Pages

About

Minggu, 06 Maret 2016

Jangan Sampai Dikencingi Jin



Ini kali kedua saya menulis postingan yang menyangkut jin. Tapi tenang, yang menjadi topik utama bukan mereka, tapi saya. Tepatnya kecerobohan saya sebagai murid. ^^
“Itu lho kopinya, cepet diminum,” seru teman saya.
“Iya mba, nanti,” saya menanggapinya sambil tersenyum.
Siapapun yang tak kenal sifat teman saya pasti bisa jengkel. Dia mempersilakan tapi seperti marah-marah. Bisa dibilang memaksa orang lain menerima kebaikannya. Saya paham, dia bermaksud baik. Dia ingin kopi yang dibuatnya juga dirasakan kita. Dia ingin berbagi. Tapi kalau kita dengar caranya mempersilakan, alih-alih kita mau minum, kita bisa jadi ikutan misuh-misuh. Itulah sebabnya saya hanya tersenyum sambil mengatakan “iya” sebagai bentuk menghargai niat baiknya.
Jam dinding menunjukkan pukul setengan satu pagi. Saya belum tidur, masih lembur skripsi. Sebenarnya kurang tepat kalau alasan saya lembur hanya untuk membuat skripsi, yah, saya sedikit bandel, refreshing dengan melakukan hobi. Bukannya tidak boleh, hanya saja saya sering lupa kalau deadline saya tak memberi banyak waktu luang, walau sebenarnya saya tetap sering membandel. Hiks.
“Mba, mau kopinya ya,” ucap saya mendekat.
“Ya, dari tadi ditawarin,” dia masih menjawab dengan nada keras. Lagi-lagi saya tersenyum dibuatnya.
“Ih, ini kenapa dikasih kertas?” Tanya saya heran.
“Biar nggak dikencingi jin,” jawab teman saya yang lain –bukan pemilik kopi-. Dia menjawab pertanyaan saya sambil tertawa. Saya tersenyum dan mulai menikmati kopi. Hangat dan enak. Entah mengapa, saya masih penasaran dengan jawaban teman saya tadi. Awalnya saya anggap dia hanya bercanda, tapi dalam nada bicaranya tersirat kesan serius.
“Yang tadi beneran?” saya kembali bertanya.
“Iya,” kali ini kaduanya menjawab serempak.
“Iya kan ya, aku masih inget kok Bu Ina njelasin di kelas, di al-Wajiz juga ada, air tenang itu disukai jin, makanya kalo malem gelas atau apapun yang ada airnya harus ditutup” jelas si pemilik kopi. “kayaknya pas itu kamu lagi tidur deh,” imbuhnya datar.
“Lha ini yang ditutup cuma segini, berarti nggak semuanya aman dong?” saya menunjuk lintingan kertas yang lebarnya hanya 1 cm, yang tadi diletakkan di atas gelas. Saya hanya ingin berseloroh.
“Iya, boleh ditutup pakai apapun, walau nggak nutupin semua,” teman saya yang satu lagi menambahkan.
Saya mengangguk-angguk. Memori tentang anjuran menutup bejana di malam hari muncul perlahan. Saya tersenyum, lalu terbahak. Bukan apa-apa, saya hanya teringat ucapan pemilik kopi tadi, “kayaknya pas itu kamu lagi tidur deh.” Bisa jadi waktu materi itu disampaikan saya lagi absen, izin ke toilet, atau benar tertidur seperti ucapan teman saya tadi.
“Thanks ya,” saya pamit. Sambil berjalan menuju kamar, saya berusaha menahan tawa. “Iya deh mba, kayaknya pas itu aku lagi tidur,” ucap saya sambil tersenyum geli.

NB: Perhatikan guru ketika mengajar. Jangan main sendiri, melamun, mengantuk, apalgi tertidur. Tertinggal materi di buku panduan memang bisa dikejar, tapi apa yang disampaikan guru tak hanya apa yang ada di buku. Perhatikanlah, hingga ilmu yang kita dapat tidak setengah-setengah. ^^

_Ai_

Jumat, 22 Januari 2016

Dua Surat Ampuh Saat Tindihan



Sepertinya sudah lama saya nggak posting, coz lagi -sok- sibuk skripsi, hehe. Ok, saya punya pertanyaan, pernahkan Anda merasa tindihan? Hmm, kalau di daerah saya biasa disebut rep-repan. Rasanya seperti ditindih, yup, ditindih jin. Bentuknya berbeda-beda. Alhamdulillah, sampai saat ini tindihan yang saya alami tidak terlampau parah, dalam artian tidak sampai terlihat siapa yang nindih saya secara jelas. Paling banter kelihatan tapi samar-samar, atau hanya kelihatan warna hitam. Kalau teman saya lebih parah, dia sampai melihat bentuk jin yang mengganggunya, bahkan ada yang merasa dicekik. Perlu diketahui, tindihan termasuk salah satu gangguan jin saat tidur, tapi tidak sampai pada tingkatan kerasukan.
Nah, kalau saudara mengalami hal demikian, solusinya bagaimana?             
Menurut pengalaman saya pribadi, surat yang ampuh untuk melepaskan diri dari tindihan adalah surat al-Falaq dan an-Nas. Sesuai namanya al-Mu’awidzatain, kedua surat tersebut memang mudah untuk mengusir jin jahat. Bisa dicoba, tapi smoga saja bagi yang belum pernah tindihan jangan sampai mengalaminya.
Kenapa saya bisa berkesimpulan demikian? Karena saya sudah beberapa kali direp-repin. Beberapa ayat ruqyah yang saya tahu sudah saya coba, tapi yang menurut saya –berdasarkan pengalaman dan analisi, wk- yang paling cepat bereaksi adalah al-Mu’awidzatain. Rasanya susah bangun dan berat, malah dalam beberapa kasus tindihan saya, ketika sudah bisa bangun langsung dibuat tidur lagi, ditindih lagi. Analoginya, kita sudah buka pintu, tapi pas mau keluar kita ditarik lagi untuk masuk. Disitu saya merasa takut. Solusinya, saya pindah tempat tidur. Pernah, saat sudah berhasil bangun, saya doa dan kembali tidur di tempat yang sama, tapi hasilnya idem, saya ditindih lagi. Hiks. Tapi itu belum seberapa, adik kelas saya malah selalu ditindih selama belum keluar dari kamar.
Wal akhir, jika ada diantara teman-teman yang merasa tindihan –semoga Allah melindungi kita dari hal ini- saya rekomendasikan baca surat al-Falaq, an-Nas, atau keduanya. Kalau masih sulit, bisa baca ayat-ayat ruqyah lain seperti ayat kursi, 3 ayat terakhir al-Baqarah, atau adzan. Wallahu a’lam bish shawab.
Semoga bermanfaat J J
_Ai_

Selasa, 22 Desember 2015

Hukum Membuka Aurat Saat Memakai Alat Kontrasepsi



Oleh: Iffah Izzah A.
A.            Pendahuluan
Slogan “dua anak lebih baik” yang digemborkan program Keluarga Berencana (KB) sepertinya sudah familiar bagi masyarakat Indonesia. Terlebih, di beberapa tepi jalan dipasang reklame-reklame yang mempromosikan KB. KB sepertinya dianggap sebagai metode untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Sejatinya, esensi dari sebuah pernikahan ditinjau dari maqashid syariah adalah hifdhu an-Nasl (menjaga keturunan). Pembatasan jumlah anak tidak sejalan dengan prinsip tanasul (memperbanyak keturunan). Ketika banyak pasangan mencukupkan diri dengan dua anak atau bahkan satu saja, tentunya populasi manusia dapat terancam. Islam sendiri sangat melarang membunuh anak karena takut miskin. Ber-KB memang tidak berarti membunuh anak secara mutlak, hanya saja esensi dari program tersebut sama, menolak banyak anak demi kesejahteraan hidup. Takut akan kemiskinan. Terlebih, sebagai orang mukmin sudah seyogyanya yakin bahwa rezeki sudah ditentukan oleh Allah.
Tidak semua bentuk KB dilarang. Parameter dibolehkannya adalah niat, kondisi, dan alat kontrasepsinya. Sejatinya, alat kontrasepsi yang umum digunakan tidaklah hanya satu jenis. Dalam makalah ini, penulis akan membatasi tentang hukum memakai IUD (Intra Uterine Device) atau yang lebih familiar kita sebut spiral. Tentunya pemakaian alat ini tidak bisa dilakukan mandiri oleh seorang wanita. Ia memerlukan bantuan dokter atau bidan yang sudah ahli. Lalu, sebenarnya bagaimana KB menurut Islam? Serta bolehkah membuka aurat di depan dokter untuk memakai alat kontrasepsi?

B.            Definisi
a.              Definisi aurat
Secara etimologi aurat berarti segala perkara yang dirasa malu, dan bisa juga bermakna aib, cacat, atau cela[1]. Adapun secara terminlologi, aurat adalah suatu hal yang jika terlihat maka akan menimbulkan rasa malu.[2]
b.              Definisi Alat Kontrasepsi
Adapun alat, Secara etimologi, berarti sesuatu yang dipakai untuk mencapai maksud. Sedangkan kontrasepsi adalah cara untuk mencegah kehamilan (dengan menggunakan alat atau obat pencegah kehamilan, seperti spiral, kondom, pil antihamil). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, alat kontrasepsi berarti alat untuk mencegah kehamilan[3].
Keluarga Berencana (KB) pertama kali ditetapkan sebagai program pemerintah pada tanggal 29 Juni 1970, bersamaan dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Program KB di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1957, namun masih menjadi urusan kesehatan dan belum menjadi urusan kependudukan. Program KB didukung Undang-Undang sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan keluarga sehat dan berkualitas. Pegaturan kehamilan dalam program KB dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi[4]. Dari sinilah banyak masyarakat yang mempertanyakan hukum KB, yang di dalamnya identik dengan pemakaian alat kontrasepsi.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa alat kontrasepsi itu beragam. Baik dari bentuk, ataupun dari sifatnya yang permanen, sementara, atau hanya mencegah. Dalam pembahasan ini, penulis akan lebih memfokuskan pada IUD atau IUD (Alat Kontrasespsi Dalam Rahim).
c.              Definisi IUD
IUD (Intra Uterine Device) adalah alat kontrasepsi yang disisipkan ke dalam rahim, terbuat dari bahan semacam plastik, ada pula yang dililit tembaga, dan bentuknya bermacam-macam. Bentuk yang umum dan mungkin banyak dikenal oleh masyarakat adalah bentuk spiral. Spiral tersebut dimasukkan ke dalam rahim oleh tenaga kesehatan (dokter/bidan terlatih)[5]. Mekanisme kerja IUD ialah menciptakan lingkungan yang tidak kondusif karena adanya reaksi benda asing. Kondisi ini menyebabkan penyerbukan leukosit yang dapat menghancurkan sperma, ovum bahkan blastocysta[6].

C.            Hukum Melakukan KB
Pada dasarnya, Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk memperbanyak keturunan. Diantara hadits yang menerangkan hal tersebut adalah hadits riwayat Ma’qil bin Yasar ketika ada seorang lelaki yang berkonsultasi tentang calon istrinya yang nasabnya baik dan cantik namun tidak memiliki anak, maka beliau mengatakan “Jangan” lalu lelaki tersebut bertanya untuk yang kedua kali, maka Rasulullah Saw., bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits Ma’qil di atas, ketara sekali bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan. Terlepas dari takdir mandul yang diberikan Allah, setiap muslim hendaknya berusaha bagaimana memperbanyak kuantitas umat Islam yang juga berkualitas. Sehingga bertebaranlah di bumi ini hamba-hamba Allah yang beriman dan bertaqwa. Hingga hukum ‘azl pun –jika tanpa izin istri- dimakruhkan. Ulama berhujjah akan kemakruhan ‘azl dengan hadits yang menjelaskan bahwa ‘azl dinilai mengandung unsur pembunuhan[7].
Bagi ulama kontemporer, dikenal istilah tahdid an-Nasl (membatasi jumlah keturunan) dan tandhim an-Nasl (mengatur jarak kelahiran). Pembagian ini dilihat dari segi niat. Tahdid an-Nasl merupakan rencana membatasi anak dalam jumlah tertentu, seperti dua atau tiga anak saja, sebagai upaya menjaga kestabilan perekonomian keluarga misalnya, atau karena enggan menambah anak setelah itu. Adapun tandhim an-Nasl adalah upaya menunda kehamilan sampai kondisi wanita kembali stabil, kemudian ia tinggalkan alat-alat pencegah kehamilan untuk memiliki anak lagi sekalipun jumlah anaknya sudah banyak[8].
Dalam istilah Arab, mencegah kehamilan permanen disebut at-Ta’qim ad-Daim. Bentuk KB jenis ini dilarang oleh Islam, berdasarkan banyaknya hadits yang melarang kebiri. Larangan ini juga berlaku pada pemakaian alat-alat modern yang digunakan untuk mencegah kehamilan permanen beserta semua motifnya kecuali karena pertimbangan medis yang mendesak[9].
Syaikh Bin Baz ditanya tentang hukum memakai alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kelahiran, maka beliau menjawab, “Tidak mengapa memakai alat kontraspsi untuk mengatur jarak kehamilan untuk menghindari kemadharatan. Akan tetapi, hal itu hendaknya dilakukan pada masa menyusui (tahun pertama dan kedua) hingga tidak mengakibatkan kemadharatan untuk kehamilan setelahnya, juga agar tidak memberi kemadharatan untuk pendidikan anak-anaknya. Jika kehamilan yang berurutan (dalam waktu dekat) memberi kemadharatan pada pendidikan anak atau kesehatan dirinya, maka tak masalah mengatur jarak kehamilan setahun dua tahun selama masa menyusui. Karena sejatinya Rasulullah SAW menganjurkan untuk memperbanyak keturunan[10].”
Adapun Syaikh Fauzan juga dimintai fatwa berkenaan hukum mengkonsumsi pil pencegah hamil. Menurut beliau, hukumnya tidak boleh mengkinsumsi pil pencegah hamil kecuali dalam keadaan darurat. Disebut darurat jika dokter memvonis kehamilannya bisa berujung pada kematian. Sedangkan mengkonsumsi pil tersebut dengan tujuan menunda kehamilan, maka tidaklah mengapa selama hal tersebiut memang diperlukan. Misalnya jika kesehatannya tidak baik jika hamil yang satu dengan setelahnya berdekatan, atau karena hal tersebut memberi kemadharatan bagi anak pada masa penyusuannya. Sifat pil tersebut pun tidak menghentikan kehamilan (permanen), tapi hanya sekedar bisa untuk menunda. Hal tersebut tidak apa-apa dilakukan sesuai kebutuhan dan setelah berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter[11].
Syaikh Abu Malik Kamal membagi pencegah hamil menjadi 3: ‘azl, kontrasepsi permanen, dan kontrasepsi temporal. Hukum azl makruh. Ketentuan kontrasepsi temporal sama seperti ‘azl, lebih baik dihindari, namun jika penggunaannya karena takut miskin maka hukumnya menjadi haram. Adapun kontrasepsi permanen, bisa dengan cara sterilisasi (mengikat atau memotong salura telur) ataupun dengan mengangkat rahim, maka tidak ada perbedaan pendapat akan keharamannya. Kecuali jika memang ada kondisi darurat yang jika rahim tidak diangkat atau langkah semisalnya bisa membahayakan jiwa ibu, maka sterilisasi diperbolehkan[12].

D.            Aurat Wanita Di Depan Sesama Muslimah
Ahli medis yang paling sering menangani KB adalah bidan. Karena itu, disini penulis akan membahas aurat wanita di depan wanita, sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada bidan di negara kita yang berasal dari kaum Adam. Ulama berbeda pendapat mengenai batasan aurat antar sesama wanita. Mayoritas ulama mengatakan bahwa aurat wanita di depan sesama wanita adalah sebagaimana aurat laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut. Ulama yang berpendapat demikian adalah kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah[13].
Dalam kitab Badai’ ash-Shanai’ disebutkan bahwa apa yang boleh dilihat sesama lelaki juga dibolehkan untuk dilihat antar sesama wanita. Wanita boleh melihat seluruh tubuh sesamanya kecuali anggota tubuh yang terdapat antara pusar dan lutut. Karena melihat bagian selain itu bagi sesama wanita pada umumnya tidak mengakibatkan munculnya syahwat dan fitnah. Ia tidak boleh melihat antara pusar dan lutut wanita lain kecuali untuk hal darurat, maka dibolehkan melihat kemaluannya seperti saat melahirkan atau untuk mengetahui keperawanan budak yang dibeli dengan syarat masih perawan[14].
Adapun pendapat madzhab Dhahiriyah memang berbeda dengan pendapat jumhur. Dalam kitab al-Muhalla tertulis bahwa seorang lelaki boleh melihat seluruh tubuh mahram wanitanya, seperti ibu, nenek, anak perempuan, cucu perempuan, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, anak perempuan saudara lelakinya, anak perempuan saudara perempuannya, istri bapaknya, dan istri anaknya kecuali dubur dan kemaluan saja Begitu juga hukumnya antara sesama wanita, ataupun sesama lelaki.
Mereka berdalil dengan firman Allah pada Surat an-Nur ayat 31. Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menyebutkan perhiasan mereka (para wanita) yang dzahir boleh diperlihatkan kepada semua orang yaitu muka dan kedua telapak tangan saja. Adapun perhiasan yang tersembunyi haram diperlihatkan kecuali kepada golongan yang telah disebutkan Allah dalam ayat tersebut.
Kemudian Ibnu Hazm menambahkan, “Kami mendapati bahwa Allah menyamakan hukum tersebut bagi suami, para wanita, anak-anak, dan juga kepada semua yang telah kami sebutkan dalam ayat di atas. Tetapi terkhusus bagi suami, ia boleh melihat kemaluan dan dubur istrinya.[15]
Menurut madzhab Dzahiri, aurat wanita di depan sesamanya yaitu hanya kemaluan dan duburnya saja. Hal ini karena mereka mentafsirkan aurat dzahir (yang dibolehkan semua orang melihatnya) yaitu muka dan telapak tangan dan hanya membolehkan golongan-golongan yang disebutkan dalam Surat an-Nur: 31 untuk melihat aurat bathinnya (kecuali dubur dan kemaluan).
Mereka menyamakan batasan aurat bagi mahram dan sesama wanita karena keduanya sama-sama disebutkan dalam ayat tersebut.

E.            Membuka Aurat Saat Memakai Alat Kontrasepsi
Setelah mengetahui batasan aurat wanita dan hukum umum KB, maka dalam sub bab ini kami akan membahas mengenai hukum membuka aurat saat memakai alat kontrasepsi. Sebagaimana diketahui, menurut mayoritas ulama aurat wanita di hadapan sesama wanita adalah dari pusar sampai lutut.
Secara umum, seorang wanita tidak boleh memperlihatkan auratnya baik kepada lelaki ataupun kepada sesama wanita. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seorang seorang wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain.” (HR. Ibnu Majah)
Ketika seorang ahli medis (bidan atau dokter kandungan) membantu seorang wanita untuk memasukkan spiral, secara otomatis mereka akan melihat aurat wanita tersebut karena memang cara memasukannya lewat jalan lahir. Dalam buku Memilih Kontrasepsi Alami & Halal dihukumi secara umum bahwa IUD termasuk alat kontrasepsi yang tidak boleh digunakan karena memperlihatkan aurat dalam kondisi tidak darurat[16].
Penulis sempat melakukan wawancara singkat dengan dr. Dyah Andari mengenai hal tersebut. Beliau menghukumi IUD secara umum sebagai alat kontrasepsi yang dilarang karena ada unsur membuka aurat. Menurut beliau, memakai IUD bukan sesuatu yang darurat ataupun mendesak, karena masih banyak alternatif alat kontrasepsi lain. Terlebih menurut beliau, KB sendiri tidak diperbolehkan tanpa adanya kebutuhan. Kecuali jika wanita memang butuh ber-KB dan dia mempunyai penyakit yang akan bertambah parah jika mengkonsumsi alat kontrasepsi yang sifatnya hormonal seperti pil KB, atau dia kesulitan melakukan KB kalender, maka dalam kondisi darurat tersebut si wanita boleh menggunakan IUD[17].
Imam asy-Syarbini menjelaskan bahwa keharaman melihat dan menyentuh aurat adalah ketika tidak hajat untuk melihat dan menyentuhnya. Adapun ketika ada hajat maka melihat dan menyentuh hukumnya boleh seperti jika untuk pengobatan walaupun pada kemaluan, karena jika diharamkan dalam kondisi tersebut akan menimbulkan kesulitan. Jadi seorang laki-laki boleh mengobati orang perempuan dan sebaliknya dan hendaknya hal itu dilakukan di hadapan mahram atau suami[18]. Jika seorang laki-laki saja (dalam keadaan darurat) boleh melihat aurat wanita untuk pengobatan, maka tentu yang lebih boleh adalah wanita melihat aurat wanita lain untuk kepentingan medis yang mendesak, salah satunya untuk memasang alat kontrasepsi IUD dalam kondisi darurat.

F.             Penutup
Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum melakukan KB dibolehkan jika memang dibutuhkan dan bukan dilandasi karena rasa takut akan kemiskinan, serta sifatnya pun hanya sementara saja. Adapun hukum memakai IUD secara umum adalah haram karena ada unsur memperlihatkan aurat. Penulis setuju dengan pendapat dr. Dyah, yaitu jika masih ada alternatif alat kontrasepsi lain, maka sudah seyogyanya ia tidak menggunakan IUD. Meskipun demikian, jika seorang wanita memiliki hajat untuk menunda kehamilan dan dia tidak bisa menggunakan alat kontrasepsi selain IUD, maka ia boleh memakai IUD karena keadaan darurat yang mengharuskannya untuk memakai alat tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab.

DAFTAR PUSTAKA
‘Adawi, al-, Mushthafa. Jami’ Ahkam an-Nisa’. Riyadh: Dar Ibnu al-Qayyim. 2008.
Andalusi, al-, Ibnu Hazm. Al-Muhalla bi al-Atsar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2003.
Anton, Dwi & Dyah Andari. Memilih Kontrasepsi Alami & Halal. Solo: Aqwam Media Profetika. 2008.
Baz, Bin. Majmu’ Fatawa al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz. Ttp: t.p. t.t.
Dardir, ad-, Ahmad. Asy-Syarh Ash-Shaghir. Kairo: Dar al-Ma’arif. Tp.
Duwaisy, ad-, Ahmad. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta. Riyadh: Dar al-‘Ashamah. T.t.
Kamal, Abu Malik. Fiqh as-Sunnah li an-Nisa. Kairo: Dar at-Taufiqiyah. 2009.
Kasani, al-, Imam. Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’. Cet. ke-2. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi. 1974.
Mansur, Muhammad Khalid. Al-Ahkam ath-Thibbiyyah al-Muta’alliqah bi an-Nisa fi al-Fiqh al-Islami. Cet. ke-2. Yordania: Dar an-Nafais. 1999.
Qudamah, Ibnu. Al-Mughni ‘Ala Mukhtashar al-Khiraqi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2008.
Ramli, ar-, Imam. Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr. 2009.
Syarbini, asy-, Imam. Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz al-Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr. 2009.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis Keluarga Berencana. Jakarta selatan: Pusat Data dan Informasi. 2014.
Zuhaily, az-, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Cet. ke-10. Damaskus: Dar al-Fikr. 2007.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2000.
Suparyanto, “Konsep IUD,” diakses dari http://dr-suparyanto.blogspot.co.id/2012/02/konsep-iud.html, pada 13 Desember 2015.



[1] Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Edisi Kedua, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 985.
[2] Mushthafa al-‘Adawi, Jami’ Ahkam an-Nisa’, (Riyadh: Dar Ibnu al-Qayyim, 2008), jilid 4, hlm. 534
[3] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, hlm. 27 & 592.
[4] Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis Keluarga Berencana, Jakarta selatan: Pusat data dan informasi, 2014), hlm. 1.
[5] Suparyanto, “Konsep IUD,” diakses dari http://dr-suparyanto.blogspot.co.id/2012/02/konsep-iud.html, pada 13 Desember 2015.
[6] Dwi Anton & Dyah Andari, Memilih Kontrasepsi Alami & Halal, (Solo: Aqwam Media Profetika, 2008), hlm. 136.
[7] Lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9, hlm. 6600.
[8] Ahmad ad-Duwaisy, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta, (Riyadh: Dar al-‘Ashamah, t.t), jilid 19, hlm. 300.
[9] Lihat al-Ahkam ath-Thibiyah al-Muta’alliqah bi an-Nisa fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 120.
[10] Bin Baz, Majmu’ Fatawa al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz, (Ttp: t.p., t.t.), jilid 21, hlm. 191.
[11] Al-Utsaimin, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, cet. ke-2, (Riyadh: Adhwa as-Salaf, 2009), hlm. 1137.
[12] Abu Malik Kamal, Fiqh as-Sunnah li an-Nisa, (Kairo: Dar at-Taufiqiyah, 2009), hlm. 502.
[13] Lihat Asy-Syarh as-Shaghir 1/288, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj 6/225, al-Mughni ‘Ala Mukhtashar al-Khiraqi 5/454.
[14] Imam Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, cet. ke-2, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Arabi, 1974), jilid 5, hlm. 124.
[15] Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi al-Atsar, (Beirut: Dar Kutub ilmiyah, 2003), jilid 9, hlm. 163.
[16] Dwi Anton & Dyah Andari, Memilih…, hlm. 138.
[17] Wawancara singkat ini saya lakukan pada 6 November 2015.
[18] Imam asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), jilid 3, hlm. 173.