. 31
[6] Penggunaan kata hijaber juga mulai popular digunakan bagi mereka yang tidak berjilbab syar’i. seperti yang dipakai pada iklan produk kecantikan, busana, atau judul film yang menggunakan model para wanita berkerudung kecil.
[7] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet, ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal 766
[8] Lihat kitab Tahrimu Alat al-Tharb karya Nasiruddin al-Albani, hal. 7.
[9] Ibnu al-Qayyim, Ighatsah al-Lahfan Min Mashaid asy-Syaithan, (Kairo: Darul Aqidah, 2003), hal. 219.
[10] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet ke-3, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), jilid 5, hal. 2123.
[11] Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih, (ttp.: t.p., t.t.), jilid 15, hal. 270. (Maktabah  Syamilah)
[12] Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari, (Kairo: Darul Hadits, 2004), jilid 10, hal. 64.
[13] Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, (Beirut: Muassasah Risalah, 1993), jilid 21, hal. 158
[14] Muhammad al-Hamid, Hukmu al-Islam fi al-Ghina, cet ke-5, (Halib: Darul Wa’i, 1977), hal. 11-12.
[15] Al-Utsaimin, dkk, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, (Kairo: Darul Haitsam, 2002), hal. 506.
[16] Ahmed Widad, “Klarifikasi Kyai Cholil atas Dukungannya kepada Fatin X-Factor”, dalam http://m.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/05/29/24889/klarifikasi-kyai-cholil-atas-dukungannya-kepada-fatin-x-factor/, diakses pada 8 Maret 2015
[17] Dia mengaku sebagai Fatinistic (fans Fatin)

[18]Ahmad Saiful Rizal, “Fatin: Menggugat Propaganda Yahudi Atas Kemenangannya”, dalam http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/06/16/menggugat-propaganda-yahudi-pada-kemenangan-fatinsl-569460.html, diakses pada 8 Maret 2015

[19] Ibnu al-Qayyim, Ighatsah al-Lahfan..., hal 209.
[20] Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, cet ke-2, (Riyadh: Maktabah ar-Rusd, 2003), jilid 10, hal. 529.

[21] A.Z. Muttaqien, “Zionisme Yahudi pada ajang pencarian bakat”, dalam http://www.arrahmah.com/news/2013/05/26/zionisme-yahudi-pada-ajang-acara-pencarian-bakat.html, diakses pada 8 Maret 2015

[22] Toto Tasmara, Dajal & Simbol Setan, cet ke-3, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000)
[23] Lihat www.xfactorindonesia.com
[24] A.Z. Muttaqien, “Zionisme Yahudi pada ajang pencarian bakat”, dalam http://www.arrahmah.com/news/2013/05/26/zionisme-yahudi-pada-ajang-acara-pencarian-bakat.html, diakses pada 8 Maret 2015