Pages

About

Jumat, 22 Mei 2015

Hukum Meminum Pil Pencegah Haid Saat Haji


Oleh: Iffah Izzah A.
A.    Pendahuluan
Haji merupakan rukun kelima dalam Islam. Ketika seseorang mampu berhaji, baik secara materi dan fisik, maka ia harus bersegera menunaikan kewajibannya tersebut. Perintah haji pun umum bagi setiap muslim yang mampu. Sehingga tidaklah heran jika semua muslim dari pelbagai penjuru dunia berbondong-bondong ke Makkah setiap musim haji.
Tak kalah dengan negara lain, setiap tahun pun Indonesia selalu mengirimkan jamaah hajinya. Terlebih Indonesia merupakan Negara yang paling banyak penduduk muslimnya di Asia Tenggara. Banyaknya warga Indonesia yang hendak berhaji tentu merupakan hal yang baik. Namun ada kendala tersendiri bagi kaum hawa yang masih mengalami haid.
Salah satu rukun haji adalah thawaf. Sedangkan syarat thawaf sendiri adalah suci dari haid. Kesempatan berhaji yang jarang, disebabkan kondisi yang tidak memungkinkan, tentu membuat semua orang menginginkan hajinya sah. Haid menjadi problem bagi wanita saat haji. Dewasa kini banyak wanita yang meminum obat atau pil pencegah haid. Mereka ingin darah haid tidak keluar selama prosesi haji. Hal itu tentu agar mereka mampu melaksanakan semua rukun haji dengan sempurna.
Sebagian besar wanita juga merasa tidak memiliki banyak kesempatan untuk berhaji di lain waktu. Tidak adanya dana, mahram, ataupun jatah berhaji menghalangi mereka untuk kembali ke tanah suci.
Lalu, apakah boleh bagi seorang wanita mengkonsumsi obat pencegah haid? Disamping haid itu sendiri merupakan fitrah seorang wanita. Dalam makalah ini, penulis hendak membahas seputar haji dan hukum mencegah haid dengan meminum pil atau sejenisnya.

B.     Definisi Haji
Secara etimologi, haji berarti pergi menuju. Adapun secara terminologi, haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu. Atau, haji adalah berziarah ke tempat tertentu pada waktu tertentu guna melakukan amalan tertentu. Ziarah artinya pergi. Tempat tertentu adalah Ka’bah dan Arafah. Waktu tertentu adalah bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, serta sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Masing-masing amalan memiliki waktu khusus. Misalnya waktu thawaf (menurut jumhur) adalah sejak terbit fajar di hari kurban sampai akhir waktu manasik, waktu wukuf di Arafah adalah sejak condongnya matahari pada hari Arafah hingga terbitnya fajar pada Hari Kurban. Amalan tertentu artinya datang dalam keadaan berihram dengan niat berhaji ke tempat-tempat tertentu[1].
Haji merupakan kewajiban kewajiban bagi setiap muslim merdeka yang mampu melakukannya. Baik secara fisik ataupun finansial. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imran: 97)
Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW., berkhutbah dan bersabda: “Wahai sekalian manusia, sungguh telah diwajibkan atas kalian berhaji maka berhajilah kalian. Lalu ada seorang yang bertanya, “Apakah wajib setiap tahun wahai Rasulullah?” beliau lalu terdiam. Sampai ketika orang itu bertanya pada kali yang ketiga beliau menjawab, “Seandainya saya katakan ‘ya’ maka haji akan menjadi wajib setiap tahunnya dan kalian pasti tidak akan sanggup melakukannya.” (HR. Muslim)



C.    Rukun Haji
Ibadah haji memiliki rukun. Ketika salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi, maka ibadah hajinya pun menjadi tidak sah. Rukun-rukun haji adalah:
1)      Ihram
Ihram adalah niat haji dengan mengucapkan talbiyah. Hal ini merupakan rukun pertama dalam haji. Syaratnya dengan memakai sarung dan selendang, serta tidak memakai pakaian yang dijahit (bagi pria). Ihram ini dilakukan pada miqat[2]. Wanita yang berihram tidak boleh menutupi wajah dan juga tidak boleh memakai sarung tangan[3].
2)      Wukuf di Arafah
Inilah rukun yang terpenting. Batas sah wukuf di Arafah adalah berada di Padang Arafah walaupun hanya sesaat, dengan niat mengerjakan wukuf sebelum terbit fajar pada Hari Raya Kurban (10 Dzulhijjah). Apabila fajar telah terbit dan belum wukuf di Arafah, maka hajinya batal[4].
3)      Thawaf Ifadhah
Thawaf yang disyariatkan dalam haji ada tiga. Thawaf qudum, thawaf ifadhah, dan thawaf wada’. Thawaf qudum disunnahkan bagi orang yang melakukan haji ifrad dan qiran. Thawaf ifadhah merupakan rukun haji berdasarkan ijma’ ulama. Haji tidaklah sah tanpa thawaf ini. Allah Ta’ala berfirman:
...وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“… dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf di Baitul ‘Atiq (Ka’bah).” (Q.S. Al-Hajj: 29)
Adapun thawaf wada, hukumnya mandub menurut madzhab Maliki, dan wajib menurut madzhab lain, sehingga yang meninggalkannya wajib membayar dam (denda)[5]. Namun wanita yang haid atau nifas mendapat dispensasi untuk tidak mengerjakan thawaf ini.
4)      Sa’i
Sa’i adalah berjalan pulang pergi antara bukit Shafa dan Marwah dengan niat beribadah. Sa’i terdiri dari tujuh putaran, dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwah[6]. Perintah sa’i termaktub dalam firman Allah “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah bagian dari syi’ar Allah.” (Q.S. Al-Baqarah: 158)

D.    Thawaf Ifadhah Bagi Wanita Haid
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa thawaf ifadhah hukumnya wajib karena termasuk rukun haji. Thawaf ini menjadi penghalang tahallul jika belum dikerjakan. Begitu urgennya thawaf ifadhah hingga seorang yang berihram harus menahan dirinya di Makkah (jika tidak ada halangan) untuk melakukan thawaf tersebut. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Shafiah binti Huyay, isteri Nabi SAW., mengalami haidh pada haji Wada, maka Nabi SAW., berkata,  'Apakah dia akan menghalangi kita (pulang ke Madinah)?' maka aku katakan, 'Dia sudah (thawaf) ifadhah ya Rasulullah,' maka Rasulullah SAW., berkata, 'Kalau begitu mari kita berangkat."
Terdapat perbedaan pendapat mengenai syarat suci secara mutlak (suci dari hadats besar dan kecil) dalam thawaf. Jumhur ulama selain Abu Hanifah, yaitu Imam Syafi’i, Malik, dan juga riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa thawaf haruslah dalam keadaan suci mutlak. Adapun Abu Hanifah tidak berpendapat demikian.[7] Jika jumhur menjadikan suci syarat thawaf, maka Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kewajiban, bukan syarat[8].
Perbedaan antara syarat dan kewajiban dalam hal ini adalah, jika syarat tidak terpenuhi, maka yang disayaratkan itu juga tidak tercapai. Adapun kewajiban, jika ditinggalkan tidak mempengaruhi keabsahan, hanya saja ia berdosa dan harus membayar denda[9].
Konsekuensi dari perbedaan pendapat tersebut, bahwasanya thawaf wanita haid tidaklah sah menurut jumhur. Berbeda dengan Hanafiyyah, mereka membolehkan wanita haid untuk thawaf dengan memakai pembalut terlebih dahulu sebelum melakukan thawaf. Pendapat inilah yang diikuti Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wanita haid yang tidak memungkinkan baginya melakukan thawaf wajib (ifadhah) kecuali dalam keadaan haid, karena dia tidak mungkin tinggal menetap di Mekah dia tidak mungkin tinggal menetap di Mekah, maka  menurut salah satu pendapat yang mewajibkan suci pada orang yang thawaf: jika wanita haid, orang yang junub, orang yang berhadats, atau membawa najis melakukan thawaf, maka thawafnya sudah sah. Dia wajib membayar denda bisa berupa kambing atau unta bagi wanita haid serta orang junub, dan berupa kambing bagi orang yang berhadats kecil[10].”
Jumhur ulama berdalil dengan hadits Aisyah bahwa dia ketika mengalami haid sebelum masuk Mekah dalam haji Wada', maka Nabi SAW., bersabda kepadanya:
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
"Lakukan sebagaimana yang dilakukan jamaah haji, hanya saja engkau tidak boleh thawaf di Baitullah sebelum suci.[11]” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun Imam Abu Hanifah berhujjah dengan keumuman firman Allah Ta’ala: “Hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf di Baitul ‘Atiq (Ka’bah)” (Q.S. Al-Hajj: 29)

E.     Hukum Meminum Pil Pencegah Haid
Haid merupakan fitrah bagi wanita. Saat haid, wanita harus meninggalkan beberapa jenis ibadah, seperti shalat, puasa, dan thawaf (sebagaimana pendapat jumhur). Diriwayatkan bahwa ketika Haji Wada’, Aisyah mengalami haid. Hal tersebut membuat beliau menangis. Maka Rasulullah SAW., bersabda kepadanya: “Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah pada anak-anak wanita Adam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak dari ulama kontemporer yang membolehkan wanita meminum pil pencegah haid. Diantaranya adalah Syaikh al-Utsaimin, beliau berfatwa, “Tidak mengapa wanita mengkonsumsi pil pencegah haid saat haji dan umrah. Karena hal tersebut termasuk kebutuhan. Akan tetapi, ia harus meminta izin dan berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter, karena terkadang pil tersebut bisa memberi efek samping yang membahayakannya[12].”
Begitu juga menurut Syaikh bin Baz, bahwa wanita boleh meminum pil pencegah haid saat haji dan ramadhan, jika pil tersebut tidak membahayakan dirinya setelah konsultasi dengan dokter spesialis[13].
Syaikh Abu Malik Kamal mengatakan bahwa kalau memungkinkan, lebih baik mengkonsumsi pil pencegah haid jika tidak membahayakan baginya, supaya lebih aman dengan keluar dari perslisihan pendapat mengenai thawaf wanita haid.[14]
Abdurrazaq telah meriwayatkan dalam mushannafnya bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Ibnu Umar tentang  seorang wanita yang mengalami haid dalam waktu lama, maka dia ingin meminum obat yang dapat menghentikan darah tersebut, maka Ibnu Umar tidak menganggap hal itu sebagai masalah, dan dia bahkan menunjukkan air arook (sebagai resep obat baginya)[15].
Diriwayatkan juga dari Atha' bahwa dia ditanya tentang seorang wanita yang haid, lalu dia mengkonsumi obat yang dapat menghentikan haidnya, apakah dia boleh thawaf? Dia menjawab, 'Ya, jika dia suci. Apabila dia masih melihat sedikit darah dan belum melihat cairan putih sebagai tanda suci, maka jangan thawaf[16]."
Ketika wanita hendak mengkonsumsi pil pencegah haid, maka ia harus memperhatikan kandungan obat tersebut. Jika mengandung hal yang haram, maka ia tidak boleh meminumnya. Juga harus diperhatikan efek samping dari pil tersebut. Apabila ternyata membahayakan, atau memberi efek samping yang sangat banyak, hendaknya dia tidak mengkonsumsi pil tersebut. Sebagaimana kaidah fikih yang sangat masyhur لا ضرر ولا ضرار yang artinya tidak memberi madharat kepada diri sendiri dan orang lain.
Inti dari fatwa ulama yang membolehkan meminum pil pencegah haid adalah tidak adanya madharat bagi si wanita ketika mengkonsumsi pil tersebut. Kalaupun ada efek samping, selama itu masih ringan dan tidak terlalu membahayakan maka tidak mengapa.
Menurut dr. Raehanul Bahraen, “Pil pencegah haid memiliki efek samping yang berbeda-beda bagi setiap wanita. Bisa saja efek samping ini malah menimbulkan sakit selama ibadah misalnya nyeri di payudara, rasa mual sakit kepala, sehingga ini bisa menghalangi kekhusyukan ibadah.
Berdasarkan pengalaman, karena ibadah haji cukup menyedot energi dan stamina sehingga terkadang tubuh tidak stabil. Terkadang pil pencegah haid juga bisa menyebabkan haid menjadi tidak teratur. Ada beberapa yang muncul pendarahan kecil terus, ada juga yang tidak dapat haid tetapi muncul flek-flek darah atau kehitaman yang sering membuat jamaah wanita bingung, apakah ini darah haid atau bukan. Berbeda jika minum pil pencegah haid dengan keadaan tubuh yang prima, sehat serta tidak menanggung beban pekerjaan atau aktifitas yang berat.”
Dr. Raehanul juga menambahkan, beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi wanita yang menggunakan pil pencegah haid sebagai berikut:
  1. Mencatat haid 3 bulan terakhir sebelum berangkat sehingga pola haid bisa diperkirakan.
  2. Minum obat penunda haid 7 hari (atau sebulan) sebelum perkiraan haid yang akan datang dan hentikan minum obat 3 hari sebelum waktu haid yang diinginkan.
  3. Obat yang digunakan biasanya adalah obat yang mengandung progesteron misalnya: Primolut N 2 x 1 tablet setiap hari atau obat yang lain sesuai dengan saran dokter.
  4. Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelumnya karena beberapa penyakit tertentu bisa kambuh atau muncul karena mengkonsumsi pil pencegah haid.
  5. Jika ada Kontraindikasi, jangan gunakan. Yaitu ada riwayat sakit kepala hebat atau migren, kanker payudara, varises berat, perdarahan dari vagina yang belum diketahui penyebabnya, serta adanya penyakit fungsi hati.
  6. Mengetahui efek samping penggunaan dan ini bisa berbeda-beda untuk setiap orang misalnya rasa mual, sakit kepala, atau nyeri pada payudara. Pada obat yang mengandung progesteron saja biasanya sering muncul bercak darah (spoting). Bisa dicegah dengan banyak minum air putih dan banyak bergerak supaya metaboliknya lebih lancar. Jadi, jamaah wanita yang memakai bisa mempersiapkan diri untuk mengatasinya, misalnya efek sampingnnya adalah migrain. Bisa membawa obat ringan anti migrain.
  7. Sering melakukan gerak-gerakan senam ringan baik dikendaraan atau ketika sudah tiba. Ini berguna untuk melancarkan peredaran darah mencegah timbulnya jendalan/sumbatan pada pembuluh darah[17].
F.     Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa meminum pil atau obat pencegah haid bagi wanita yang hendak berhaji hukumnya boleh. Hanya saja ia tetap harus memperhatikan kandungan dan efek dari obat tersebut. Jika dengan mengkonsumsi obat tersebut membahayakan dirinya, terlebih jika dia memiliki alergi pada bahan tertentu, sebaiknya ia tidak mengkonsumsinya. Ketika dia belum mengerjakan thawaf ifadhah dikarenakan haid dan dia juga tidak bisa menetap lama di Makkah untuk menunggu suci dari haidnya, maka ia boleh thawaf dalam keadaan haid dengan memakai pembalut karena darurat yang dialaminya.
Wallahu a’lam bish shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abdurrozak. Al-Mushannaf. Cet. Ke-2. Beirut: Al-Maktab al-Islami 1983.
Ahmad, Yahya bin. Al-I’lam Fima Yakhushu al-Mar’ata Fi Al-Hajji Min al-Ahkam. 1991.
Barmawi, al-, Abdussubhan Nuruddin Wa’idh. Aisar al-Masalik fi Ahkam al-Manasik. Ttp.: t.p., t.t.
Baz, Ibnu. Majmu’ Fatawa. Ttp.: t.p., t.t.
Bukhari, al-. Shahih al-Bukhari. Kairo: Al-Matba’ah as-Salafiyah wa Maktabatuha. 1979.
Kamal, Abu Malik. Fiqh Sunnah li an-Nisa. Kairo: Dar at-Taufiqiyah li at-Turats. 2009.
Majmu’atul ‘Ulama. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah.  Cet. Ke-2. Riyadh: Dar Adhwa as-Salaf. 2008.
Muslim. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah. T.t.
Shaghirji, ash-, As’ad Muhammad Sa’id. Al-Hajju wa al-‘Umratu ila Baitillah al-Harami. Jeddah: Darul Kiblat li ats-Tsaqafah al-Islamiyah. 1993.
Taimiyah, Ibnu. Majmu’ Fatawa. Madinah: Majma’ al- Mulk Fahd li Thaba’ati al-Mushaf asy-Syarif. 1994.
Zuhaily, az-, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Cet. Ke-2. Damaskus: Darul Fikr.  1985.
Bahraen, Raehanul. “Lebih Baik Tidak Menggunakan Pil Pencegah Haid Selama Haji,” dalam http://muslimah.or.id/fikih/lebih-baik-tidak-menggunakan-pil-pencegah-haid-selama-haji.html, diakses pada 15 April 2015.





[1] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. Ke-2 (Damaskus: Darul Fikr,  1985), hal 8.
[2] As’ad Muhammad Sa’id ash-Shaghirji, al-Hajju wa al-‘Umratu ila Baitillah al-Harami, (Jeddah: Darul Kiblat li ats-Tsaqafah al-Islamiyah, 1993), hal 25.
[3] Ibid, hal, 23.
[4] Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah li an-Nisa, (Kairo: Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, 2009), hal. 323.
[5] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami.., hal. 146-147.
[6] Abu Malik Kamal, Fiqh sunnah.., hal. 322.
[7] Yahya bin Ahmad, al-I’lam Fima Yakhushu al-Mar’ata Fi Al-Hajji Min al-Ahkam, (ttp.: t.p., 1991 ), hal. 37.
[8] Abdussubhan Nuruddin Wa’idh al-Barmawi, Aisar al-Masalik fi Ahkam al-Manasik, (ttp.: t.p., t.t.),  hal. 59.
[9] Ibid, hal. 50.
[10] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, (Madinah: Majma’ al- Mulk Fahd li Thaba’ati al-Mushaf asy-Syarif, 1994), jilid 26, hal. 125.
[11] Lihat Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Matba’ah as-Salafiyah wa Maktabatuha, 1979), jilid 1, hal. 115, hadits no. 305, dan Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah), juz 4, hal. 30, hadits no. 2977
[12] Majmu’atul ‘Ulama, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah,  cet. Ke-2, (Riyadh: Dar Adhwa as-Salaf, 2008), hal. 567.
[13] Bin Baz, Majmu’ Fatawa, (ttp; tp, tp), jilid 16, hal.128.
[14] Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah.., hal. 318.
[15] Abdurrozak, al-Mushannaf, cet. Ke-2, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983), jilid 1, hal. 318.
[16] Ibid.
[17] Raehanul Bahraen, “Lebih Baik Tidak Menggunakan Pil Pencegah Haid Selama Haji,” dalam http://muslimah.or.id/fikih/lebih-baik-tidak-menggunakan-pil-pencegah-haid-selama-haji.html, diakses pada 15 April 2015.

1 komentar:

  1. What You Should Know When Betting on Baccarat - FEBCASINO
    Some people 메리트카지노총판 bet on the baccarat game for money. While 온카지노 the game is 바카라 사이트 easy to play, it is also easy to learn to play and

    BalasHapus